Share

MEGA

"Non scholae sed vitae discimus : bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup kita belajar - pepatah kuno bahasa latin"

.

.

.

Hari yang ia tunggu-tunggu: mendaftar kuliah. Semangatnya luar biasa.

Mike melangkah penuh semangat melewati pintu gerbang kampus - menyapa beberapa orang yang lewat lalu berjalan terus menuju sekretariat pendaftaran penerimaan mahasiswa baru. Semoga saja tak banyak yang antri di dalam sana karena ia harus buru-buru pulang, batinnya.

Hari ini jadwal Mike shift siang dan ia tidak boleh terlambat. Jika terlambat, ini menjadi pertama kalinya ia terlambat datang ke tempat kerja.

Mike bekerja sebagai seorang satuan pengaman (satpam) pada sebuah hotel ternama di kota ini. Gaji ia bekerja disini lumayan untuk dia membiayai kuliahnya sendiri dan juga untuk keperluan mendadak di kampung.

Menjadi anak sematawayang bukanlah hal mudah. Tambah lagi ayah - tulang punggung keluarga - telah pergi untuk selama-lamanya dan ibu ia tinggalkan sendirian di kampung mengurus peternakan ayam pedaging peninggalan almarhum ayah.

Tapi Mike yakin ia bisa melewati ini semua. Tuhan tak mungkin memberikan cobaan melebih batas kemampuan hamba-Nya.

Mike melangkah pasti menghampiri ruang sekretariat pendaftaran mahasiswa baru. Dia menghembus napas lega begitu masuk - tidak banyak orang yang antre disana.

Hanya ada enam orang perempuan dan dia laki-laki satu-satunya yang menunggu giliran mendaftar bersama lima orang lainnnya.

"Hai. Mau mendaftar juga ya ?" Ada yang menyapanya ketika ia duduk.

"Iya. Mau mendaftar juga," jawab Mike seadanya sambil sedikit memberikan senyum pada orang itu.

"Aku Mega, " lanjut perempuan disampingnya itu memperkenalkan dirinya sambil memberikan tangnnya mengajak salaman.

"Aku Mike. Tapi bukan almarhum Mike Mohede si penyanyi itu," jawab Mike sambil mengajak bercanda sembari menyalami tangan gadis itu.

Lalu mereka diam sejenak. Mike mengeluarkan beberapa berkas dari dalam tas. Memeriksanya kembali lalu meletakkan tasnya kembali ke atas kursi disampingnya yang tidak diduduki orang. Mike melirik jam tangannya. Masih banyak waktu untuk ia bisa masuk kerja hari ini.

"Lagi buru-buru ya ?" Mega tiba-tiba bertanya. Mungkin dia melihatnya ketika Mike melirik ke jam tangannya. Dia mungkin tahu bahwa Mike masih ada keperluan lain setelah ini.

"Kalau buru-buru, duluan saja. Aku kemudian saja," Mega melanjutkan lagi perkataannya.

"Oh iya. Terima kasih. Aku santai saja. Tidak apa-apa kamu duluan saja. Aku sedang tidak buru-buru,"jawab Mike menutupi kebohongannya. Padahal dalam hati ia mau sekali untuk lebih dahulu.

Beberapa orang sudah mulai keluar meninggalkan ruangan. Tersisa tiga orang termasuk Mike. Dia melirik lagi jam tangannya - kali ini lebih hati-hati agar tidak ketahuan oleh Mega. Masih tersisa dua setengah jam. Masih cukup waktu untuk bisa masuk kerja dan tidak terlambat. Semoga saja tidak terjebak macet di jalan seperti tadi pagi dalam perjalanan kesini. Jika terjebak macet, sudah pasti ia akan terlambat karena jarak kampus dengan tempat kerjanya lumayan jauhnya.

"Aku duluan ya," Mega mengagetkannya. Mega berdiri dan berjalan menuju meja pendaftaran.

"Oh iya. Silahkan," jawab Mike singkat.

Dalam pikirannya seketika bertanya-tanya. Pulang ke arah mana Mega. Kalau bisa, dia menumpang bersamaku saja, pikiran Mike mulai mengada-ada. Berharap akan menjadi kenyataan. Lumayan, sudah punya teman nanti jika sudah mulai kuliah disini. Apalagi seangkatan. Dan semoga saja, kami mendaftar di jurusan yang sama. Pikirannya mulai berharap-harap.

