~~~~~~
Dua tahun sebelumnya ...,
Beberapa majalah bisnis yang mencatut nama perusahaanya tercetak dan beredar di seluruh Ibukota. Berita-berita ekonomi dan bisnis menyuarakan namanya dan mengagungkan perusahaannya. Bahkan media elektronik juga tak luput memberitakan tentangnya.
Perkembangan Artha Group semakin melesat menembus kejayaan yang di impikan Aditya. Menempati jajaran sepuluh perusahaan properti yang merajai industri pembangunan di Indonesia, membuat pria itu nampak bangga dengan hasil yang ia peroleh dari tahun ke tahun.
Tak tanggung-tanggung, jumlah aset yang sudah dimiliki perusahaan Aditya sampai detik ini berkisar 58,76 trilliun dan hal itu terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 57,65 trilliun. Hal ini membuat perusahaannya menjadi salah satu perusahaan yang di rekomendasikan dalam pembangunan apa pun di beberapa wilayah. Selain itu, nampaknya kejayaan Aditya tak hanya di Indonesia. Perusahaan cabang yang berada di Perancis juga membuahkan hasil yang sama dengan induk perusahaannya.
Aditya masih menatap sebuah majalah bisnis yang mencetak nama dan perusahaannya di sampul depan untuk edisi minggu ini. Hal itu menjadi tolak ukur atas keberhasilannya kembali dalam memanajemen apa yang sudah ia bangun beberapa tahun lalu.
"Permisi, Pak Aditya," sapa Sandra—sekretaris pribadi sekaligus kepercayaan Aditya—yang saat ini sudah berada tepat di depan meja kerja pria itu.
"Ya, Sandra ...," tanggap Aditya.
"Hari ini, ada beberapa jadwal wawancara yang sudah saya susun untuk Bapak. Untuk hari ini ada dua perusahaan media massa yang bertandang ke kantor nanti jam sepuluh. Bagaimana, Pak? Pak Aditya bisa menemuinya sendiri?"
Akan tetapi, bukannya pria itu mendengarkan ucapan sang sekretaris, justru ia menatap Sandra dengan lekat. Menatap kecantikam sekretarisnya itu yang semakin hari semakin terpancar begitu saja.
"Pak? Pak Aditya?" tegur Sandra.
"Memangnya di sini ada siapa selain aku dan kamu?"
Sandra memandang netra lelaki itu dan seolah memahami pembicaraan Aditya, ia lantas tersenyum. Sandra berdiri seketika dan menuju ke samping kursi Aditya. Jemari lentiknya mengusap halus jas kerja milik pria itu. "Jadi apa yang harus aku beri untuk keberhasilanmu, Aditya?" ucap Sandra dengan nada yang sangat menggoda.
"Apa karena terlalu sibuk dengan dokumenmu ... kamu melupakan apa yang seharusnya?"
Sandra hanya tersenyum menanggapi ucapan atasannya itu. Ya, memang dirinya dan Aditya bukan hanya sebatas pekerjaan semata. Sejak hati Aditya kosong kembali dan tak terisi siapa pun, perempuan itu justru maju untuk mendapatkan hati Aditya kembali. Dan, hal itu nampaknya berhasil, Aditya mulai memerhatikannya walaupun dengan imbalan yang sepantasnya pria itu dapatkan.
Tok ... Tok ... Tok ...
Netra Aditya dan Sandra langsung menatap ke arah pintu secara bersamaan. Tentu saja, memang tak seharusnya mereka berbuat yang aneh-aneh selama masih jam kantor berlangsung. Aditya kembali merapikan jas kerjanya.
"Aku anggap ini hutang, dan kamu harus bayar itu nanti," ucap Aditya yang lantas menyuruh Sandra untuk membukakan pintu ruangannya.
Sandra pun hanya tersenyum sembari berjalan ke arah daun pintu ruangan Aditya. Begitu pintu di buka ternyata sosok Alexander Juan tengah berdiri di balik pintu itu.
"Saya permisi dulu, Pak," pamit Sandra pada Aditya dengan sebuah kerlingan mata perpisahan sementara.
Aditya hanya menganggukkan kepalanya dan menyuruh pamannya masuk ke dalam ruangannya.
"Ada apa, Paman? Apa ada masalah?"
