Kehidupan ini seperti sebuah roda yang berputar
Tidak akan berhenti sampai Tuhan menghentikan perputarannya
Tapi manusia,
Tentu tidak bisa memilih jalan hidup yang diinginkannya
______________________
“El, selamat ya, akhirnya kamu menemukan lelaki pilihanmu. Aku yakin, Karan akan menjagamu dengan baik,” ucap lelaki jangkung berkulit putih nan tampan itu.
Siapa lagi kalau bukan Sean Van Hotten, lelaki berdarah Belanda-Indonesia yang sudah lama menetap di tanah air tanpa keluarganya. Dia berprofesi sebagai dokter di usianya yang masih terbilang muda.
Dua tahun lalu, Eliza dikenalkan kepada Sean saat keduanya mendapatkan kesempatan untuk tour ke Jerman bersama sepuluh orang lain dari Universitas swasta maupun negeri. Pertemuan keduanya di hari pernikahan Eliza dengan Karan, lelaki keturunan Yaman-Padang yang dipillih Eliza sebagai pasangan hidupnya.
“Terima kasih Sean, kamu benar mengenai diriku. Bahwa akan ada saatnya, aku menemukan lelaki baik yang menerimaku dalam hidupnya. Aku bahagia bersamanya selama menjalin hubungan, dia lelaki yang mengerti aku.”
“Syukurlah kamu bahagia, aku tentu bahagai melihatnya.”
“Jangan khawatir, dia akan bahagia bersamaku. Kami saling mencintai, tentu saja aku tidak akan sanggup menyakitinya.”
Cemburu, tentu saja Karan sangat tidak menyukai istrinya akrab dengan lelaki lain. Meskipun sebenarnya, dia teman baik Eliza sendiri. Tidak peduli bagi Karan, sebab saat ini Eliza sudah sah menjadi istrinya.
Melihat Karan tidak menyukai kehadiran Sean, tentu saja Sean tahu diri. Dia memutuskan untuk berpamitan. Tidak ingin berlama-lama di acara pernikahannya Eliza. Sesak.
Inilah pernikahan Eliza dengan Karan. Sebuah acara mewah telah diberikan Karan untuk menyenangkan Eliza. Pernikahan impian, bak pangeran dan putri raja menikah di sebuah gedung megah nan indah.
“Benarkah pernikahan ini akan membuat aku bahagia? Benarkan keputusan yang aku ambil ini tidak salah?”
Pertanyaan itu seketika melintas dalam benak Eliza, dia soalah meragukan cinta dan ketulusan Karan kepadanya. Padahal selama ini Karan sudah memberikan banyak hal untuk dirinya.
Namun, pertanyaan konyol itu seolah menjadi mimpi buruk bagi Eliza di hari pernikahannya. Bayangan lelaki bajingan itu melintas dalam benak Eliza.
Lelaki itu tidak lain ayahnya sendiri, Jacob. Lelaki yang telah meninggalkan Meliza, ibunya. Demi seorang wanita malam yang telah meracuni otak ayahnya hingga berpaling dari Meliza.
Bukan hanya itu, Jacob juga kerap kali melakukan kekerasan. Tangannya melayang, hingga balok kayu mendarat ditubuh ibunya kala itu. Eliza kecil melihat jelas kekejaman sang ayah, lelaki bajingan.
“Aku masih ingat hari itu, sesuatu yang tidak pernah aku lupakan seumur hidupku. Sosok yang selama ini aku hormati ternyata membuatku kecewa,” batin Eliza.
“Tuhan, pantaskan aku memanggilnya ayah? Setelah apa yang telah dilakukannya kepadaku?”
Eliza bertanya pada dirinya sendiri, meskipun dia tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya itu. Pertanyaan itu terus melintas, hingga membuat dadanya terasa sesak.
“El, kamu kenapa? Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Karan membuyarkan lamunan panjang Eliza.
“Emh, iya. Karan, aku baik-baik saja.”
“Ada apa denganmu? Mengapa tiba-tiba terdiam begitu saja? Ini hari bahagia kita, sayang. Harusnya kamu tersenyum bahagia. Aku memberikan semua ini untuk kamu dan semua yang aku lakukan tentu saja untuk kebahagiaan kamu.”
“Aku bahagia, Karan. Sangat bahagia, apalagi yang diharapkan oleh seorang wanita dalam sebuah hubungan. Tidak lain adalah sebuah pernikahan, hal itu sudah cukup membuatnya bahagia dan merasa dipentingkan. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Aku baik-baik saja.”
Eliza menutup kalimat penjelasannya dengan senyuman. Senyum yang terpaksa dia berikan kepada Karan. Hanya untuk meyakinkan bahwa benar dia sedang bahagia dengan pernikahan ini. Kebahagian yang diharapkan oleh banyak perempuan di luar sana.
