Share

Bab 2. Istri Matrealistis

“Masih juga tanggal 15, udah gajian aja, Mas!”

Mata Arumi berbinar saat Mirza, suaminya itu meletakkan amplop cokelat di atas meja. Cukup tebal hingga membuat wanita cantik berdaster batik itu meneguk ludah.

Mirza menatap nanar pada sang istri. Bukannya membuatkan teh setelah menyambutnya pulang, peluh keringat yang menempel di kemejanya saja diabaikan Arumi. Uang terus yang dia tagih. Suaminya itu terlihat murung. Wajah tampannya terlihat kusam karena sering beradu dengan panasnya mesin di pabrik.

“Banyak sekali, Mas Mirza? Tau aja kalau anak kita ini ngidam pizza sama burger yang sering kulihat di tivi-tivi itu, loh.”

Lembar uang merah itu dia bagi menjadi beberapa bagian. Mengatur sedemikian rupa agar cukup dihabiskan dalam sebulan.

“Aku lagi hamil enam minggu. Perlu minum susu dan makan yang bergizi lainnya. Kamu harus rajin kerja, Mas! Kalau nggak cukup duit kerja di pabrik, cari sambilan lain. Ngojek, misalnya. Masa depan kita masih panjang. Ini aja aku stop dulu untuk skin care. Tapi jatah untuk itu, tetep aku simpen, yo! Sisanya buat keperluan rumah yang lain.”

Arumi mencecar tanpa peduli sejak tadi, Mirza kesusahan untuk buka suara. Lelaki berusia 30 tahun itu beranjak sejenak ke dapur. Ruang sempit itu tersusun dari perangkat dapur yang sederhana. Dia mencari termos air panas untuk menyeduh teh. Toples gula isinya menipis, tak dia temukan juga teh celup pada rak.

‘Padahal awal bulan udah kukasih uang gaji, tapi kebutuhan dapur selalu aja kurang. Gimana kalau Arumi tau kalau yang tadi itu uang pesangonku?’ gusar Mirza, membatin.

Mirza menggerutu sambil mengacak rambutnya, tak berniat lagi menikmati secangkir teh di sore hari. Camilan ubi goreng pun tak tersedia di dapur, padahal ada banyak pakaian Arumi yang memenuhi lemari setiap awal bulan.

"Aku ini anak kepala desa, hidup enak sejak dulu. Kalau bukan Mas Seno yang bujuk-bujuk aku untuk terima lamaranmu, aku nggak mau nikah sama kamu, Mas. Modal ganteng doang, kerja juga pas-pasan. Entah kamu pelet apa Mas-ku sampai dia segitu percayanya adik cantiknya ini menikah denganmu,” oceh Arumi, tak ada habisnya.

Mirza masih mengingat jelas cecar Arumi saat mulai bertengkar. Dirasa Mirza harusnya beruntung beristrikan dia yang cantik dan putri kepala desa dan tak boleh membuatnya hidup serba kekurangan. Keduanya teman semasa sekolah, bagi Mirza, Arumi adalah cinta yang selalu dia idamkan.

“Entah ada angin apa tiba-tiba perusahaan melakukan PHK massal. Ini pasti Arumi bakal ngomel lagi. Sekarang ini susah nemu kerjaan baru.”

Mirza takut menanyakan ke mana semua gajinya itu pergi karena Arumi sangat pemarah. Dia akan nekat kabur jika bertengkar karena hal-hal sepele.

“Nggak perlu disembunyikan juga. Besok pasti dia akan curiga kalau aku nggak berangkat kerja.”

Mirza duduk di depan Arumi yang sedang bersandar sambil mengibas lembaran uang merah itu di wajahnya. Hati-hati Mirza berucap, mengatur napas untuk mengatakan perihal pemecatannya. Takut saja Arumi stress dan mempengaruhi kehamilannya.

“Mas pasti di pabrik, kerjanya rajin, ya! Sampai dapat bonus gini. Kalau gitu, tiap hari lembur aja, Mas. Nggak apa-apa. Hamilku juga anteng, kok. Yang penting kantongku anget.”

“Rum,” panggil Mirza, sedikit ragu.

Arumi menatap raut serius Mirza saat mengambil tangannya. Bias wajahnya ragu. Tergagap, akhirnya dia berkata, “Itu tadi pesangon, Rum. Mas dipecat.”

Bukan main Arumi memencak marah. Dia beranjak bangkit, mengabaikan perutnya yang memang masih hamil muda. Siap rasanya mencecar sang suami dengan kemarahan.

“Dipecat? Kamu gila, Mas?” Arumi memencak dengan garang, matanya melotot penuh amarah. “Mau makan apa nanti kita? Aku lagi hamil, Mas! Seenakmu aja bicara! Aku nggak mau tau! Pokoknya kalau nggak dapat kerjaan juga, aku balik ke rumah bapakku!”

Arumi mengutip tumpukan uang di atas meja, hanya menyisakan selembar uang lima puluh ribu untuk sang suami.

