Share

Bab 4. Keinginan

Seno mengikuti gerak langkah dari ketukan heels si cantik bertubuh langsing itu. Rambut pirangnya terurai menutupi punggung yang berbalut gaun merah darah. Heels setinggi tujuh senti begitu padu di kaki jenjang cantiknya.

 

“Ada yang mau saya bicarakan, Mas. Duduk!” pinta Bella, mempersilakan Seno duduk di sofa seberangnya.

 

Seno duduk sungkan sebab Bella selalu ramah pada setiap pegawai rumahnya. Senyumnya saja membuat para lelaki di rumah itu berdebar karenanya.

 

“Saya dapat laporan, katanya Mas Seno minta setengah gaji di muka, benar?” tanya Bella.

 

Seno mengangguk malu. Kalau bukan karena Arumi, dia enggan mengiba seperti ini. Uang gajinya tentu sudah untuk istri dan anaknya. Sebab kasihan pada Mirza, terpaksa dia meminjam uang ekstra pada majikannya ini.

 

“Iya, Non. Untuk bapak saya di kampung.”

 

“Baik, nanti saya transfer. Gaji bulan depan sisanya ya, Mas.”

 

Seno mengangguk syukur. Saat Bella beranjak, tiba-tiba Seno teringat pada Mirza yang sedang menganggur di sana. Kali saja Mirza bisa mendapat pekerjaan dan peruntungan sepertinya di ibukota ini.

 

“Non, begini, teman saya dari kampung butuh pekerjaan. Mungkin ada lowongan-”

 

Bella menggeleng, lalu berkata, “Masih belum ada kalau untuk di rumah ini, Mas. Nanti saya pikirkan.”

 

Seno pun pergi meninggalkan si cantik Bella yang menaiki tangga untuk masuk ke kamar. Direbahkannya punggung untuk melepas lelah. Kesibukan dan jadwal di dunia bisnis dan model begitu menyita hari-harinya.

 

Kling!

Perhatiannya teralihkan pada dering ponsel di saku. Pesan masuk dari sang kekasih membuat tersenyum sendiri. Tak dia sadari ibunya masuk ke kamar. Wanita itu tersenyum manis meski bias wajah tuanya memucat.

 

“Kenapa, sih? Seneng banget, kayaknya.”

 

Bella menegakkan duduk, membimbing sang ibu untuk duduk di sampingnya.

 

“Ini Bastian, ngajak ketemuan besok. Dia, kan, seminggu ini dinas di Semarang.”

 

“Pacaran jangan lama-lama, langsung nikah aja! Umur udah berapa, Sayang!” seru sang ibu sambil mengusap kepalanya.

 

Bella tersenyum kecut begitu ibunya menyinggung umurnya. Tahun ini dia menginjak tiga puluh tahun. Sang ayah memang juga tak menaruh paksaan padanya untuk menikah jika belum siap. Hanya saja semenjak belakangan ini ibunya sakit, beliau selalu membujuk Bella untuk segera menemukan pendamping.

 

“Aku belum sempat tanya Bastian, Ma! Tapi aku mikirnya, kalau aku nikah, gimana dengan karirku?”

 

Bella kembali menegakkan duduk sambil memegang tangan ibunya. 

 

“Daripada Bastian kerja di perusahaan orang, mending dia handle perusahaan kita, kan, Ma? Jadi setelah nikah, aku di rumah aja. Semua kerjaan perusahaan jadi tugas dia.”

 

"Kalau memang dia yang terbaik, nggak masalah. Segeralah menikah!" ulas sang ibu, beriring senyum di bibir pucatnya.

 

*

 

Mirza merapikan tampilannya di cermin. Berkas lamaran sudah disiapkan di atas meja. Tentu dia harus segera mencari pekerjaan baru agar Arumi tak terus mengomel padanya.

 

“Tumben hari ini dia cepat bangun,” ujarnya sambil menoleh pada penunjuk waktu di dinding. Sudah jam sembilan.

 

Didengarnya saat keluar kamar tadi, aktifitas Arumi di dapur. Pagi-pagi istrinya itu pergi belanja, lalu mulai memasak seolah akan ada pesta besar.

 

“Dia lagi ngidam apa, ya? Sampai masak segala. Harusnya irit sama uang pesangon kemarin.”

 

Mirza keluar membawa berkas, bersiap untuk pergi. Sampai di ruang tengah, baru dia dengar suara cengkrama para wanita di luar sana. Meja makan sudah terhidang begitu banyak cemilan yang disiapkan.

 

“Rum!”

 

Mirza tergesa mendekati, menyenter makanan yang disiapkan. Sebagian dia membeli, sebagian memasak. Ada beberapa kue khas bakery, sedangkan camilan gorengan dan minuman lain dia siapkan sendiri.

 

“Ini kamu ada apa? Kenapa tiba-tiba masak gini? Banyak sekali, Rum! Kamu tau, kan, uang kita lagi menipis?!” Mirza mencecar dengan geram, meski tetap harus menekan emosi agar Arumi tak lebih berang.