Siapa yang tidak bahagia, di saat banyak yang mendambakan sebuah pernikahan. Sedangkan pasangannya tidak memberikan dia kepastian, bahkan tidak jarang yang gagal di tengah jalan. Cinta itu sangat sederhana, tidak perlu berbelit dengan hanya mengumbar kata cinta. Apalagi jika berakhir dengan air mata.
Pesta pernikahan Eliza hari ini, adalah pesta pernikahan yang menjadi impian banyak wanita. Semua prosesi adat dilaksanakan tanpa pengecualian. Namun, dibalik kebahagian itu justru penderitaan yang tiada henti bagi Eliza sendiri.
Saat orang lain takjub dengan meriahnya sebuah pesta dan indahnya gaun pernikahan Eliza. Akan tetapi, semua itu terasa menyiksa dirinya. Lelah berdiri dan berganti pakaian, make up tebal segala macam harus dia tahan hingga acara usai.
“Jika saja aku boleh memilih, lebih baik hanya akad pernikahan tanpa pesta saja. Rasanya sulit bertahan dalam tiga hari yang tiada hentinya. Rupanya, indah bagi banyak orang justru penderitaan bagi aku sebagai pengantin,” gumam Eliza.
Kali ini, Eliza benar-benar tidak dapat menahan rasa sakitnya. Perlahan dia sentuh pelipisnya, ingin sekali dia lepaskan suntiang yang sejak pagi tadi bertengger di atas kepalanya. Bukan hanya berat, tetapi terlalu lama menggunakan suntiang membuat kepala terasa pusing.
Suntiang ini salah satu mahkota pengantin Indonesia terberat dari adat Minang atau Padang. Bentuknya berlapis-lapis dan pemasangannya cukup rumit. Suntiang gadang tradisional setidaknya tersusun atas 11 lapisan bunga, emas, dan aluminium. Beratnya bisa mencapai 5-6 kg.
“Karan, berapa lama lagi acara ini akan berakhir?” tanya Eliza seraya memijat kembali pelipisnya.
“Masih beberapa jam lagi, sayang. Ada apa?”
“Apa tidak dipercepat saja? Aku sudah benar-benar lelah dan tidak tahan lagi dengan suntiang ini. Kepalaku terasa sakit, aku rasanya tidak sanggup melanjutkan acara ini sampai selesai.”
“Aku tidak tahu seberapa beratnya suntiang di kepalamu, tapi melihat ini aku tahu betapa beratnya mahkota yang kamu kenakan. Sabarlah sebentar, kalau tidak sanggup berdiri kamu bisa duduk untuk meredakan sakitnya.”
“Ya, baiklah. Aku akan tunggu hingga acara berakhir.”
“Maaf sayang, tamu undangan masih banyak yang berdatangan. Kita tidak mungkin meminta mereka pulang. Kamu harus enjoy, hanya hari ini saja dan ini terakhir kalinya.”
Huh! Semua itu terasa seperti guntur di tengah panas bagi Eliza. Meskipun dia kesal dan sudah sangat lelah, tetap saja harus memberikan sambutan manis kepada tamu yang datang.
Sesuai anjuran Karan, Eliza sesekali duduk untuk meringankan beban di kepalanya. Semua itu tetap dia jalankan, meskipun berat melanjutkan acara. Jika Karan melakukan semua itu untuk kebahagiaan Eliza, sedangkan Eliza melakukan semua itu demi kebahagian Karan.
“Karan, aku sudah tidak tahan lagi,” ujar Eliza lagi.
Dia melihat semuanya terasa berputar, Eliza mencoba mencari tumpuan agar tidak terjatuh. Karan di sebelahnya hanya sibuk berbicang dengan teman lamanya.
BRUK!!!
Eliza tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri setelah meringis kesakitan seraya menyentuh dahinya. Selain suntiang di kepala yang membuatnya sakit, bayangan masa lalu itu terus menghantui Eliza, hingga rasa percayanya kepada lelaki mulai mengikis.
Ketakutan itu membuat Eliza berpikir buruk mengenai Karan yang kini menjadi suaminya.
“El, kamu kenapa?” tanya Karan terlihat khawatir seraya mengoyangkan tubuh Eliza yang ambruk di dadanya.
“El, bangunlah!!” Karan panik.
BERSAMBUNG...
