~~~~
Dua buah brankar terdorong dengan cepat hingga menimbulkan suara decitan di setiap gesekan roda dan lantai rumah sakit. Begitu pun langkah Devan—sahabat Aditya— yang menemukan pria itu sudah tak sadarkan diri beserta mobil yang sudah hancur dan sosok Marco yang juga sama kondisinya, turut menyamai langkah para medis yang akan membawa tubuh Aditya ke IGD. Beruntung, ia mengangkat panggilan dari Aditya malam itu dan bentuk keterdiaman tak mendapat jawaban setelah disapa berkali-kali, membuat Devan segera melacak keberadaan sahabatnya itu.
"Maaf, Mas, silakan anda menunggu di luar selama pemeriksaan dokter." Seorang perawat mulai menutup pintu IGD setelah dua brankar masuk ke dalam ruangan itu.
Meskipun Devan memang tak pernah turut campur masalah pekerjaan Aditya, tetapi apa pun kondisi Aditya di saat seperti ini pastilah ia selalu ada. Menjadi sahabat pria itu selama beberapa tahun ke belakang membuat Devan sudah mampu membaca apa yang sebenarnya terjadi. Yang tidak ia ketahui hanyalah dengan siapa Aditya sekarang bermasalah.
Beberapa jam ia menunggu di rumah sakit tersebut hingga terus mondar-mandir di depan ruang IGD menunggu sebuah kabar yang membuatnya tak khawatir. Namun, dokter bahkan belum keluar dari ruang IGD untuk memberikannya kabar dari kondisi Aditya. Ia memeriksa ponsel Aditya, menaik turunkan layar ponsel yang pecah mungkin akibat benturan itu untuk sekedar mencari tahu apakah orang yang bermasalah dengan sahabatnya itu berhubungan langsung atau tidak.
Akan tetapi, ia tidak menemukan apa pun di ponsel itu sampai Devan tercekat pada satu email masuk di ponsel Aditya. Ia membuka email yang mengirimkan sebuah file dokumen untuk Aditya. Dari judul dokumen tersebut saja sudah berhasil membuat rasa penasaran Devan, ia pun mengunduh dan mulai membacanya.
Beberapa menit ia membaca dokumen itu, ia tercekat pada satu keterangan di mana adanya hal yang tidak beres pada isi email itu.
"Jadi ini masalahnya." Devan masih membaca isi dokumen itu dengan teliti.
Hingga, suara decitan pintu ruang IGD berbunyi pertanda seseorang keluar dari sana. Membuat Devan langsung berdiri dan memasukkan ponsel itu ke sakunya.
"Dokter, bagaimana kondisi pasien di dalam? Mereka selamat, 'kan?" tanya Devan dengan ragu. Pasalnya ia melihat sendiri kacaunya kondisi keduanya.
"Kondisinya cukup memprihatinkan, hanya saja kami akan lakukan yang terbaik untuk keselamatan pasien. Untuk sementara kami akan melakukan operasi pada pasien dengan retak dan patah di tulang rusuk."
"Lakukan yang terbaik, Dokter."
Sang dokter pun menganggukan kepalanya dan berpamitan untuk segera berlalu dari Devan. Sedangkan Devan kembali menghubungi seseorang yang mengirim email pada Aditya.
🍂🍂🍂
Malam semakin larut, tetapi tak membuat Devan mengantuk atau pun lelah. Ia menatap seorang pria bertubuh tegap dengan setelan jaket kulit berwarna hitam dan bawahan jeans senada di depannya. Di depan sebuah minimarket dekat rumah sakit lah Devan meminta seseorang itu menemuinya.
"Jadi, maksud dari email yang anda kirim itu sebuah informasi bahwa orang ini berniat buruk pada Aditya?" Devan mulai memandangi kembali foto yang tertera di layar ponsel pria itu.
"Bisa dikatakan seperti itu. Saya dan anak buah saya sudah menyelidik semuanya. Memang ada hal yang ganjil mengenai orang itu."