 

Arumi belum menyahut, melepaskan celemek dan mengambil secangkir teh untuk dihidangkan pada sang suami.

 

“Ini, minum teh dulu sebelum berangkat kerja. Jangan malas! Cari sampai ketemu, ya! Nganggur lama-lama bikin aku malu,” gerutu Arumi, menyindir.

 

Mirza menggebrak meja sebab marah dengan sikap enteng sang istri akan protes yang dia ajukan. “Rum! Aku tanya serius sama kamu. Jawab!”

 

Arumi mengambil serbet, menyahut tanpa menoleh sopan pada sang suami. “Ini giliran aku arisan, Mas. Lagian kenapa, sih? Masak gini aja, kamu perhitungan banget! Percuma sholat, ngaji, masa nggak ngerti sama yang namanya sedekah?”

 

Mirza menghela napas panjang. Istrinya ini selalu pandai saja menjawab. Diteguknya teh hangat untuk mengisi perut. Melihat kue-kue mahal tersaji di depannya saja sudah membuatnya kenyang. Berapa lembar uang merah yang dikeluarkan Arumi untuk membeli semua ini?

 

“Mas, kan, alim. Rajin sholat, pasti rejekinya lancar. Lagian, aku takut apa? Kayaknya sebentar lagi bakal dapat duit banyak,” angan Arumi.

 

Dirinya terkekeh kecil saat mengingat janji Sukma padanya untuk mencarikan Mirza pekerjaan.

 

“Mas, kalau nggak dapat kerja juga, nanti aku tanya temenku. Mana tau ada yang bisa ngasih Mas kerjaan.”

 

Mirza tak menanggapi, lekas beranjak sambil menenteng sepatu kets yang diambil dari rak. Arumi mengikuti dari belakang sambil membawa nampan berisi hidangan untuk tamunya itu. Pendopo bambu sejuk yang berada di halaman sudah dipenuhi enam temannya yang ikut arisan.

Mirza memaksakan senyum pada mereka, duduk di kursi teras sambil mengikat tali sepatunya.

 

Dari ujung kepala sampai ujung kaki, para teman Arumi menyenter penampilannya, terutama Sukma yang tak berkedip sejak tadi. Arumi bolak-balik dan selesai menghidangkan kudapannya di sisi mereka.

 

“Suami kamu itu ganteng banget ya, Rum. Seger bener kalau liat suami begitu tiap hari.”

 

Temannya, Maya, memuji Mirza sambil menerima gelas sirup yang disodorkan Arumi. "Suamiku, mah, boro-boro. Lebar banget kayak gentong air. Percuma aku perawatan kalau dianya bentuk begitu. Nggak bisa dibawa kondangan."

 

Gelak tawa terdengar di antara mereka.

 

“Ganteng doang tapi nggak bikin kenyang, buat apa?” Arumi mencecar, penuh remeh. Bahkan dia merasa tak perlu menurunkan nada suaranya agar tak didengar Mirza.

 

“Mending punya suami yang pas-pasan aja, tapi juragan tanah, atau boss-nya perusahaan. Kantong penuh. Hidup terjamin sampai anak cucu.”

 

Perih hati Mirza saat mendengar sang istri merendahkannya di depan teman-temannya. Seorang istri adalah pakaian bagi suaminya. Tapi Arumi, dia bahkan tak peduli jika orang-orang merendahkan suaminya ini karena nyatanya, dirinya pun tak menaruh hormat sedikit pun pada Mirza.

 

“Aku pergi, Rum! Assalamualaikum!”

 

Terburu Mirza ngeloyor pergi dengan sepeda motornya. Bahkan dirasanya malas mengulurkan tangan untuk dicium oleh Arumi sebagaimana berpamitan setiap harinya. Tanpa penghormatan yang berarti.

 

Arumi tertawa dengan teman-temannya, mengocok arisan untuk minggu berikutnya dengan tumpukan uang yang minggu ini jadi miliknya.

 

“Suk, soal kerjaan itu, gimana?” tanya Arumi lagi, mengingatkan.

 

“Aku udah bicara sama Mas Bagas, katanya dia oke-oke aja. Kamu sendiri, udah tanya sama Mirza, belum? Kalau dia mau, bisa langsung berangkat,” tandas Sukma, bersemangat.

 

“Kerja apa, Suk?” Temannya yang lain ikut penasaran dengan tawaran kerja Sukma. “Aku juga mau, dong! Atau cuma untuk laki-laki aja? Suamiku juga mau.”

 

“Iya, aku mau juga.”

 

Arumi tertawa mendengar Maya dan Siti ikut berminat pada pekerjaan yang ditawarkan Sukma.

 

“Jangan mimpi, deh! Kalau melihat bentuk Agus sama Danu, pasti nggak masuk hitungan. Ya, kan, Suk?” seru Arumi, menyindir dua suami temannya yang sangat jauh berbeda tampannya dari Mirza.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status