“E.. Lang… Sa-sakit…” rintih Aliya. “Pelan, Elang…”
Namun Elang di atasnya, seakan tak mendengar itu. Ia terus mengentak dan memacu tubuhnya ke dalam inti Aliya.
“E-Elang… ahh!” Desahan itu bukan desahan nikmat, Aliya meringis menahan nyeri.
Alih-alih melambatkan gerakan dirinya mencumbu sang istri, Elang menarik kedua tangan Aliya dan menahan pergelangannya di atas kepala.
“Elang! Sakit!” Aliya mencoba menggeser tubuhnya, akan tetapi Elang justru kian menindih dirinya dan melesak seraya mengentak lebih dalam.
Entah apa yang terjadi, bagaimana Elang seakan tak mendengar apapun yang keluar dari bibir Aliya. Ia menyusupkan wajahnya di leher Aliya dengan pinggul yang tak henti mengentak kasar.
“Elang!”
“Emmmhhh.” Elang menggeram rendah. “Ahh!”
Pelepasan itu akhirnya ia dapatkan. Mata yang semula terus terpejam, kini terbuka dan seketika tertegun melihat raut wajah istrinya.
“Liebling!” Elang bergegas mengangkat tubuh lalu menangkup wajah Aliya dengan kedua tangan. Matanya melebar melihat buliran airmata yang mengalir di kedua sudut mata Aliya.
“Apa.. apa aku menyakitimu? Liebling!” ujarnya panik seraya sebelah tangan mengusap cepat airmata yang menitik di pipi istrinya.
“Sa…kit…” lirih Aliya dengan ujung hidung yang terlihat memerah.
Elang menggulingkan tubuhnya ke sisi dan menarik Aliya ke dalam pelukan eratnya. Hatinya dipenuhi rasa penyesalan dan terpelintir kesakitan di saat yang sama.
“Liebling, maaf. Maafkan aku,” ujarnya cepat. Tangannya mengusap gugup kepala sang istri. “Maaf, Liebling.”
“Sa-sakit kah?” tanyanya yang dijawab dengan anggukan Aliya. “Maaf, Liebling, maaf.”
Aliya tersedu. “Kau kenapa? Kau bahkan gak dengerin aku yang minta kau pelan-pelan.”
“Ya Tuhan, maafkan aku, Liebling. Maafkan aku. Maaf…” Elang terus mengulang permintaan maafnya dengan menciumi pelipis Aliya berkali-kali.
Kedua tangan kokohnya tak lepas melingkari tubuh Aliya dan mempererat dekapan demi sebuah ungkapan penyesalan yang begitu dalam.
“Maaf Liebling,” lirih Elang lagi. Telapak tangannya yang lebar beralih ke belakang kepala Aliya dan menekannya erat ke dada telanjangnya.
“Elang--”
“Maaf… Aku tidak bermaksud…”
“Iya, Elang. Ngga apa-apa. Aku sudah tidak apa-apa,” balas Aliya pelan.
Ia lalu terdiam mendengar degup jantung suaminya yang tak beraturan dan berdentum begitu cepat seakan tengah berlomba menyuarakan ketidakberdayaan.
“Aku tidak apa, Liebe,” bisik Aliya lembut dengan jemari yang kemudian terangkat untuk mengusap lembut permukaan dada prianya itu.
Dibiarkannya sang suami yang membenamkan dirinya ke dalam dekapan yang begitu erat. Kedua tangan yang melingkari tubuhnya begitu protektif dan mengantarkan kehangatan yang jelas tak mampu ditolak Aliya.
“Maaf…”
Suara lirih dan lemah Elang terdengar lagi di telinga Aliya dan kali ini begitu mengusik jiwanya perlahan. Aliya yang mencoba menyimak getaran perasaan yang mungkin tengah berkecamuk dalam hati Elang, tak mendapatkan petunjuk apapun.
Helaan napas Aliya mengembus samar.
Apakah dirinya yang terlalu merasa cemas, atau memang Elang tengah melakukan closure dengan sangat ketat? Hingga apa yang tengah dirasakan Elang, tidak sampai padanya. Pun dengan yang ada dalam pikiran Elang.