Devan mengehela napasnya, ia kembali meminum sekaleng bir yang ia beli barusan dari minimarket di belakangnya.
"Anda tahu hari ini Aditya dan tangan kanannya mengalami kecelakaan hebat?"
"Kecelakaan?"
Devan mengangguk pelan pada sosok di depannya yang seperti memang tak mengetahui perihal ini.
"Saya bisa minta tolong?"
🍂🍂🍂
Sebuah mobil jeep berhenti tepat di depan rumah elit milik Alexander Juan. Seseorang itu beserta tiga lainnya memasuki rumah Alexander yang terbuka dan memang menyambut keempat orang itu. Alexander yang tengah duduk di sofa empuk berlapis linen kembali menghisap cerutu dengan santai dan tersenyum saat menatap keempat anak buahnya kembali ke rumahnya.
"Lancar?"
"Terlalu lancar, Bos. Ini ...," ujar salah satu pria itu dengan percaya diri sembari menunjukkan beberapa foto di mana kondisi yang di inginkan Alexander akhirnya terwujud.
"Bagus. Tidak salah aku membayar kalian mahal. Bawa ini!" Alexander menyerahkan satu amplop tebal ke arah mereka.
Sang pemimpin kawanannya pun mengambil amplop tersebut dan memeriksa isinya. Merasa sudah sesuai dengan perjanjian, mereka pun segera pergi dari rumah Alexander.
Senyum seringai tersungging jelas di bibir pria itu. Kejayaan Aditya akan berkahir di tangannya. Ia tak terlalu peduli apakah keponakannya itu selamat atau tidak. Bahkan ia berharap Aditya tidak akan bisa selamat.
Alexander Juan adalah anak angkat dari keluarga Reinaldi—kakek dari Aditya. Dalam lingkungan keluarga ia sudah di anggap kakak bagi papanya--Ferlandio Kavindra. Asal muasal Alexander dapat berada di keluarga Reinaldi di karenakan pasangan tersebut belum mampu memilik seorang anak hingga 10 tahun pernikahan mereka. Dengan pertimbangan yang terjadi di antara mereka, akhirnya Reinaldi dan istrinya mengadopsi seorang bayi laki laki dan memberinya nama Alexander Juan.
Kehidupan keluarga Reinaldi berwarna sejak kehadiran Alexander Juan, banyak suka cita yang mereka rasakan. Namun takdir berkata lain, setelah usia Alexander menginjak dua tahun justru mereka dikaruniai seorang anak laki-laki hasil darah daging mereka sendiri. Ia lahir dengan sehat, memiliki paras yang tampan dan tidak kekurangan apa pun. Anak tersebut bernama Ferlandio Kavindra Reinaldi, pewaris tahta sesungguhnya dari keluarga Reinaldi. Kehidupan pun berubah, sang kakak —Alexander Juan— berangsur-angsur merasa kehilangan kasih sayang yang utuh sejak kehadiran Ferlandio di tengah keluarga Reinaldi.
Reinaldi pun akhirnya membeberkan suatu kenyataan saat ia berumur 17 tahun bahwa dirinya adalah anak angkat keluarga Reinaldi.
"Maafkan kami Alexander, tapi kami hanya butuh waktu untuk memberitahukan semua ini. Kamu tetap anak Papa dan Mama. Dio juga tidak membedakan apa pun, kamu tetap kakak bagi Dio. Kamu mengerti kan, Nak?" ujar Reinaldi.
Bagai sudah jatuh tertimpa tangga, Alexander sempat merasa dirinya tersudut. Ia hampir tak dapat mengendalikan rasa kecewanya. Di mana orang tua kandungnya? Mengapa mereka tega meninggalkan dirinya? Namun, nampaknya ia memiliki penguasaan ketenangan yang sangat baik atau lebih tepatnya mampu memanipulasi keadaan.
Alexander tetap berusaha menerima kenyataan itu walau justru hal tersebut merubahnya menjadi sosok yang pendendam terutama terhadap Ferlandio. Meskipun hak mereka sama, apa pun selalu di samakan oleh orang tua mereka, tetapi Alexander telah membuat benteng tersendiri di dalam hidupnya. Ia tidak pernah puas dengan hal-hal yang di milikinya dan selalu berusaha merebut milik Ferlandio.