Mike mengambil berkas-berkas pendaftarannya lalu berjalan maju ketika Mega telah selesai mendaftarkan dirinya.

Ketika dipersilahkan untuk duduk, dengan cepat matanya melirik melihat nama terakhir mendaftar dengan program jurusan apa. Mike tersenyum kecil ketika membaca tulisan Bahasa dan Sastra Indonesia. "Sudahlah. Kami memang sudah ditakdirkan untuk menjadi teman di kampus ini," batinnya.

Lalu Mike memyerahkan semua berkas-berkasnya ketika diminta. Dan tanpa ragu-ragu ia menyebutkan Bahasa dan Sastra Indonesia ketika ia ditanya.

Satu tahap selesai. Dalam hati Mike berterima kasih kepada Tuhan untuk semua yang sudah ia lewati pagi ini.

Mike berjalan keluar menuju gerbang. Sepeda motornya ia parkirkan di samping warung depan kampus. Ketika hendak menyeberang,  ada suara yang memanggil.

"Mike."

Dia mencari suara itu. Ternyata Mega - ia berlari kecil menghampiri Mike.

"Hai, masih disini ?" Dengan cepat Mike bertanya seolah-olah sudah lama kenalan.

"Ya. Aku juga hendak pulang."

"Mau ikut denganku ?" Mike bertanya cepat. Tuhan mendengar doanya tadi. Semoga Mega mau pulang bersamaku.

"Boleh. Tapi tidak apa-apa kalau aku ikut bersamamu ? Aku tidak punya helm. Helm kamu juga cuma satu."

"Semoga tidak apa-apa. Kita jalan saja," Kata Mike cepat meyakinkan Mega agar dia mau ikut bersamanya.

Mike dan Mega meninggalkan kampus. Mike mengantarnya sampai ke tujuan. Tidak banyak obrolan selama perjalanan mereka. Tapi setidaknya Mega tahu mereka memilih program studi yang sama.

                               * * * * *

Mega merebahkan tubuhnya setelah masuk ke kamarnya. Ia meraih handphone lalu mengabari orang tuanya perihal pendaftarannya. Lalu kembali ia letakkan handphonenya ke atas meja.

"Kenapa aku tidak memberanikan diriku untuk meminta nomor handphone Mike, ya. Mungkin saja Mike ada waktu dan bisa jalan-jalan denganku," gumam Mega menyesal, mengenang Mike, lelaki yang ia kenal tadi pagi di kampus dan sudah langsung mengantarnya sampai ke kost.

Mega tersenyum sendiri. Mungkin saja apa yang ia rasakan saat ini ialah rasa yang sama juga dialami orang lain ketika pertama kali bertemu seseorang dan magis dari orang itu menghujam tepat di dada.

Mega berusaha memejamkan matanya namun itu sulit ia lakukan. Bayangan lelaki itu masih melekat erat pada ingatannya. Sosok lelaki yang sederhana, sedikit pemalu, dan baik hati pastinya yang dengan berani melawan peraturan lalu lintas berkendara, mengizinkannya untuk tetap ikut meski hanya ada satu helm.

Sepanjang perjalanan tak ada yang mereka bicarakan namun di belakang lelaki itu, jantung Mega berdegup kencang. Ia telah jatuh cinta dengan lelaki itu.

Tak butuh waktu lama, padahal selama masa SMA-nya, Mega adalah sosok gadis yang dingin. Tak banyak teman lelakinya. Ia selalu menjauh ketika ada lelaki yang ingin dekat dengannya.

Nanti juga bertemu lagi, tak mengapa jika hari ini tak ada perbincangan di sepanjang jalan, batin Mega lagi membayangkan kembali wajah lelaki itu lalu ia tersenyum sendiri.

"Anda akan pulang ke rumah, berbaring dan tersenyum sendiri membayangi wajahnya ketika menyadari Anda pertama kali jatuh cinta pada pandangan pertama".

🌹Pembaca yang budiman. Terima kasih sudah membaca karyaku. Mohon dukungannya. Jagalah kesehatan, stay home dan patuhi setiap peraturan yang telah ditetapkan pemerintah selama masa pandemi ini. Tuhan memberkati.🌹

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status