Padahal mereka ibarat sejiwa. Bisa saling mendengarkan pikiran dan bisa saling merasakan apa yang dirasakan pasangannya.
Kekuatan spesial yang dimiliki Elang, juga dirinya --meski masih terkunci-- serta terikatnya sukma mereka, menjadikan mereka mampu saling merasakan dan mendengar, meski terpaut jauhnya jarak.
Entah telah beberapa hari ini Aliya mendapati Elang yang tampak tidak fokus.
Namun baru malam ini, selama hampir tiga tahun pernikahan mereka, ia mengalami sedikit kekerasan saat mereka bercinta.
Setiap kali Aliya bertanya pada Elang apa yang terjadi, Elang hanya mengatakan ia lelah karena urusan pekerjaan. Kemudian pembicaraan mereka pun terhenti di sana, tanpa ada lanjutan.
“Aku minta maaf, Liebling…” Kedua tangan Elang menarik tubuh polos Aliya agar kian menempel padanya.
Meski masih terasa sedikit perih di area intimnya, Aliya benar-benar tidak ingin menunjukkan itu pada Elang. Ia menjauhkan kepalanya dari dada Elang untuk mendapati wajah Elang yang seakan terus bersembunyi di balik kepala Aliya.
“Lihat sini,” bujuk Aliya lembut. Kedua lengannya kemudian sedikit mengeluarkan tenaga untuk melonggarkan kungkungan erat lengan suaminya itu dan mengulurkannya ke atas.
Aliya menangkup wajah Elang dengan manik matanya merangkak naik untuk menangkap lingkar coklat tua milik sang pria.
“Lihat aku,” pinta Aliya.
“Aku ngga apa-apa, Liebe. Aku sudah gak apa-apa. Hanya sedikit kaget saja tadi,” yakin Aliya. Kedua ibu jarinya mengelus lembut rahang tegas suaminya. “See? Aku baik-baik saja kan?”
Aliya menaikkan wajahnya untuk mengecup lembut bibir Elang yang terkatup rapat.
Aliya tidak sedang berdusta. Ia memang tidak apa-apa.
Karena rasa perih yang terasa oleh Aliya di salah satu bagian tubuhnya, tidak lebih menyakitkan dibanding melihat sorot penyesalan dan rasa bersalah yang terpancar begitu kuat dari kedua netra coklat tua Elang.
Ini hanya soal kecil.
Seperti halnya Elang, Aliya pun tak sanggup melihat Elang bersedih.
* * *
Suara menggelegar terjadi beruntun dan berkali-kali.
Elang berdiri di lantai atas dengan mata menatap lurus sebuah aula di bawahnya yang dipenuhi puluhan pria berbagai usia, dengan rentang dua puluh lima hingga tiga puluh lima tahunan.
Orang-orang di dalam aula itu secara berpasangan tengah saling melempar energi.
Namun benturan energi dan getaran yang dihasilkan dari itu, sama sekali tidak memengaruhi dinding gedung aula itu yang tetap berdiri kokoh, karena telah dilingkupi oleh energi pemilik level tertinggi di sana.
Setelah sekian saat, orang-orang itu kemudian berbaris rapi dan berbalik menghadap satu arah. Lalu dengan serempak melakukan gerakan-gerakan dasar bela diri.
Gerakan itu begitu kompak dan bertenaga. Dilakukan secara indah namun terlihat membahayakan. Siapapun yang melihat kelompok orang itu, pasti segera menghindar dan tidak berani mencari masalah.
Mereka bukan saja terlihat menguasai bela diri jiu jitsu yang tengah dilakukan dengan begitu kompak, namun juga memiliki kemampuan spesial yang tidak dimiliki orang-orang lain pada umumnya.
Mereka semua adalah manusia elemen.
Para manusia yang memiliki kelebihan mengendalikan salah satu unsur atau elemen di dunia ini.
Tanah, Air, Api dan Angin.
Terdengar langkah kaki mendekati Elang dari sisi kirinya berdiri.
“Ini tidak cukup,” cetus Elang dengan raut wajah yang terlihat tidak puas, tatkala sang pemilik langkah itu telah berhenti dan berdiri di sampingnya.
