Share

Bab 5: Menginginkan Nafkah Bathin

"Mas pergi, ya. Assalamu'alaikum."

Pagi ini aku melepaskan kepergian Mas Bagas ke tempat kerja seperti biasa. Setelah semalaman aku merasa teramat jengkel dengan sikapnya, akan tetapi aku tak mau berlarut-larut. Selepas shalat Magrib kemarin, aku memilih membaca buku di tempat tidur. Tak lupa kutanggalkan terlebih dahulu baju tidur pemberian Mas Bagas yang memuakkan. Melihatku memperlihatkan sikap dingin dan tak menggubris sama sekali, lelaki itu pun memiliki duduk di meja kerjanya. Menghadapi komputer serta berkas-berkas kantor yang lebih sering dielus dari pada aku istrinya. 

"Dek, jadi?" tanyanya pelan. 

"Apaan?" Aku balik bertanya tanpa menoleh sedikit pun. 

"Yang tadi," ucapnya lagi. 

"Yang mana?" Aku berpura-pura belum mengerti. 

"Hmmm  ... ya sudah. Mas lanjut kerja, ya"

Kulirik Mas Bagas dengan ujung mata. Di saat yang sama, ternyata dia juga tengah melihat ke arahku. Namun, cepat-cepat dia berputar arah, kembali menghadap ke komputer. Aku terus memperhatikan lelaki itu. Gelagat tubuhnya terlihat tak tenang. Sebelah tangan diletakkan di atas meja, jemarinya ia ketukkan hingga menimbulkan bunyi yang berirama. 

***

Pagi ini selepas kepergian Mas Bagas, aku akan kembali menjumpai Sarah. Sejak semalam rencana ini telah kupikirkan. Ya, aku akan kembali jujur pada wanita itu tentang penolakan yang dilakukan Mas Bagas. 

Setelah bersiap-siap, aku pun pergi menggunakan sepeda motor tanpa memberitahukan kepada Mas Bagas. Dia tidap perlu tahu rencana apa yang akan kulakukan. Karena semua ini berkaitan dengan dirinya. 

Aku dan sarah telah membuat janji bertemu di sebuah kafe. Tempat kami biasa bertemu dan melepas rindu sambil berbagi cerita. Awalnya Sarah ingin datang bersama suaminya. Namun, aku melarang. Tak elok rasanya jika menceritakan keburukan suami di depan orang lain. Ya, meskipun selama ini aku menceritakan tentang Mas Bagas pada Sarah, itu adalah caraku untuk mencari jalan keluar atas masalah yang sedang aku alami. 

Aku tiba sedikit meleset dari waktu yang telah kami tentukan. Di pojok ruangan, Sarah telah duduk menanti. Dia adalah sahabat yang baik. Terkadang aku merasa tidak enak karena terlalu sering merepotkannya. 

Sarah melambaikan tangannya. Aku tersenyum dan berjalan tergesa, tak sabar ingin segera menceritakan hal yang telah kualami di rumah bersama Mas Bagas. 

"Dia masih nolak kamu?" Sebuah pertanyaan yang disertai ekspresi tak percaya muncul dari Sarah setelah aku memberitahukan semua tanpa mengurangi sedikit pun. 

"Iya. Mas Bagas menghindar." Aku menundukkan wajah. 

"Astaghfirullah. Yang salah apa, sih?" Sarah menekan suaranya. 

"Aku nggak tau. Kurasa usahaku sia-sia. Bayangin aja, sudah satu tahun pernikahan kami. Masa aku masih belum disentuh? Apa dia punya selingkuhan di luar, Sarah?"

Berat sekali rasanya. Jangankan kenyataan, memikirkannya saja aku sudah tak sanggup. 

"Hush! Kamu jangan ngomong gitu, Num. Ucapan adalah doa, nanti kalau kejadian gimana?"

"Habisnya, kucing mana yang selalu menolak jika disajikan ikan di depannya? Bahkan kucing sakit sekali pun. Lalu Mas Bagas? Boro-boro ditanggapi, lirik aja pun nggak."

Sarah menatapku seakan tak percaya. Aku tahu jika permasalahan yang sedang kualami sekarang bukanlah perkara biasa. Perempuan yang sudah menikah mana, tapi masih tersegel setahun lamanya?

"Apa kamu ngga berusaha terbuka? Tanyakan pada suamimu baik-baik. Ada apa sebenarnya."

"Sudah, dia hanya berasalan lelah karena kerjaan." Aku menjawab sembari menyeruput minuman dingin yang telah disajikan. 

"Masa lelahnya sampai setahun? Ya, ngga mungkinlah," ujar Sarah. 

Aku memutar-mutar sedotan di dalam gelas. Perasaanku berkecamuk tak tenang. Pikiranku terasa berat. Jujur saja jika aku tersinggung diperlakukan seperti ini oleh Mas Bagas. Ya, walaupun dia sangat baik dan penuh perhatiaan, akan tetapi kenapa dia selalu enggan menyentuhku? 