Sampai akhirnya Alexander memiliki unit bisnis yang di bantu oleh Reinaldi sebagai pemberi modal awal. Usahanya sukses dan berjalan semestinya. Namun, satu tahun terakhir bisnis pria itu bangkrut karena kesalahannya. Kedatangannya yang menyedihkan disambut baik oleh Aditya karena peran Ferlandio dan Andini—orang tua Aditya— yang membantunya bekerja di perusahaan miliknya.
Kecerdasan dalam berbisnis pada pamannya ini membuat Aditya tidak ragu untuk memberikan pekerjaan. Namun, di balik itu semua, Alexander
telah diam-diam ingin menguasai bisnis Aditya. Ia membuat bisnis baru guna menghancurkan usaha keponakannya itu.Bahkan Alexander Juan selalu berusaha ingin menyingkirkan Aditya. Hal itu terbukti hari ini, ia berhasil membuat Aditya mengalami kecelakaan mengenaskan dan berharap bahwa keponakannya itu tidak akan pernah bisa di selamatkan.
🍂🍂🍂
Keesokan harinya, Devan yang sedari semalam menunggu di rumah sakit nampak tertidur sambil duduk di bangku tunggu keluarga pasien. Kepalanya menyandar di tembok belakang dengan kedua lengan yang bersedekap, sepertinya posisi yang tepat untuk sekedar memejamkan mata sejenak.
Sampai, ia dikejutkan oleh dering ponsel di sakunya. Ia pun merenggangkan badan sejenak dan mulai merogoh ponsel di saku celananya. Tapi, ia tak melihat notifikasi apa pun di ponselnya. Dan ia baru ingat bahwa dirinya memegang ponsel Aditya. Ia pun merogoh saku jaket dalamnya dan mendapati ponsel itu berbunyi terus menerus.
Sandra. Nama yang tercetak di layar ponsel Aditya. Devan pun langsung mengangkat panggilan itu dan menempelkan benda pipih itu di telinganya.
"Pak Aditya kemana? Ini sudah jam sembilan dan Marco juga tidak hadir? Pak Aditya okay? Atau sakit? Atau —"
"Saya Devan, lebih baik kamu ke Rumah Sakit Bhakti Husada," potong Devan.
Dan panggilan berakhir begitu saja secara sepihak. Devan pun menatap ke arah arloji yang melingkar di tangannya dan benar saja jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia pun berdiri dari tempatnya duduk dan berniat keluar rumah sakit untuk mencari sarapan. Ia sedikit lega saat semalam dokter menyatakan bahwa Marco sudah dalam keadaan stabil, tinggal Aditya yang belum ia ketahui kondisinya secara jelas. Namun, langkahnya terhenti saat dokter memanggilnya.
"Maaf, Mas, saya hanya ingin memberitahukan bahwa kondisi pasien bernama Aditya kritis."
DEG.
Devan nampak tercengang mendapati ucapan dokter yang menjelaskan panjang lebar setelah kalimat pertamanya terucap. Selain nyawanya yang belum terkumpul dengan baik, pemberitahuan mengenai kondisi Aditya sempat membuatnya berpikir keras.
"Apa masih ada harapan, Dok?" tanya Devan.
"Saya dan tim akan berusaha. Yang jelas saya sudah memberitahukan bahwa kondisi pasien dan risiko yang akan terjadi. Jadi kami minta persetujan Mas yang bertanggung jawab untuk tindakan selanjutnya," jelas Dokter.
Devan hanya mengangguk cepat dan segera mengikuti sang dokter untuk melakukan serangkaian prosedur. Hingga, bunyi ponsel Aditya terus berdering dan ia langsung mengangkatnya begitu saja.
"Iya hallo," jawab Devan yang kini mengapit ponsel itu di antara bahu dan telinganya karena ia tengah menanda tangani beberapa dokumen persetujuan.