"Tidak ada, hanya ingin memberi laporan ini. Oh iya kamu dan sekretarismu itu ada sesuatu?" tanya Alexander yang kemudian menyerahkan dokumennya pada Aditya.
Aditya yang tadinya ingin membuka laporan yang diberikan sang paman lantas menghentikan kegiatannya dan menatap pria itu dengan penuh tanda tanya. Entah, sejak kapan pula pamannya turut andil dalam urusan pribadinya.
"Maksud, Paman?"
"Begini Aditya, ya bukannya Paman mencurigai sekretarismu itu. Hanya saja kamu jangan terlalu percaya ... bisa saja kan ternyata dia berkhianat di belakangmu," ucap Alexander.
"Dia orang kepercayaan saya, Paman, tidak mungkin Sandra melakukan hal seperti itu."
"Bisa jadi kan, kita tidak pernah tahu dalamnya hati seseorang. Hati-hati saja," lanjut Alexander yang seraya menjauh dari ruangan Aditya karena memang niatnya hanya mengantar laporan hasil proyek di mana Aditya memberikannya kepercayaan.
Aditya hanya memandang punggung pamannya dengan tatapan menelisik. Pernyataan sang paman nampak mendalam dan membuat Aditya harus berpikir dengan tujuan apa Alexander membicarakan hal yang tak pernah menjadi pokok permasalahan.
Kecurigaan Aditya pun terusik. Jelas ia bukan mencurigai sang sekretaris, tetapi ia justru mencurigai sosok pamannya sendiri. Tidak mungkin seseorang tiba-tiba menyinggung tentang penghianatan jika ia tak memiliki maksut di dalamnya.
Tic!
"Ya, Tuan," jawab Marco setelah panggilan dari Aditya terjawab.
"Selidiki Alexander Juan, kerahkan anak buahmu. Segera!"
"Baik, Tuan."
🍂🍂🍂
Beberapa hari kemudian, Artha Group kembali di percaya memegang sebuah proyek lapangan golf yang di gadang-gadang bernilai milyaran rupiah, menjadi salah proyek besar yang di pegang Artha Group. Kini, di depan beberapa jajaran penting perusahaan, Aditya memimpin rapat penting untuk membahas proyek baru yang akan mereka tangani.
"Jadi, saya tidak ingin proyek ini tidak sempurna. Ingat visi misi perusahaan. Kepuasan konsumen adalah tanggung jawab kita bersama. Dan saya sudah memutuskan untuk penanggung jawab proyek ini saya berikan pada Pak Burhan sebagai Project Managernya," ucap Aditya yang melirik pria di samping kanannya itu.
"... saya percaya Pak Burhan bukan orang sembarangan. Meskipun anda baru bergabung di kantor ini satu tahun lalu, tapi saya percaya kinerja anda menjanjikan. Pak Burhan siap?" lanjut Aditya.
"Jika memang sudah kepercayaan Pak Adit, saya akan menerimanya, Pak. Terima kasih banyak atas kepercayaannya ...," timpal Burhan.
Aditya menganggukkan kepalanya dan acara rapat dilanjutkan dengan mekanisme dan tatanan desain untuk lapangan golf itu sendiri. Rapat yang dilakukan masih untuk pembagian penanggung jawab dari masing-masing pekerjaan di proyek besar tersebut. Namun, tak ada satu pun nama Alexander yang tercatut di proyek itu.
Keputusan Aditya nampak membuat Alexander tercekat beberapa detik. Kenapa bukan dirinya yang ditunjuk? Mengapa ia hanya bisa memimpin proyek kecil dan bahkan orang baru seperti Burhan justru memegang proyek besar. Tangannya mengepal untuk beberapa saat, sampai rapat selesai pun Alexander benar-benar tidak puas dengan semua hasil keputusan keponakannya itu.
"Aditya."
Aditya menolehkan pandangannya dari layar laptop ke arah Alexander yang masih berada di ruang rapat dan belum beranjak keluar itu.
"Ya, Paman?"
"Paman ingin bicara denganmu, berdua."
Mendapati penekanan ucapan di akhir kalimat Alexander, pria itu nampak menyuruh Marco dan Sandra untuk meninggalkannya terlebih dahulu. Lantas Aditya yang masih terduduk di kursi kebesarannya itu nampak menatap Alexander yang masih berdiri di depannya.
"Kenapa nama Paman tidak dimasukkan ke proyek ini? Apa kamu tidak percaya?"