Nawidi --si pemilik langkah itu-- bergeming.
Ia hanya melirik sekilas pada Elang lalu membalik tubuh menghadap pagar pembatas di lantai dua itu.
Tatapannya mengarah pada fokus yang sama seperti Elang, pada puluhan orang di bawah yang tengah bergerak serempak dalam pelatihan jiu jitsu yang dirinya terapkan.
Wajah tanpa ekspresinya yang memang menjadi ciri khas seorang Nawidi, menampak saat kedua matanya tajam memerhatikan setiap gerakan kuat dan teratur yang dibuat oleh puluhan orang di bawah sana.
“Mereka semua elemen Level Empat di Tingkat Dasar, bukankah begitu?” Elang membuka suara kembali.
“Ya,” jawab singkat Nawidi, masih dengan wajah datar dan tanpa ekspresi itu.
“Berapa dari mereka yang bisa segera menjadi Tingkat Menengah dari Level Empat mereka, dalam jangka waktu dua tahun ini?”
“Tidak satu pun.” Suara Nawidi begitu lugas dan tegas untuk bicara seadanya. Tidak terdengar setitikpun keraguan meski itu untuk sedikit menghibur Elang yang berharap mendapatkan jawaban sebaliknya.
Elang memang kini memutar tubuhnya hingga menghadap Nawidi. “Tidak satu pun?”
“Tidak satu pun. Dalam dua tahun ini.”
Tampak rahang Elang mengetat.
“Mereka hanya elemen biasa. Dari hasil pengawasan saya selama satu tahun setengah ini, tidak ada yang menonjol dengan bakat khusus. Mereka jauh jika dibandingkan dengan Penjaga Aliya, apalagi dengan Para Penjaga Inti.”
Elang menganjur napas perlahan. “Saya mengerti.” Ia lalu terdiam dengan sorot mata kompleks memandang para pria yang mereka rekrut dan tengah berlatih giat di bawahnya itu.
“Apa ada yang perlu saya ketahui? Hal yang mengganggu Anda?” Nawidi bersuara kembali.
Bukan tanpa sebab ia bertanya seperti itu.
Mendengar Elang menanyakan soal kenaikan tingkat dan terkesan tak sabar, sementara Elang jelas paham bahwa kenaikan tingkat hanya bisa diraih paling cepat selama 5 tahun pelatihan. Itupun jika elemen tersebut termasuk berbakat.
Namun kemudian Elang menjawab Nawidi dengan gelengan kepalanya. “Tidak ada. Lanjutkan latihanmu. Saya pulang dulu.”
Nawidi mengangguk dan mengikuti sekilas dengan ekor matanya, punggung Elang yang menjauh.
Tatapan datar Nawidi kembali beralih pada orang-orang di dalam aula itu, yang kini telah saling berpasangan kembali untuk sparring.
Mereka memang terlihat cukup mengintimidasi bagi orang awam. Tapi mereka semua hanyalah elemen biasa.
Mereka tidak bisa disamakan dengan teman-teman Aliya yang menjadi pengawal langsung dan berada di bawah didikannya secara khusus.
