Halooo... Hari ini satu lagi ya. Besok mudah2an normal lagi. Kondangannya sampai sore rupanya.wkwkwkwk
“Apa kau akan mencucinya? Tidak perlu.” Mae melarang Ash yang tampak menyingsingkan lengan baju dan mendekati wastafel.“Kenapa tidak?” Ash menghidupkan kran sambil mengernyit.“Kau sakit, Ash. Seharusnya kau istirahat!” Mae melemparkan tisu kotor yang baru saja dipakainya mengelap pantry ke dalam bak sampah. Membanting lebih tepatnya, karena kesal.“Aku hanya akan membuang sisa makanan dan memindahkannya ke sana. Bukan kerja keras.” Ash menunjuk mesin pencuci piring yang ada di dekat kakinya. Apartemen itu lebih modern, kelengkapannya juga mengikuti tentu.“Tahu begitu aku menyuruh Ian membersihkan sisa makanannya sendiri.” Mae mendecak melihat Ash tetap menjalankan niatnya. Ian sudah pergi tentu. Tidak mungkin tahan berlama-lama karena terlalu muak.“Ini ringan, Mary. Tidak perlu berlebihan. Aku juga perlu bergerak agar lebih cepat pulih.” Ash tersenyum saat melihat bibir Mae sudah cemberut.“Dan ini tidak banyak. Aku akan beristirahat setelah ini.” Ash membujuk lagi.Memang hanya a
Ash merasa seperti mengajarkan satu tambah satu sama dengan dua, tapi memang begini sejak awal. Apa yang menurut orang lain wajar, adalah hal baru untuk Mae. Tidak bisa diburu. Seperti saat harus mengajarkan kalau dirinya boleh lelah, memberi tahu tentang ketulusan, Ash saat ini harus membiasakan Mae menerima nafsu yang memang akan selalu ada dalam tubuhnya. “Tapi—apa sesering ini? Maksudku—Aku selalu membayangkan…” Mae mendesah. Mendadak semakin malu. Padahal ia dulu dengan mudah menggoda Ash, dan mengatakan hal apapun tanpa saringan, tapi kini malah sulit sekali. “Itu berarti aku ‘kotor’ bukan? Selalu memikirkan ‘itu’. Bahkan saat memandang tanganmu,” bisik Mae sambil menunduk. Ada jeda sekitar dua detik, karena Ash perlu menerjemahkan lagi. “Mary, kalau memikirkannya saja membuatmu merasa kotor, maka aku adalah babi yang bermandi lumpur—lebih dari sekadar kotor,” kata Ash. Mae langsung mendongak dengan mata menyipit, tidak menyangka Ash akan menyebut dirinya sendiri babi. “
Seharusnya tidak baru. Ciuman, usapan, belaian, sentuhan—Mae sudah pernah melakukannya. Tidak ada yang mengejutkan seharusnya. Tapi Mae terlalu meremehkan. Ia tahu apa yang akan terjadi, tapi masih bisa terkejut dan tersentak hampir setiap detik. Semuanya tidak sama—bahkan lebih dari apa yang dilakukan Ash sebelumnya. Ash yang ini tidak tergesa, tidak terburu nafsu. Ia mengangkat tubuh Mae dengan halus, membaringkannya di atas ranjang tanpa guncangan. Setiap sentuhannya lembut, Mae sampai tidak menyadari kapan Ash membuka pakaiannya. Tiba-tiba saja seluruh kulitnya meremang karena bersinggungan langsung dengan udara. “Mary…” Bisikan memuja yang membuat Mae seperti terbenam dalam kepompong wol hangat, tapi dingin lidah Ash yang mengusap leher dan telinganya malah menghadirkan kontras yang membuat Mae merintih. Tubuhnya tidak terbiasa oleh nafsu, maka tidak terbiasa juga menerima kenikmatan melimpah yang terus dicurahkan oleh Ash. Tapi meski seperti itu, Ash masih bisa membelain
“Damn it! Mary, kau menakutiku!” Ash tanpa sengaja memaki, karena mendapati Mae berbaring diam dengan mata membuka lebar menatap langit-langit. Masalahnya Mae terlalu diam, sampai Ash mengira Mae masih tidur. Ash tadi berusaha bangun perlahan tanpa banyak menggerakkan ranjang agar Mae tidak terganggu. “Kau melamunkan apa?” tanya Ash, sambil kembali berbaring di samping Mae. Hari sudah terang, tapi Ash tidak perlu bersiap kemanapun. Selama perban masih menempel di lehernya, Parker tidak bisa memaksanya bekerja. “Semua,” gumam Mae. “Semua apa? Tubuhku?” Kalau benar, Ash berharap lamunan Mae berisi pujian, bentuk tubuhnya tidak ada yang buruk seharusnya. “Ya, tapi bukan itu intinya.” Mae bergeser, memiringkan tubuh dan memandang Ash, yang rupanya lebih dulu melakukannya. Tidak mungkin Ash melewatkan kesempatan memandang Mae dari jarak dekat. “Lalu…” “Aku kesal—” “Karena terlalu nikmat?” Ash tentu juga tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda. Mae menarik pipi Ash sebagai hukum