"Bukan, Paman, tapi Paman masih memegang proyek perumahan itu, 'kan? Dan perumahan itu belum selesai, jadi saya pikir agar Paman fokus dengan satu proyek dulu. Oke begini, saya tahu ... saya menunjuk Burhan yang notabene orang baru di perusahaan ini bukan karena asal memilih. Tapi saya melihat track record pekerjaan dia sebelumnya, jadi saya menunjuknya untuk menjadi penanggung jawab proyek ini."
"Tapi perumahan itu hampir selesai, 'kan? Setidaknya ada satu posisi yang bisa Paman masukin. Tolonglah Adit, kamu tahu kan sepupumu itu masih perlu biaya besar, tanggungan Paman di rumah banyak dan mungkin proyek ini bisa membantu,"
Aditya menghela napasnya, ia tahu bahwa pamannya memang benar-benar jatuh beberapa tahun lalu. Hingga ia masuk ke perusahaan Aditya dibantu oleh mendiang ayahnya agar bisa bekerja di perusahaan miliknya. Namun, kecurigaan tempo hari nampaknya menjadi salah satu pertimbangan Aditya tak memberikan proyek apa pun pada Alexander.
"Maaf, Paman, mungkin nanti akan saya berikan kesempatan itu pada Paman di lain proyek. Saya permisi." Aditya mulai bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari ruang rapat itu.
Sementara di sisi lain, Alexander nampak menautkan sebuah benda kecil di telinganya setelah mendapati Aditya pergi dari ruangan rapat itu. Rasa kesal menyelimuti dirinya dan kembali rasa iri dengki bersarang di benak.
"Lakukan rencana itu nanti malam!" titah Alexander.
"Siap, Bos, tenang saja kita tidak akan membiarkan dia hidup!" sahut seseorang di ujung telpon itu.
"Bagus, saya tunggu kabar baiknya."
Panggilan terputus sepihak oleh Alexander. Rencana demi rencana mulai ia susun dengan rapi jauh-jauh hari. Namun, langkahnya belum bisa terlaksana di karenakan menunggu waktu yang tepat untuk menghabisi keponakannya sendiri. Bagaimana pun jika Aditya tidak ada, maka ia bisa menjadi wali untuk meneruskam perusahaan ini. Senyum seringai nampak kentara di sudut bibirnya. Mata dan hatinya sudah tertutup oleh duniawi, sehingga apa pun caranya akan ia tempuh demi kepentingan pribadi.
'Aditya, maafkan Paman. Tapi kejayaan perusahaanmu lebih dari segalanya,' batin Alexander.
🍂🍂🍂
Pukul enam sore, Aditya masih saja berkutat dengan beberapa dokumen di mejanya. Ia harus meneliti sendiri perkembangan dari proyek satu ke proyek lain. Bebannya bertambah dengan proyek lapangan golf itu sebagai proyek terbesar untuk perusahaannya tahun ini. Rasa lelah mulai menyelimuti, terkadang ia harus menyandarkan badan pada kursi empuk untuk sekedar melepas penat mata yang selalu menatap ke layar laptop.
"Pak, belum selesai?" sapa Sandra tiba-tiba.
"Sudah, ayo pulang," ucap Aditya yang lantas menutup laptopnya dan beranjak berdiri dari kursinya.
Sandra pun mengiyakan ucapan atasannya dan mengikuti langkah Aditya keluar dari kantornya. Beberapa menit berlalu langkah Aditya terhenti saat melihat Alexander ternyata juga masih berada di kantornya. Ia melirik jam di tangannya yang seharusnya sudah satu setengah jam lalu adalah jam pulang kantor.
"Pak, saya pulang duluan ya kalau begitu. Saya masih ada acara lain."
Aditya hanya menganggukkan kepalanya sebelum melangkahkan kaki ke arah Alexander yang nampak masih berkutat di depan laptopnya.
"Paman?"
"Oh hey, Dit, kamu sudah mau pulang?"
"Saya pikir Paman sudah pulang dari tadi?"
"Iya rencananya begitu, tapi ada beberapa laporan yang harus Paman kerjakan. Ya ... berkaitan dengan proyek perumahan."
Aditya hanya mengangguk tanpa curiga sama sekali. Setelahnya, ia pun berpamitan untuk meninggalkan kantor dan kembali ke kediamannya. Sepanjang perjalanan pun Aditya hanya bisa menyandaekan badan pada badan jok tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Tuan Aditya," sapa Marco tiba-tiba.