* * *
Tahun 201708.56. Sebuah lapangan luas dengan bukit kecil di belakangnya, di sekitar Tangerang Selatan.“Beraninya kalian memasuki wilayah kami!!” Seorang pria muda di kisaran usia 27 tahunan berteriak marah sambil menunjuk sekelompok orang di depannya.Pemuda itu berparas menarik, dengan alis yang cukup tebal, hidung mancung, serta rambut berpotongan cepak.Ia mengenakan kaos berkerah berwarna merah dengan dua garis horizontal abu dan biru navy di bagian dadanya dengan sebuah logo dari merek cukup ternama. Dengan celana jeans biru tua dan sneakers model terbaru, pemuda itu tampak cukup modis.“Apa kalian tidak belajar dari penyusup-penyusup sebelumnya?” Kali ini seorang pemuda berkacamata dengan usia sebaya, angkat bicara. Dari pose berdiri pemuda itu, ia tampak lebih santai dibanding pemuda sebelumnya.Tampilannya pun tampak lebih sederhana, hanya mengenakan kaos oblong polos abu-abu dan celana jeans belel selutut. Paras rupawan-nya terbilang manis dan terlihat memiliki senyum yang
Kedua tangan Agung mengepal lalu tanah yang dipijaknya bergetar.Meskipun kini Agung dan Iyad harus menghadapi sepuluh orang sekaligus, tak sedikitpun mereka menunjukkan wajah gentar.Sementara itu, di dataran yang lebih tinggi dari lokasi pertarungan.“Biar saya saja yang turun.” Guntur berkata cepat, saat ia melihat Agni menurunkan satu kakinya.“Jangan bikin lama, Gun. Kita lagi buru-buru neh,” sahut Agni.Guntur mengangguk. Tanpa banyak berkata, ia melompat turun sambil mengempaskan energinya ke arah pengeroyokan itu.Sebentuk angin cukup besar meliuk cepat lalu mendorong dan melempar beberapa dari sepuluh lelaki berseragam hitam itu.Guntur seorang elemen angin.Terlihat dari tekanan dan besarnya kekuatan yang dihasilkan, Guntur --pemuda berlogat jawa itu-- memiliki kekuatan lebih besar dibanding Iyad dan Agung.Guntur berada di tingkat yang lebih tinggi dari kedua rekannya yang lebih dulu bertarung.Erangan terdengar sesaat dari mereka yang terlempar oleh pukulan angin dari Gunt
Padang sabana di 240 km sebelah tenggara Nairobi, ibukota Kenya.Alam di salah satu wilayah di Afrika itu berupa gabungan antara daerah tropis dan subtropis yang menjadi pemicu terbentuknya sistem biotik yang dipenuhi oleh semak perdu dan diselingi beberapa jenis pohon yang tumbuh menyebar. Menyuguhkan pemandangan luar biasa indah.Penampakan kawanan gajah, banteng, impala dan zebra dengan latar belakang gunung Kilimanjaro yang puncaknya tertutup salju, tak akan cukup memuaskan mata untuk menikmatinya meski berjam-jam lamanya.Terdengar derap kuda memecah ketenangan dengan laju cepatnya yang membelah angin.Di atas punggung kuda, seorang pria mengendalikannya dengan tangkas. Sementara tangan kiri pria itu tampak menggenggam gagang sebuah busur sederhana.“Hiiaahh!” seru pria itu menghela kudanya. Tangan kanannya mengayun lalu beberapa batu terangkat ke udara begitu saja.Masih di atas kuda hitam sejenis ras Boerperd itu, pria tersebut kemudian melepas tangannya pada tali kekang dan de
Dean terlihat menghela napas.“Tidak apa. Tidak perlu dilakukan lagi,” ujarnya kemudian.“Apakah dana itu keperluan untuk sistem perlindungan Light-mu?” tanya Matteo. “Karena nominal per transfer-nya sama sekali tidak kecil. Aku hanya terpikirkan ke arah itu. Benar kan?”“Bukan apa-apa. Aku hanya membantu teman, tak perlu dipikirkan,” jawab Dean lalu mengalihkan fokusnya pada singa yang terlihat bermanja-manja padanya.“Bagaimana Botswana? Apa semuanya baik?” Matteo lalu mengalihkan topik saat mendapati Dean yang enggan melanjutkan pembahasan sebelumnya.Sebagai salah satu sahabat Dean sejak belasan tahun lalu, ia sangat memahami gestur Dean dan hampir jarang salah dalam mengartikan mood atau pikiran karibnya itu.Dengan sangat pengertian, ia memberi jalan pada mereka berdua untuk membahas hal lainnya.“Baik. Sangat baik,” jawab Dean tanpa mengalihkan fokus dari singa kesayangannya itu. “Kami bahkan menemukan sumber baru untuk segera digarap.”Matteo melebarkan matanya. “Wah, selamat