Namun, orang yang menelpon nampak tak memberi jawaban sampai sebuah tepukan di bahu Devan mampu mengalihkan perhatiannya. Ia menangkap sosok perempuan muda dengan setelan rapi di depannya.
"Pak Aditya kenapa?" ujar Sandra tiba-tiba.
"Oh kamu Sandra, ya ...," timpal Devan yang sempat membaca nama yang tertera di ponsel Aditya tadi.
Sandra hanya menganggukkan kepala tanpa mengurangi rasa khawatir di raut wajahnya.
"Sebentar, saya selesaikan ini dulu," ucap Devan.
Devan pun segera menyelesaikan dokumen tersebut kemudian menyerahkannya pada seorang perawat yang sedari tadi menunggunya. "Sus, tolong apa pun pengobatan dan tindakan kerahkan semua. Saya ingin pasien bisa selamat."
Perawat itu menganggukkan kepalanya seraya berpamitan dari hadapan Devan. Setelah itu pria itu nampak membalikkan badannya di mana masih tanpa berpindah, wanita di depannya menunggu penjelasan darinya.
"Aditya dan tangan kanannya mengalami kecelakaan semalam. Mobilnya hancur dan masih dalam penyelidikan. Sekarang kondisi tangan kanannya membaik tapi tidak untuk Aditya ...," ucap Devan.
"Maksudnya? Maaf anda siapa?"
"Devan. Ya, Aditya kritis dan tadi saya bertanggung jawab untuk prosedur yang akan di lakukan untuk Aditya."
Sandra tercengang mendapati kabar tersebut. Sontak, ia menjadi sangat khawatir dengan kondisi Aditya dan Marco walau memang jelas ia memikirkan Aditya. Namun, bagaimana pun bentuk kekhawatirannya ia tak memiliki hak penuh pada Aditya karena dirinya bukan siapa-siapa Aditya. Tiba-tiba sebuah derap langkah menuju ke arah Devan dan menubruk tubuh pria itu.
"Kak Devan, mana Kak Aditya? Kak Adit nggak kenapa-kenapa 'kan, Kak? Kak Adit baik-baik saja, 'kan?" cerca Silvi —adik kandung Aditya— yang Devan hubungi semalam.
"Tenang, Sil, kamu tenang dulu. Kakakmu ... sekarang lagi kritis. Kita doakan saja ya, semoga semuanya baik-baik saja," ujar Devan yang memegang kedua bahu gadis itu.
"Ya Tuhan, Kak Devan, tapi Kak Adit punya harapan kan? Kan Adit bakal baik-baik saja kan?" tanya Silvi yang benar-benar khawatir dengan kondisi kakaknya itu dan tanpa terasa air mata sudah berhasil lolos dari pelupuk matanya.
Devan hanya tersenyum dan mencoba meredam ketakutan Silvia, walau ia juga tak yakin akan ucapannya tapi semua bisa saja membaik dengan rencana Tuhan. Mungkin Aditya hanya butuh istirahat sejenak dari semua hal yang memuakkan di dunia ini.