"Ya Marco, ada apa?" ucap Aditya yang lantas menatap sang tangan kanan.
"Maaf jika saya membicarakan perihal ini di sini. Tapi saya sudah menemukan kesimpulan dari yang diperintahkan Tuan tempo hari."
Aditya mencoba mencerna ucapan Marco dan kembali mengingat titah apa yang di berikan pada tangan kanannya itu. Setelah cukup lama terdiam akhirnya Aditya menemukan jawabannya.
"Oh iya? Jadi apa kesimpulannya?"
"Jadi—"
Dug ... Dug ... Dug.
"Keluar!"
Marco langsung menatap ke arah sisi kanan mobilnya dan didapati dua buah motor yang masing-masing terisi dua orang mencoba memberhentikan mobil Aditya. Marco yang melirik ke arah Aditya langsung menancapkan gas di mobil itu setelah mendapatkan kode dari Aditya untuk membiarkan saja.
Mobil pun melesat, tetapi nampaknya para pemotor itu masih mengejar mobil Aditya hingga mengarahkan lajunya ke arah yang berbeda dari sebelumnya. Sedan hitam metalic itu melesat menembus jalanan sepi dan berkelok-kelok. Jalanan yang sudah terlalu jauh dari perkotaan dan membuat Aditya menyimpulkan sesuatu.
"Tuan, mereka masih mengejar kita," ucap Marco.
"Marco, kita dijebak."
Marco yang mengernyitkan alisnya karena belum memahami situasi, mendadak tercekat dengan pemikirannya. Jantungnya seakan berhenti berdetak karena bukan lagi nyawanya yang dipertaruhkam, tapi nyawa Aditya yang menjadi ancaman.
Dan benar saja, ketika Marco menginjak rem di mobil tersebut, benda itu tak berfungsi seperti biasanya. Padahal laju mobil saat ini sangat kencang. Jelas saja hal itu membuat Marco panik karena sudah dapat dipastikan apa yang akan terjadi jika ia tak bisa mengendalikan mobil ini.
"Tuan menunduk!" teriak Marco karena mendengar suara tembakan persis di belakang Aditya.
Kaca mobil itu berhasil tertembus oleh sebuah peluru dan karena hal itu Marco tak mampu mengendalikan mobilnya.
"Tuan keluar!" teriak Marco.
Tak mampu berpikir lama, Aditya pun membuka pintu mobilnya dan melompat begitu saja hingga menabrak pembatas beton di samping jurang yang curam. Namun, Aditya seketika syok saat mobilnya menabrak sebuah tebing di sisi kanan dengan kondisi yang mengenaskan.
"Sialan!" umpat Aditya yang berusaha berdiri untuk menghampiri Marco.
Ia tak akan pernah peduli dengan mobilnya yang sudah rusak parah atau pun hancur lebur. Yang ia pikirkan hanyalah tangan kanannya. Dengan sedikit tenaga yang ia miliki—karena tulang rusuknya menghantam pagar beton dengan keras—membuat langkahnya tak bisa cepat karena menahan sakit yang luar biasa.
Selain itu, ia juga mencoba meraih ponsel di dalam saku jas kerjanya. Untung saja ponsel itu masih menyala, ia segera memencet sebuah nomor di sana. Sembari mencoba tetap berjalan untuk memastikan kondisi Marco.
Namun, langkahnya terhenti saat rasa nyeri yang begitu menusuk membuat tubuhnya limbung di tanah. Ia hanya mampu menatap kaki tangannya yang nampak tak sadarkan diri dengan bersimbah darah di wajah. Kondisinya sendiri juga sama sekali tak dapat di sepelekan, Aditya tak lagi kuat menahan rasa sakit di tulang rusuknya dan kesadarannya mulai menghilang.
"Dit, tumben nelepon? Dit ... Aditya ...." Suara seseorang di ujung ponsel yang sudah tergeletak tanpa sahutan dari sang pemilik.
Bersambung ....