13.07, rumah Aliya. Aliya mengetuk-ketukkan empat jarinya di atas sebuah meja di ruang tamu. Entah sudah berapa kali ia menghela napas. Matanya melirik lagi ke jam tangan dengan logo huruf ‘G’ yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Jam tangan yang sporty dan berdiamater cukup besar itu tampak mencolok di tangan Aliya yang ramping dan putih. Aliya sedikit teringat, pernah di komplen oleh Agni karena memakai jam tangan yang di desain khusus cowok tersebut. Namun Aliya yang memang bersifat cukup tomboy di antara saudara-saudara kandungnya, sejak dulu menyukai jam tangan dari brand Jepang yang terkenal itu. Namun baru sekarang-sekarang ini Aliya memutuskan memilikinya, setelah merasa cukup bosan dengan jam-jam elegan koleksinya dari Elang. Ia bahkan menolak ketika Agni hendak membelikannya jam tangan dari brand internasional yang terkenal. Bicara soal Agni, Aliya jadi teringat ia ada janji dengan Agni dan kawan-kawan
“Eh iya, Fayza ga ikut nih, Moony?” Agni bertanya sambil melongokkan kepalanya ke arah ruang dalam. “Ngga. Tadi aku dah niat mau bawa Fayza. Tapi dia ga mau. Mau main sama Tara aja katanya,” jawab Aliya. “Lagian kang Awi juga nungguin Fayza di sini. Jadi Fayza tambah malas keluar.” Tara adalah keponakan dari pengurus rumah tangga yang bekerja di kediaman Aliya dan Elang ini. Usia Tara hanya terpaut 2 tahun lebih tua dari Fayza. Namun sudah bisa membuat Fayza nyaman bersamanya. Sementara ‘kang Awi’ yang dimaksud Aliya adalah Nawidi. Seorang elemen yang diutus dari Realm Air untuk ikut melindungi Aliya. Ia seorang pria berdarah dingin yang dipercaya Elang untuk melatih elemen-elemen di bawah mereka dan seorang pria yang tidak banyak bicara serta minim ekspresi. Namun demikian, Fayza terlihat tenang berada di dekat Nawidi. Saat ini, Nawidi bertanggung jawab menjaga Aliya dan Fayza karena Elang tengah melakukan perjalanan bisnis ke luar kota sekia
Guntur yang merasa iba pada Agni, merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu buah masker yang biasa ia pakai saat mengendarai motor. “Agni, kalau kamu mau, kamu bisa pakai punya saya ini…” Guntur menyodorkan tangannya yang memegang masker itu ke arah Agni. Agni yang melihat masker di tangan Guntur, tanpa banyak berpikir, langsung menyambar dan memakainya cepat. “Duh kenapa ke mall…” akhirnya terdengar suara Agni mengeluh, setelah masker itu terpasang dan menutupi setengah wajahnya. “Biasanya kita makan di resto Sunda di atas itu pan….” sambung Agni lagi. “Lha, namanya juga hukuman, Ni. Kalau di tempat biasa, mungkin jadi ndak seru untuk mbak Aliya…” perkataan Guntur yang lempeng itu membuat Agni mendelik kesal pada Guntur. Mereka berempat lalu bergegas menyusul Aliya yang kembali membalikkan badannya dan menatap mereka dengan sorot mata tidak sabar. Begitu langkah mereka selesai menapaki tangga, mereka mendapati situasi yang
Aliya lalu memutuskan untuk mengakhiri keisengannya itu.Aliya memang memiliki jiwa iseng yang sering membuat Elang kewalahan sejak awal pertemuan mereka. Kejahilan Aliya juga kadang mampu membuat panik semua teman-teman elemennya.Namun demikian, itu sama sekali tidak membuat jengkel ataupun kesal semua teman-teman Aliya. Justru itu menjadi keunikan dan ciri khas Aliya yang sering dirindukan oleh teman-teman elemen Aliya. Gegas Aliya melangkah menuju kerumunan yang sedikitnya telah berhasil diurai oleh para satpam yang tampak begitu telah berusaha keras.Begitu Aliya mendekat, ia menarik tangan Agung yang berada lebih dekat darinya.“Gung, udah. Cover. Cover,” ujar Aliya dengan mimik sedikit serius dan prihatin. “Kasih tau yang lain.”Agung mengangguk. Lalu ia menutup dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum masuk kembali ke kerumunan dan memberi tahu ketiga temannya yang lain.Segera Iyad, Guntur dan A