| To Be Continues |
Secretary sang CEO~~~~~Satu bulan kemudian ~Pria berusia 45 tahun itu kini tengah merasa senang, sebab kabar terbaru yang ia dengar adalah ketidak stabilan kondisi keponakannya dan parahnya Aditya sudah satu bulan tidak sadarkan diri. Ia tersenyum miring di depan kaca ruang ICU yang menunjukkan tubuh Aditya yang terbaring lemah dengan beberapa alat medis di tubuhnya. Beberapa kali ia melihat bahwa kondisi Aditya benar-benar mengkhawatirkan dan hal itu jelas membuatnya semakin bahagia.'Lihatlah dirimu, kamu begitu lemah Aditya! Bodoh!' umpat Alexander Juan dalam hati.Senyum di bibirnya semakin lebar, hingga suara ponsel memekikkan telinga untuk beberapa detik membuyarkan atensinya. Ia pun segera merogoh ponsel itu dan melihat nama yang tercetak di layar benda pipih itu .Sandra is calling ...Alexander menatap nama itu dengan malas, tetapi tetap mengangkat panggilan Sandra. Ia pun menempelkan po
Secretary sang CEO~~~~Jalanan macet, polusi udara sudah menguar dan klakson mobil serta motor yang memekikan telinga dimana-mana, menjadi pemandangan yang lazim di Ibukota Jakarta dengan segala kesibukannya pagi ini. Sosok perempuan muda berusia 22 tahun baru saja turun dari ojek yang mengantarnya ke kantor media cetak "Metropolitan Post"."Terima kasih, Pak, ini uangnya ...," ucap gadis itu sembari menyerahkan selembar kertas berwarna biru."Waduh, Neng, kelebihan ini. Bapak belum ada pelaris pagi-pagi gini," timpal pengemudi ojek tersebut dengan raut bingung menerima selembar lima puluh ribuan."Sisanya buat Bapak saja," ujarnya ramah."Wah terima kasih, Neng, kalau begitu Bapak pergi dulu."Perempuan itu menganggukkan kepalanya setelah itu ia membalikkan badan dan berjalan ke arah kantor media cetak itu. Anggi Putri Salsabilla, gadis cantik berambut panjang hitam kecokelatan yang selalu ia ikat meru
Secretary sang CEOAnggi terkejut mendengar titah Aditya kepada kedua tangan kanannya. Itu artinya ia akan berdua dengan Aditya saja. Ia sudah gugup sedari tadi dan berharap tidak ada yang meninggalkannya, tapi harapannya tidak terwujud dengan langkah kaki kedua tangan kanan pria itu menjauh meninggalkan ruangan ini. Ia masih tidak enak hati dengan kejadian di lobi utama tadi dan membuatnya terdiam di depan Aditya."Emm ... Pak Adit, jika ada hal yang perlu dibicarakan dengan Anggi terkait pekerjaan biar sama sa—""Tidak perlu. Biar saya sendiri yang memberitahunya ...," potong Adit menolak tawaran Sandra yang sedari tadi terus menatap ke arah Anggi.Sontak saja, Sandra merasa perhatian Aditya sudah teralihkan oleh sosok Anggi. Dengan perasaan kesal yang ia tutupi sempurna ia keluar dari ruangan Aditya. Perempuan itu masih mengingat bagaimana tatapan serta senyum tipis pria itu pada Anggi. Setelah ia tutup pintu ruangan
Secretary Sang CEO(beberapa scene terdapat konten18+)Senja di ufuk barat telah lama tenggelam dan langit yang menggelap telah tiba. Sekitar pukul tujuh malam yang tercetak jelas di jam tangannya, Anggi mendecak dengan kesal karena selepas makan siang ia sama sekali tak melakukan hal yang membuatnya banyak gerak. Perempuan itu sangat lelah jika harus menunggu tanpa melakukan kegiatan apa pun, hanya saja ia harus menunggu Aditya hingga pria itu menyelesaiakan pekerjaannya.Sudah beberapa jam Anggi hanya duduk di depan meja kerja Aditya sebab perintah pria itu benar-benar tidak bisa ditentangnya. Ia sangat lelah dan matanya mulai mengantuk. Perempuan itu pun meletakkan kepalanya di atas meja kerja Aditya dengan berbantal tangan, berharap sang atasan tidak peduli dengan tingkah tidak sopannya kali ini.Selang beberapa menit kemudian, Aditya pun melirik perempuan itu dan seulas senyum muncul begitu saja di bibirnya. Ia kemudian menutup dokumen
