Ketika aku berbalik untuk pergi meninggalkan aku melihat Ida dan Irine, sekilas Dito berdiri dilantai 2 sedang memperhatikan kami, dia entah kapan, mungkin dia hanya menikmati drama persahabatan ini. Aku berlari dengan air mata, diikuti oleh sumpah serapah Ida yang begitu jelas dan terngiang-ngiang ditelingaku. Sesampainya di kos, aku menangis sesenggukan, kami sudah bersahabat bertahun-tahun, sekarang tanpa hanya karena hal-hal sepele. Ku benamkan menangis dalam-dalam di bantal, menangis sekencang mungkin, suara tangisku teredam oleh busa bantal.
Tok tok.
Setelah menghadapi berbagai ujian dan pencobaan hidup, kini saatnya pesta perpisahan. Memang, saat awal masuk sekolah ini, rasanya ingin cepat lulus, tapi saat momen kelulusan di depan mata, rasanya masih belum rela bahwa semuanya sudah terlewati begitu saja. "Jan, kamu sudah menemukan baju yang akan kamu pakai untuk acara kelulusan?" Irine duduk di sampingku, diikuti oleh Ida. Kami bertiga duduk di tepi lapangan basket, duduk santai, melihat klub basket sedang latihan. "Belum, kamu?" Tanyaku balik kepada Irine, aku belum sempat mencari baju yang akan ku pakai untuk acara Minggu depan, saat pengumuman kelulusan disampaikan sekaligus acara perpisahan. Semua akan diadakan di sekolah. " Bagaimana dengan perasaanmu Jan," tanya Ida membuyarkan konsentrasi ku dari klub basket, Adit berhasil memasukkan bola ke ring, rasanya ingin berteriak, tapi aku harus mengendalikan diri. "Perasaan? Perasaan apa?" Aku masih belum bisa sepenuhnya mengalihkan fokus&nb
Aku menyeka air mataku, ini momen terakhir, ujung perjalanan masa remajaku. Aku kembali berjalan menyusuri lorong indah itu, tak hentinya menatap pajangan foto sebagai saksi kebersamaan kami selama 3 tahun. Aku menyusuri lorong itu bersama Ida dan Irine. Ida memakai mini dress berwarna hitam, dengan make up tipis ala remaja, dan sepatu kets dengan warna senada. Irine memakai dress brokat berwarna merah cabe dengan berbagai hiasan bunga dibagian depannya, ia menawan dengan tambahan high heels hitamnya. Malam ini, semua tampak berbeda, meskipun ukurannya kami masih 17 tahun, tapi malam ini penampilan kami layaknya wanita dewasa. "Jan, ada apa dengan kakimu?" Ida menghentikan langkahku, kini kami semua tertuju pada kaki ku. Ada memar biru dibagian lutut sebelah kiri. Ah, aku tidak menyadarinya, pantas saja rasanya sakit dari tadi, ternyata sudah berbekas. " Apa karena kecelakaan tadi?" Ida mengernyitkan keningnya, tatapannya tulus sekali, dia benar-benar khawatir.
“Kau masih ingat tempat ini?” Kata seorang lelaki saat duduk berdua dengan seorang wanita, di malam dengan udara dingin nan sepi disebuah taman bermain.“Dari semua show yang kau tontonkan, pertunjukan yang kau tunjukkan disini bisa dibilang the best, waktu itu kau memakai mantel bulu yang sekalipun di kutub utara, kau juga tidak akan mati kedinginan,” lanjut lelaki itu. Perempuan cantik berambut pendek yang duduk disampingnya menatap bingung dan beberapa kali mencoba untuk mengingat, tapi dia tak ingat.“Aku takut udara dingin,” kata perempuan bertubuh tinggi dan putih itu asal-asalan karena tak mengingatnya, yah, bagaimana dia ingat karena waktu kejadian itu dia digantikan posisinya oleh perempuan lain yang wajahnya mirip dengan dia yang berpura-pura menjadi tunangan laki-laki yang kini duduk di sebelahnya. Dari awal memang dia tak pernah setuju dengan perjodohan i
Karena aku berasal dari luar kota, jadi aku tinggal bersama tanteku, tanteku punya anak yang masih kecil yang kelakuannya kayak setan padahal dia masih TK A, namanya Dika tapi biasanya kalau gak ada tanteku aku panggil dia anak setan atau bayi bajang saking nakalnya anak itu. Jarak dari rumah tanteku ke sekolah lumayan jauh ada 2 kilometer. Aku gak bisa naik motor meskipun ada 2 motor disana, jadi aku berangkat sekolah naik sepeda. Anak setan itu sering ngerjain aku, misalnya malam ini, tante dan om keluar jadi aku harus menjaga dia.“Kak, buatkan aku susu dong!” Teriakknya dari kamar sampai terdengar diruang tv.“Mau susu putih atau coklat?” Tanyaku memastikan.“Putih, jangan panas-panas ya!” Imbuhnya lagi. Terpaksa aku meninggalkan film yang sedang seru-serunya demi dia.“Nih, minum, terus tidur sana,” kataku sambil menyodorkan susu putih itu“Gak