Secretary sang CEO~~~~Dua buah brankar terdorong dengan cepat hingga menimbulkan suara decitan di setiap gesekan roda dan lantai rumah sakit. Begitu pun langkah Devan—sahabat Aditya— yang menemukan pria itu sudah tak sadarkan diri beserta mobil yang sudah hancur dan sosok Marco yang juga sama kondisinya, turut menyamai langkah para medis yang akan membawa tubuh Aditya ke IGD. Beruntung, ia mengangkat panggilan dari Aditya malam itu dan bentuk keterdiaman tak mendapat jawaban setelah disapa berkali-kali, membuat Devan segera melacak keberadaan sahabatnya itu."Maaf, Mas, silakan anda menunggu di luar selama pemeriksaan dokter." Seorang perawat mulai menutup pintu IGD setelah dua brankar masuk ke dalam ruangan itu.Meskipun Devan memang tak pernah turut campur masalah pekerjaan Aditya, tetapi apa pun kondisi Aditya di saat seperti ini pastilah ia selalu ada. Menjadi sahabat pria itu selama beberapa tahun ke belakang membuat Devan sudah
Secretary sang CEO~~~~~Satu bulan kemudian ~Pria berusia 45 tahun itu kini tengah merasa senang, sebab kabar terbaru yang ia dengar adalah ketidak stabilan kondisi keponakannya dan parahnya Aditya sudah satu bulan tidak sadarkan diri. Ia tersenyum miring di depan kaca ruang ICU yang menunjukkan tubuh Aditya yang terbaring lemah dengan beberapa alat medis di tubuhnya. Beberapa kali ia melihat bahwa kondisi Aditya benar-benar mengkhawatirkan dan hal itu jelas membuatnya semakin bahagia.'Lihatlah dirimu, kamu begitu lemah Aditya! Bodoh!' umpat Alexander Juan dalam hati.Senyum di bibirnya semakin lebar, hingga suara ponsel memekikkan telinga untuk beberapa detik membuyarkan atensinya. Ia pun segera merogoh ponsel itu dan melihat nama yang tercetak di layar benda pipih itu .Sandra is calling ...Alexander menatap nama itu dengan malas, tetapi tetap mengangkat panggilan Sandra. Ia pun menempelkan po
Secretary sang CEO~~~~Jalanan macet, polusi udara sudah menguar dan klakson mobil serta motor yang memekikan telinga dimana-mana, menjadi pemandangan yang lazim di Ibukota Jakarta dengan segala kesibukannya pagi ini. Sosok perempuan muda berusia 22 tahun baru saja turun dari ojek yang mengantarnya ke kantor media cetak "Metropolitan Post"."Terima kasih, Pak, ini uangnya ...," ucap gadis itu sembari menyerahkan selembar kertas berwarna biru."Waduh, Neng, kelebihan ini. Bapak belum ada pelaris pagi-pagi gini," timpal pengemudi ojek tersebut dengan raut bingung menerima selembar lima puluh ribuan."Sisanya buat Bapak saja," ujarnya ramah."Wah terima kasih, Neng, kalau begitu Bapak pergi dulu."Perempuan itu menganggukkan kepalanya setelah itu ia membalikkan badan dan berjalan ke arah kantor media cetak itu. Anggi Putri Salsabilla, gadis cantik berambut panjang hitam kecokelatan yang selalu ia ikat meru
Secretary sang CEOAnggi terkejut mendengar titah Aditya kepada kedua tangan kanannya. Itu artinya ia akan berdua dengan Aditya saja. Ia sudah gugup sedari tadi dan berharap tidak ada yang meninggalkannya, tapi harapannya tidak terwujud dengan langkah kaki kedua tangan kanan pria itu menjauh meninggalkan ruangan ini. Ia masih tidak enak hati dengan kejadian di lobi utama tadi dan membuatnya terdiam di depan Aditya."Emm ... Pak Adit, jika ada hal yang perlu dibicarakan dengan Anggi terkait pekerjaan biar sama sa—""Tidak perlu. Biar saya sendiri yang memberitahunya ...," potong Adit menolak tawaran Sandra yang sedari tadi terus menatap ke arah Anggi.Sontak saja, Sandra merasa perhatian Aditya sudah teralihkan oleh sosok Anggi. Dengan perasaan kesal yang ia tutupi sempurna ia keluar dari ruangan Aditya. Perempuan itu masih mengingat bagaimana tatapan serta senyum tipis pria itu pada Anggi. Setelah ia tutup pintu ruangan