Melihat Eliza pingsan di pelaminan, Karan membawanya ke ruangan lain. Acara yang berlangsung lama serta meriah itu mendadak terhenti seketika. Para tamu undangan ikut panik melihat pengantin wanita tidak sadarkan diri.Wajar saja Eliza pingsan, dia memang sudah terlalu lelah dengan berbagai rangkain acara dalam beberapa waktu terakhir. Apalagi, keluarga Karan meminta mereka resepsi dengan adat Padang. Serangkaian acara itu diterima Eliza begitu saja tanpa protes.Hari ini menjadi titik akhir rasa lelah tubuhnya. Bayangan masa lalu yang pahit juga telah mengancam kehidupan Eliza. Banyak hal buruk yang terbesit dalam benaknya, tentang seseorang.“Lelaki itu, aku benci dia. Tidak!!!!” pekik Eliza seketika saat terbangun.Setelah beberapa kali Karan berupaya membangunakan Eliza dibantu oleh beberapa orang lainnya.“Arrrrggghhhttt!!!” lirih Eliza seraya menyentuh pelipisnya.Rasa sakit di kepala sebelah kirinya membuat Eliza terpekik menahan sakitnya. Karan menyentuh lembut istrinya seraya
Karan masih terdiam setelah mendapatkan pesan dari seseorang. Eliza masih menunggu Karan untuk bicara, dia masih sibuk membalas pesan tersebut.“Pesan dari siapa? Sibuk banget.”Merasa didiamkan Karan, akhirnya Eliza beranikan diri untuk bertanya. Memang, Karan terlihat asyik dengan gedget di tangannya. Tanpa sadar, dia seperti lupa ada Eliza di sebelahnya.“Emh, ini enggak kok, ada pesan dari kantor. Biasa, masih perihal pekerjaan. Kamu tahu sendiri bagaimana pekerjaan di kantor bukan? Sejak kamu tidak ada, banyak pekerjaan yang berantakan. Aku masih harus beradaptasi dengan sekretaris baruku.”“Itu bukan salahku, kamu sendiri yang memintaku berhenti bekerja.”“Sayang, bukan begitu. Aku hanya ingin istriku di rumah, istirahat. Agar saat aku pulang bekerja, kamu menyambut kepulanganku.”Sekali lagi lagi, Eliza tidak diberikan kesempatan untuk melakukan yang dia inginkan. Meskipun tujuan Karan baik, tetap saja itu tidak membuatnya nyaman. Maklum, selama ini Eliza terbiasa bekerja dan j
Karan segera mengenakan pakain dengan malas, terpaksa dia harus turun ke bawah untuk menyantap makan malamnya. Sepertinya, Eliza juga tidak bersedia untuk memenuhi keinginannya saat ini. Karan harus menunggu, setidaknya sampai makan malam usai. “Oh, ayolah! Kenapa wajahmu muram sekali? Tersenyumlah sedikit, Karan.” “Aku sebenarnya tidak begitu lapar, tapi kamu juga harus mengisi perutmu. Aku tidak ingin kamu pingsan lagi seperti tadi.” “Tenanglah, aku baik-baik saja. Setelah ini aku akan baik-baik saja, ayolah kita turun sekarang!” Eliza menarik tangan Karan setelah usai menggunakan pakaian. Karan mengikutinya dari belakang. Demi bidadari yang dicintainya, tentu saja dia akan melakukan apapun. Bidadari? Benar hanya Eliza yang dicintai oleh Karan? Lalu, siapa yang mengirimkan pesan begitu mesra itu kepadanya? Ah, sial. Karan terlalu baik untuk dikatakan lelaki brengsek. Siapa yang akan mengira Karan akan melakukan pengkhianatan. Tidak! Karan baru saja akan meninggalkan kamar sebe
Bukan hanya lampu kamar yang dimatikan oleh Karan, seketika dia menarik tubuh Eliza ke atas ranjangnya. Tak memberikan aba-aba, tidak peduli Eliza akan menyetujuinya ataupun tidak. Karan benar-benar malayangkan aksinya.“Karan, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!”“Diamlah! Bukankah kita sudah menikah? Tidak ada yang dapat melarang apapun yang dapat kulakukan kepadamu.”“Iya, tapi... Karan...”Karan tidak mengindahkan teriakan Eliza. Dia terus melakukan aksinya, memberikan sentuhan pada tubuh Elizaa. Tidak peduli, Eliza memberikan penolakan.Malam ini benar-benar sudah tidak ada lagi toleransi bagi Karan untuk tidak menyelesaikan keinginannya kepada Eliza.“Kamu tidak percaya padaku, jika aku bekerja di luar bukan? Kamu takut melakukan pengkhianatan bukan? Akan aku buktikan kepadamu malam ini, bahwa aku benar-benar mencintaimu dan tidak pernah melakukan hal buruk di luar sana.”“Karan, aku percaya padamu, tapi bukan dengan cara ini kamu membuktikannya.”“Emph!!! Ka...”Karan tidak me