“Saya kembali menawarkan kepada Anda untuk bekerja di Scotland Yard. Bukan tanpa resiko, tapi lebih kecil.” Stone menyapa sambil menyerahkan gelas kertas berisi teh. Penawaran itu datang karena Stone melihat luka di leher Ash yang memang cukup mencolok.Ia lalu duduk di samping Ash, karena memang hanya itu tempatnya. Mereka tidak bertemu di cafe, tapi di taman yang tidak jauh dari base. Taman keluarga yang banyak dikunjungi anak-anak. Mereka kini berlarian ribut di sekitar mereka.“Kenapa semua orang ingin menawarkan pekerjaan padaku?” Ash mendengus sambil berdiri.Ia yang memilih taman itu sebagai tempat bertemu hanya tidak menyangka akan seramai itu. Stone mengikuti. Meski tidak dikatakan, ia tahu Ash akan mencari tempat yang lebih sepi agar mereka bisa bicara.“Siapa lagi yang menawarkan pekerjaan pada Anda? Saya harap tidak akan kalah,” tanya Stone.Mata Ash menyipit. Stone terdengar sangat serius. “Tidak ada yang akan kalah, karena memang tidak ada yang menang juga. Aku tidak ak
“Tapi Mama Carol baik, dia tidak mungkin juga…” Ash menggeleng, tidak bisa menerima. Bukti dari Ella, lalu Stone mengarah kesana, tapi Ash selama ini hanya melihat kebaikannya. “Maaf, tapi uang bisa mengubah orang baik menjadi tidak baik dalam sekejap mata. Anda tidak bisa memakai alibi baik untuk membuat seseorang tidak bersalah.” Stone tersenyum pahit. Tentu sudah melihat banyak sekali kasus yang melibatkan uang dan Ash jatuh terduduk dengan mata kosong. Tidak mungkin mudah menerima kenyataan yang berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat itu. “Untuk lebih amannya saya akan menyebut ini kemungkinan. Ada banyak hal yang harus diperiksa untuk membuktikan kalau kesimpulan saya tadi benar. Saya bukan orang yang selalu pasti benar.” Stone sedikit mengurangi kejujurannya saat melihat Ash amat terpukul. “Tapi… Semua benar.” Memang ada kemungkinan salah, tapi Ash tidak bisa menampik benar juga, karena semua kecurigaannya terjawab. “Itu…” “Anda sampai di sini karena mengik
Mae meronta, tapi tangan itu kuat. Dengan mudahnya ia menyeret Mae masuk ke rumpun pepohonan yang memang membatasi tepi lapangan.“Ugh!”Rontaan Mae terhenti saat punggungnya terhempas. Pria yang menyeretnya itu dengan sengaja menghantamkan tubuhnya ke pohon. Mae langsung berkunang-kunang dan nafasnya sedikit sesak.Tapi ia masih mampu membuka mata dan mengenali siapa pria yang menyakitinya itu. Hoodie yang menutupi kepalanya sudah turun meski penampilannya jauh berbeda. Lebih lusuh dengan banyak cabang tumbuh cukup panjang. Mae tidak akan pernah lupa pada wajah Dex.“Dasar anak setan! Apa yang kau inginkan?!” Mae berseru sambil berusaha mencakar dan menendang Dex.Tapi pukulan datang ke pipi Mae, menghadirkan kilas cahaya ke mata, dan Mae langsung tersungkur jatuh. Dex tanpa ragu memukulnya—keras sampai Mae perlu mengumpulkan kesadaran sebelum bisa menyeret tubuhnya menjauh.Tentu belum cukup. Dex masih dengan mudah menyambar kakinya, dan mengangkat Mae dari tanah. Ia menyandang tubu
“Kau lihat ini?”Mae yang Ada dalam posisi berbaring menelungkup, mendengus karena tidak mungkin bisa melihat apapun selain jok mobil Dex mendecak—menyadari kesalahannya. Ia turun dan membuka pintu belakang, kemudian menarik kasar Mad agar duduk dengan tegap.“Kau lihat ini?” Dex menunjukkan pisau dengan mata lebih panjang dari telapak tangan dan bergerigi. Jelas bisa melukai dan mematikan saat terbenam dalam daging. Ancaman berbahaya.“Aku tidak akan segan menggunakannya untuk menusuk salah satu anggota tubuhmu kalau kau berani berteriak ataupun terlihat mencurigakan,” desis Dex sambil menatap mata Mae.“Kau mengerti atau tidak?!” bentaknya.Mae mengangguk. Ia mungkin ingin lari tapi tidak dengan menjadi bodoh. Pisau itu bisa dengan mudah membunuhnya.“Bagus. Aku akan melepaskan mulutmu, dan juga tali yang mengikat tanganmu. Tapi kalau kau mencoba untuk melakukan hal yang aneh, jangan salahkan aku kalau nantinya kau akan mati.”Dex diam lagi sampai Mae mengangguk. Baru setelah itu D