Secretary Sang CEO(beberapa scene terdapat konten18+)Senja di ufuk barat telah lama tenggelam dan langit yang menggelap telah tiba. Sekitar pukul tujuh malam yang tercetak jelas di jam tangannya, Anggi mendecak dengan kesal karena selepas makan siang ia sama sekali tak melakukan hal yang membuatnya banyak gerak. Perempuan itu sangat lelah jika harus menunggu tanpa melakukan kegiatan apa pun, hanya saja ia harus menunggu Aditya hingga pria itu menyelesaiakan pekerjaannya.Sudah beberapa jam Anggi hanya duduk di depan meja kerja Aditya sebab perintah pria itu benar-benar tidak bisa ditentangnya. Ia sangat lelah dan matanya mulai mengantuk. Perempuan itu pun meletakkan kepalanya di atas meja kerja Aditya dengan berbantal tangan, berharap sang atasan tidak peduli dengan tingkah tidak sopannya kali ini.Selang beberapa menit kemudian, Aditya pun melirik perempuan itu dan seulas senyum muncul begitu saja di bibirnya. Ia kemudian menutup dokumen
Secretary sang CEOHari semakin larut, rasa lelah yang Aditya rasakan sama sekali tidak lagi terasa dan digantikan dengan rasa cemas. Pria itu sedari tadi hanya bisa mondar-mandir di depan ruang ICU—setelah sebelumnya anaknya berada di IGD—guna menanti kabar yang mampu melegakan semua kecemasan. Ia khawatir dengan kondisi Aurel—anak perempuannya dari Sabrina— yang tak ia ketahui penyebabnya sampai detik ini. Bahkan Sabrina seakan bungkam dan tak berani mengatakan hal yang sebenarnya pada Aditya. Beberapa jam telah ia lewati hingga bunyi decit yang ditimbulkan pintu ruang ICU dan lantai membuat Aditya langsung bergerak menemui dokter yang keluar dari ruangan tersebut."Keluarga Aurel Kavindra," panggil pria yang bertitle dokter itu."Saya Papanya. Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"Begini, Pak. Saya Dokter Erwin yang menangani anak Bapak beberapa bulan terakhir ini. Jadi, menurut hasil pemeriksaan kami, kanker Aurel sudah
Secretary sang CEOWaktu pun berlalu, satu minggu sudah kepergian Aurel dalam hidup Aditya dan Sabrina. Kembali tenggelam akan hal yang sama sekali tak pernah ia inginkan. Namun, ia sadar semua yang datang pasti akan kembali pergi. Kepergian sang anak nampaknya membuat Aditya harus menghabiskan waktu satu minggu untuk benar-benar merelakan kepergian Aurel. Ia sadar, dirinya tak boleh berlarut dalam kesedihan berlama-lama atau hal itu akan membuatnya kembali dalam masalah mental yang sudah susah payah ia kendalikan.Hari ini di depan pusara sang anak ia berdiri dan terdiam, menatap kembali makam anaknya yang masih bau bunga semerbak dan tanahnya pun masih basah. Kini Aditya seolah telah menyetel kembali sikapnya menjadi sosok yang sangat dingin dan mungkin menciptakan stigma pada orang lain bahwa dirinya tidak akan terlalu terbuka. Tidak ada senyum lagi darinya untuk siapa pun. Kehilangan seseorang yang dia sayang berkali-kali membuat
Secretary sang CEOTatapan tajam mengarah tepat ke manik mata Sandra. Aditya benar-benar tidak suka dengan pemandangan yag tidak sengaja ia lihat. Entah, ia memilih ingin membela Anggi daripada Sandra yang sudah bertahun-tahun di sampingnya. Nalurinya mengatakan bahwa Anggi tidak dalam posisinya yang salah."Sikapmu benar-benar tidak pantas Sandra!" hardik Aditya."Tapi aku ... aku hanya—""Bedebah! Pergi dari Anggi! Jangan ganggu dia lagi! Paham!" perintah Aditya.Sandra tidak menyangka Adit akan membela Anggi dan mempermalukan dirinya di depan perempuan itu. Ia sontak menatap Anggi dengan aura kebencian dan pergi dari hadapan Aditya dengan setengah berlari. Air matanya sudah jatuh tanpa terasa, rasa kesal di dadanya bertambah dan menimbulkan kebencian pada sosok Anggi."Kamu enggak kenapa-kenapa?" tanya Aditya yang nampak khawatir dengan perempuan itu.Anggi menggelengkan kepalanya. "Tida