Karan tidak peduli dengan Eliza yang mencoba mencegahnya untuk pergi. Dia tetap meninggalkan rumahnya begitu saja di malam pengantin mereka. Tidak ada malam pertama yang indah, hanya ada rasa sakit dan kekecewaan bagi Eliza.Eliza bangkit dari ranjang seraya menahan rasa sakit dan pedih di bagian bawahnya. Karan memang gila, dia bahkan tidak memberikan jeda dari satu posisi ke posisi lainnya. Tidak peduli Eliza berteriak ataupun merintih kesakitan.Perlahan, Eliza bereskan sprai di ranjangnya dan mengganti dengan sprai baru. Terpaksa, Eliza harus berjalan menuruni tangga untuk menurunkan cucian.“Bu, kenapa tidak memanggil saya untuk mengambil cuciannya?” ujar Bi Tuti seraya membantu Eliza membawakan cuciannya.“Tidak apa-apa, Bi. Ini sudah terlalu malam, Bibi juga sedang istirahat.”“Saya bisa dimarahin Tuan kalau melihat semua ini.”Eliza tersenyum, “jangan berlebihan, Tuan tidak ada di rumah. Baru saja pergi keluar, entahlah mau ke mana malam-malam begini.”Nada suara Eliza terdeng
BRAK!!!!Pintu kamar mendadak terbuka secara paksa. Eliza baru saja keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambutnya yang basa. Melihat istrinya hanya menggunakan handuk saja, Karan segera menangkap tubuhnya.“Tidak! K-karan, emph... Karan,” teriak Eliza.Karan tidak peduli dengan penolakan Eliza, dia tetap melancarkan aksinya. Melanjutkan sisa pembantaian semalam. Sebagai istri, Eliza tidak memiliki hak untuk menolaknya dan penolakan itu hanya akan membuat Karan semakin liar.“Diamlah! Ikuti saja permainanku ini, nanti juga kamu akan menikmatinya.”Karan melepaskan ikat pinggangnya, Eliza semakin ketakutan melihat perilaku Karan yang semakin liar. Dia benar-benar sudah tidak waras lagi dalam permainan ranjangnya.PLAK! PLAK! PLAK!!!Ikat pinggang terbuat dari kulit itu dilayangkan Karan tepat di bokong istrinya. Tanda merah itu sudah tidak dapat dihindari lagi. Selepas Karan mengerayangi istrinya, melepaskan kain handuk yang menutupi tubuh sang istri.Karan tidak membiarkan tubu
Eliza sengaja tidak melanjutkan perdebatannya dengan Karan. Dia tidak mau Karan mengetahui bahwa dirinya sudah mengentahui skandal Karan dengan sang sekretaris. Untuk memastikan kebenarannya, Eliza diam-diam akan datang ke kantor.Setelah Karan berpamitan selepas sarapan pagi, Eliza hanya pura-pura melanjutkan aktivitas di kamarnya. Melihat Karan sudah berlalu menggunakan mobilnya, Eliza mengganti pakaian.“Bi, tolong bantu saya untuk membereskan meja makan. Saya mau pergi sebentar,” ucap Eliza seraya melangkah perlahan meninggalkan rumah.Bi Tuti tahu, Eliza berusaha menahan rasa sakit saat berjalan. Memang, Eliza mengalami pembekakan akibat hubungan intimnya dengan Karan. Tetapi, dia tidak menggubris rasa sakitnya. Akan jauh lebih baik, jika Eliza tahu apa yang sebenarnya terjadi antara suami dengan sekretarisnya.“Lihat saja Karan, aku tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja dari tanganku. Kamu berpikir bahwa aku benar-benar akan mempercayaimu begitu saja? Tidak Karan, tidak akan
KRING!!!!!Ponsel Karan berdering sangat kencang membuatny menghentikan aktivitas. Tetapi tangannya tetap tidak terlepas dari Eliza. Justru semakin dalam memasukan jarinya. Sementara Eliza pun tidak menolaknya, dia menikmati sentuhan dan semakin melebarkan keduanya. Agar Karan lebih leluasa bermain di sana, semakin dalam dan semakin merdu derap napasnya.“Ssshhhttt! Sean, apa yang terjadi di bawah sana? Kenapa rasanya nikmat sekali?” lenguh Eliza sambil menggigit bibir bawahnya.Tetapi sepertinya, Karan masih sibuk bicara melalui panggilan telepon. Dia tidak menjawab, tetapi tangannya tidak terhenti hingga dia kembali menyimpan ponselnya.“Sean, lakukan sesuatu. Rasanya aku buang air kecill saat ini.”Eliza terus meracau tidak karuan, mendengar itu seperti membangunkan sesuatu yang sejak tadi sedang tertidur. Sean tidak ingin melewatkan kesempatan ini, dia sudah tidak tahan lagi untuk membiarkan bibir teman wanitanya menganggur.Tanpa meminta persetujuan dari Eliza, Sean langsung saj