Secretary sang CEOHari semakin larut, rasa lelah yang Aditya rasakan sama sekali tidak lagi terasa dan digantikan dengan rasa cemas. Pria itu sedari tadi hanya bisa mondar-mandir di depan ruang ICU—setelah sebelumnya anaknya berada di IGD—guna menanti kabar yang mampu melegakan semua kecemasan. Ia khawatir dengan kondisi Aurel—anak perempuannya dari Sabrina— yang tak ia ketahui penyebabnya sampai detik ini. Bahkan Sabrina seakan bungkam dan tak berani mengatakan hal yang sebenarnya pada Aditya. Beberapa jam telah ia lewati hingga bunyi decit yang ditimbulkan pintu ruang ICU dan lantai membuat Aditya langsung bergerak menemui dokter yang keluar dari ruangan tersebut."Keluarga Aurel Kavindra," panggil pria yang bertitle dokter itu."Saya Papanya. Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"Begini, Pak. Saya Dokter Erwin yang menangani anak Bapak beberapa bulan terakhir ini. Jadi, menurut hasil pemeriksaan kami, kanker Aurel sudah
Secretary sang CEOWaktu pun berlalu, satu minggu sudah kepergian Aurel dalam hidup Aditya dan Sabrina. Kembali tenggelam akan hal yang sama sekali tak pernah ia inginkan. Namun, ia sadar semua yang datang pasti akan kembali pergi. Kepergian sang anak nampaknya membuat Aditya harus menghabiskan waktu satu minggu untuk benar-benar merelakan kepergian Aurel. Ia sadar, dirinya tak boleh berlarut dalam kesedihan berlama-lama atau hal itu akan membuatnya kembali dalam masalah mental yang sudah susah payah ia kendalikan.Hari ini di depan pusara sang anak ia berdiri dan terdiam, menatap kembali makam anaknya yang masih bau bunga semerbak dan tanahnya pun masih basah. Kini Aditya seolah telah menyetel kembali sikapnya menjadi sosok yang sangat dingin dan mungkin menciptakan stigma pada orang lain bahwa dirinya tidak akan terlalu terbuka. Tidak ada senyum lagi darinya untuk siapa pun. Kehilangan seseorang yang dia sayang berkali-kali membuat
Secretary sang CEOTatapan tajam mengarah tepat ke manik mata Sandra. Aditya benar-benar tidak suka dengan pemandangan yag tidak sengaja ia lihat. Entah, ia memilih ingin membela Anggi daripada Sandra yang sudah bertahun-tahun di sampingnya. Nalurinya mengatakan bahwa Anggi tidak dalam posisinya yang salah."Sikapmu benar-benar tidak pantas Sandra!" hardik Aditya."Tapi aku ... aku hanya—""Bedebah! Pergi dari Anggi! Jangan ganggu dia lagi! Paham!" perintah Aditya.Sandra tidak menyangka Adit akan membela Anggi dan mempermalukan dirinya di depan perempuan itu. Ia sontak menatap Anggi dengan aura kebencian dan pergi dari hadapan Aditya dengan setengah berlari. Air matanya sudah jatuh tanpa terasa, rasa kesal di dadanya bertambah dan menimbulkan kebencian pada sosok Anggi."Kamu enggak kenapa-kenapa?" tanya Aditya yang nampak khawatir dengan perempuan itu.Anggi menggelengkan kepalanya. "Tida
Secretary sang CEOHari berganti hari hingga enam bulan lamanya, Anggi sudah melewati semua hari-harinya bersama Aditya. Ia sudah terbiasa menyiapkan semua keperluan pribadi sang atasan. Selama ia tinggal di rumah pria itu sedikit banyak ia tahu sifat atasannya seperti apa, tahu kesukaan Aditya dan mengerti segala hal tentang pria mapan itu. Entah, apakah Sandra juga mengerti Aditya atau tidak. Sejak kehadiran Anggi yang ternyata mampu dengan cepat mempelajari suatu hal, membuat Aditya merasa cukup.Sandra tidak lagi menjabat sebagai sekretaris pribadi Aditya, ia benar-benar telah di promosikan menjadi Sekretaris Eksekutif yang membawahi semua jajaran administrasi perusahaan. Keputusan Aditya tak mampu dibantah oleh perempuan yang sudah bertahun-tahun mengikutinya, walaupun sempat terjadi perdebatan pribadi antara Sandra dan Aditya, nyatanya hal itu tak merubah keputusan pria itu."Pak Aditya, saya sudah siapkan kemeja, jas kerja, d