“Ini untuk makanmu seminggu ini! Aku nggak mau urusin!”

“Rum, kenapa kamu marah-marah?” tanya Mirza sambil mengusap sisi kepala Arumi.

Istrinya itu menepis dengan kasar. Sejak awal dia tak pernah mencintai Mirza. Kalau bukan karena Mirza yang rupawan di antara pemuda kampung, juga Mas Seno-nya yang mengagungkan lelaki alim ini, Arumi enggan menerima lamaran pria beriris mata kecokelatan tersebut. Bahkan sejak jaman sekolah, tak sedikit pun dia melirik suaminya ini. Hanya tampan saja, pakaiannya saja selalu lusuh. Apa yang bisa dia banggakan?

“Suami nggak guna, kamu! Baru kerja dua tahun di pabrik itu, udah bagus-bagus, malah dipecat segala!” geram Arumi sambil meremas amplop kosong di tangannya.

“Rum, memang pabrik lagi ada masalah serius. Udah untung Pak Boss-nya ngasih satu gaji penuh untuk pesangonku,” bujuk Mirza lagi.

“Pokoknya, kamu cari kerja lagi untukku dan anak kamu di perutku ini kalau kamu mau dia lahir ke dunia ini! Kamu yang hamilin aku, nggak mikir kalau aku masih butuh banyak uang sampai melahirkan,” kecam Arumi.

Wanita cantik itu berjalan menghentak-hentak, lalu membanting pintu kamar agar suaminya tahu dia sangat marah. Mirza kembali duduk di kursi ruang tamu, menatap selembar uang yang dititipkan Arumi dari sisa pesangonnya.

“Arumi benar. Dia lagi hamil dan butuh banyak biaya. Nggak boleh stress juga. Aku harus cari kerja di mana, ya?”

Mirza merogoh ponsel untuk menghubungi Seno, ipar sekaligus sahabatnya sejak kecil. Panggilan tersambung dengan cepat. Sudah dua tahun ini Mirza membawa Arumi tinggal di Tangerang meninggalkan kampung halamannya di Malang. Sesekali memang dia menemui Seno di Jakarta untuk bertegur sapa.

“Assalamualaikum, Seno. Tumben cepat ngangkatnya. Kirain tadi lagi sibuk,” sahut Mirza, berbasa-basi.

“Iya, nih! Lagi istirahat aja. Kebetulan tugas nyupirin si boss cantik udah diambil alih temen. Aku jadi security aja di sini. Ada apa, Mir? Ada perlu?” sahut Seno dari seberang panggilan.

Cepat sekali Seno mengerti isyaratnya. Tak bisa menyembunyikan apa pun, Mirza pun menceritakan pemecatan yang dia alami, juga pertengkarannya dengan Arumi yang selalu menjadi dampak jika terkait dengan uang.

“Maafin Rumi, ya, Mir! Malu aku soal adikku itu. Tapi beneran, aku nggak bisa bantu, nggak ada kerjaan juga di sini. Kalau kamu ke Jakarta, kasihan Rum ditinggal lagi hamil. Nanti, deh, aku kirim sedikit-sedikit uang saku ke Rum supaya dia nggak bawel.”

“Jangan gitu, Seno! Nggak, lah. Biar aku aja yang tangani,” tolak Mirza, sungkan.

“Nggak apa-apa. Rum, kan, adikku. Paham betul aku gimana borosnya dia. Aku yang nggak enak udah ngasih adikku yang blangsak untuk kamu yang baik gini, Mir.”

Mirza tersenyum getir, lalu menyamankan punggung untuk duduk bersandar di sofa. “Baik tapi nggak bisa memenuhi kebutuhan istri, apa bisa disebut baik? Sekarang pakai dipecat segala, tanggung jawabku masa jadi lalai begini? Tapi keadaan sudah seperti ini, Seno. Aku malu sama Rum.”

“Jangan malu! Kamu, kan, masih mau berusaha. Nanti-nanti kukabarin kalau ketemu kerjaan untukmu.”

“Apa aku ajak Rum pulang ke kampung, ya? Aku bisa bantu pakde-ku nyangkul di ladang. Kasian juga pakde, nggak punya anak laki. Aku juga bisa jadi pekerja, kan? Macul gitu, lumayan juga kalau hasil sawah dan kebun sekali panen.”

Hilang sedikit gusar hati Mirza saat bercengkrama dengan sahabatnya itu. Tawa Seno membuat lengkung bibir tipis terbit di wajahnya.

“Ngantuk kamu, Mir? Istrimu udah mulai gila shopping, maruk kena salon sama mall, mau kamu bawa lagi panas-panasan sambil bawa bakul nasi ke ladang nemenin kamu macul? Mir, Mir! Bentaran aja, Rum pasti merengek, ngadu ke bapak dan minta cerai dari kamu.”

Apa mau dikata, meski Seno yang menjodohkan, Mirza mulai bertanggung jawab dan mencintai Arumi sepenuh hati sebab wanita itu sudah mencuri hatinya sejak di bangku sekolah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status