Di awal pernikahan, aku tak terlalu mempermasalahkan. Saat itu aku masih mencoba untuk berpikir jernih, ya, barangkali Mas Bagas masih gugup sehingga harus cukup waktu untuk kami berdua. Ditambah dia selalu melakukan tugas luar kota. Kelelahan wajar saja mendera. Namun, jika sampai saat ini aku masih belum merasakan bagaimana nikmatnya malam pertama, apakah itu wajar? 

"Mulai besok coba ikuti suamimu. Atau minta tolong siapa gitu untuk memata-matai Bagas. Barangkali apa yang kamu curiga, kan ada benarnya."

Aku menatap Sarah. Wanita berjilbab rapi itu menganggukkan kepalanya. Tidak pernah Sarah memberikan ide seperti ini. Apakah ini adalah langkah terakhir yang harus kutempuh dalam permasalahan rumah tanggaku dan Mas Bagas? 

"Kamu yakin?" tanyaku memastikan. 

"Iya. Coba saja. Nggak ada salahnya juga, kan? Semoga semuanya terjawab."

Aku menghela napas berat. Kenapa harus seperti ini? Selama ini aku sangat mempercayai suamiku. Dia baik, sangat baik. Hanya karena urusan ranjang saja yang membuatku kembali berpikir. Apakah dia benar-benar mencintaiku? Mengingat dulu kami menikah tanpa pacaran. Hanya berbekal perkenalan singkat dan langsung memutuskan untuk menikah. Aku merasa cocok dengannya entah karena apa. Hal pertama yang kulihat adalah Mas Bagas adalah lelaki santun yang selalu menjaga pandangan. Ayah dan Ibu pun tak mempermasalahkan, sehingga semuanya berjalan lancar tanpa hambatan. 

"Aku ngga punya kenalan yang bisa kumintai tolong, Sarah. Takutnya jika meminta tolong kepada orang dekat, malah akan terbongkar semuanya."

Sarah terlihat berpikir sejenak. Lalu ia menyunggingkan senyum simpul. Lesung pipi terlihat jelas di kedua pipinya. 

"Aku ada sepupu yang bisa tolongin kamu. Kebetulan sedang libur kuliah. Pasti mau, deh, dimintai tolong begituan. Maklum anak muda. Jiwa keponya meronta-ronta."

"Ah. Bolehlah. Aku nggak keberatan, kok, selama dia menjaga rahasia dengan baik."

Aku tidak mau permasalahanku dengan Mas Bagas terendus oleh keluarga besar. Terutama oleh orang tuaku. Biarlah aku menyelesaikannya terlebih dahulu tanpa harus membawa-bawa orang lain. 

"Oke. Nanti waktunya kamu yang atur. Lebih cepat lebih baik, Num."

Ah! Perasaanku gelisah tak menentu. Aku takut jika Mas Bagas tak setuju. Bisa jadi dia akan marah besar karena aku meminta bantuan orang lain untuk memata-matainya. Apa aku harus melanjutkan rencana Sarah atau menghentikan semuanya? Kembali menjadi Hanum yang seperti dulu, tak pernah protes meski Mas Bagas belum menunaikan nafkah batinnya? 

"Aku pikir-pikir dulu, Sarah. Rasanya aku jadi ragu. Takut ketahuan." 

"Ya ampun, Num. Kamu takut ketahuan memata-matai suamimu atau takut jika ketahuan Mas Bagas benar-benar selingkuh?"

"Entahlah. Apa nggak sebaiknya aku bersabar aja, ya. Sampai waktunya tiba."

Sarah tertawa. Aku tahu jika dia sedang mentertawakan kegundahanku. 

"Kamu aneh. Sudah, ah! Kamu segera hubungi aku jika sudah berubah pikiran. Sekarang aku harus pulang. Mas Adam sudah tunggu di parkiran."

"Lha, kok pulang?" tanyaku keberatan. Aku belum menemukan titik terang mengenai kondisiku dan Mas Bagas saat ini. 

"Kan aku sudah kasih saran tadi. Ya itu dulu dilakukan. Selanjutnya kita bahas nanti. Maaf, ya. Mas Adam sudah nungguin. Kami ada acara di pesantren satu jam lagi."

Aku mengangguk lemah. Sarah meninggalkanku seorang diri. Bagaikan seorang pesakitan yang tidak bisa menemukan obat, aku menunduk lesu di bangku. Rasanya kepala sudah buntu untuk berpikir. Aku bingung serta risau. Hatiku masih menimbang, apakah aku akan mengikuti saran dari Sarah atau menutup semuanya dan kembali melakukan kehidupan normal seperti biasa dengan suamiku? Namun, di lain sisi, aku juga seorang wanita dewasa yang ingin dimanja. Apalagi statusku adalah seorang istri, wajar bukan jika aku ingin menjadi istri seutuhnya, tidk sekadar status saja? 

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status