“Makan yuk Da, lapar nih, dari tadi malam gak sempat makan gara-gara anak setan berulah” kataku, bukan sekali dua kali anak setan itu berulah, selalu membuatku menderita sengsara, ku pegangi perutku, rasanya semua organ pencernaanku sudah mengkerut karena kekurangan nutrisi. “Anak setan?” tanya Irine heran saat pertama kali mendengar istilah itu. “Iya, sepupuku, kelakuannya aneh pokoknya kayak anak setan,” jelasku singkat pada Ida dan Irine. “Aku juga punya adik kecil yang nakal banget, berarti dia ‘anak setan’ juga dong?” kata Ida sambil tertawa terbahak-bahak mengingat kelakuan adiknya. “Yah, bisa jadilah, ayo, keburu antreannya panjang,” kataku, segera kutarik tangan Ida dan Irine, ku seret mereka menuju kantin. Belum berapa menit sejak bel istirahat berbunyi, kantin yang luasnya hanya sepenggal dusta itu sudah dipenuhi siswa-siswi yang kelaparan, ada apa dengan orangtua jaman ini? Tidak dikasih sarapankah anak-anaknya? Atau mem
Hari ini aku sengaja berangkat pagi-pagi, padahal biasanya telat bahkan aku tidak memandikan Dika dan tidak mengambil uang saku. Aku ingin lihat dia, ya, dia hanya demi lihat cowok sinis nan sombong itu. Dari lantai 4 gedung Farmasi kulihat dia berjalan melangkahkan kaki masuk lingkungan sekolah, ku lihat dia, sejak dia mulai memarkirkan sepeda putihnya, dengan cool dia berjalan menuju kelasnya. Dia memakai jaket hitam dan memakai penutup kepalanya sehingga wajahnya tidak begitu terlihat, biasa orang seperti ini ingin tampil sok misterius, dan dia berhasil. Bola mataku mengikuti kemana Adit berjalan, deg, tiba-tiba dia berhenti dan memutar badannya, beberapa saat kemudian seperti di film-film horor, ah, bukan, film romantis, dunia serasa milik kita berdua bang, hah? Bang? sejak kapan aku manggil dia abang? Slow motion, dunia serasa berhenti, hanya terdengar suara nafasku yang terengah-engah seperti habis lari marat
Bab V Pagi harinya, seperti biasa aku berangkat sekolah, tidak ada yang istimewa, segalanya berjalan sesuai rutinitas, hanya saja, aku tidak dapat pergi lebih pagi, karena si ‘anak setan’bangun lebih pagi daripada biasanya. Sesampainya disekolah, Ida dan Irine duduk mengelilingi bangku ku. Irine sudah cerita ke Ida tentang kejadian Adit yang menghampiriku kemarin. “Apa? Kamu suka Aditian?” Ida hampir saja membuat teman sekelas salah paham dengan pertanyaannya itu. “Aku gak bilang suka ya, Da, aku Cuma bilang, ada perasaan aneh yang menjalariku setiap kali aku bertemu dengan dia” aku berusaha menjelaskan pada kedua sohibku itu tentang apa yang aku rasakan ketika aku berhadapan dengan sosok yang bernama Aditian itu, ada berbagai macam rasa, manis, asem, gurih, nano-nano. “Menurutku kamu suka, bukan, memang kamu cinta Aditian, kenapa aku bisa bilang begitu? Biasanya di drama korea begitu to, kalau kamu be
Enam bulan sudah kami lalui di sekolah ini, setelah ujian semester usai kami libur selama beberapa minggu, menghabiskan libur semester sekaligus natal dan tahun baru. Aku memutuskan untuk pulang, menikmati waktu libur bersama keluarga di rumah. Tak banyak yang aku lakukan, hanya di rumah dan sesekali jalan-jalan. Rumahku berada diluar kota Semarang, disebuah desa kecil nan permai, aku sangat menikmati liburan semester ini, terbebas dari setiap beban tugas di sekolah, bebas dari si ‘anak setan’, tapi ada terselip rindu untuk sahabat-sahabatku, Irine dan Ida. Komunikasi di desaku tidak lancar, sebab keterbatasan jaringan internet. Oleh karena itu aku jarang telpon atau sms Ida dan Irine, aku tak tahu kabar mereka. Begitu liburan usai, aku senang karena dapat berkumpul dengan mereka, hanya mereka yang mengerti diriku, selain orangtua. Beberapa hari kami masuk sekolah, masih belum ada mata pelajaran yang diajarkan, hanya regristasi dan penetapan jadwal