Share

3~ Terkejut

"Biasa aja, sih. Gak ada yang aneh."

Tanggapan Fuji setelah aku bertanya tentang sikap Pak Arya. Bagiku beliau sudah berubah, tidak dingin lagi, tidak irit bicara lagi. Sayangnya, perubahan itu hanya tertangkap olehku. Tidak oleh Fuji ataupun Anisa.

"Contoh berubahnya gimana dulu?" Anisa merasa pertanyaanku kurang spesifik.

"Ya, semacam jadi lebih banyak ngomong dan ... agak sinting." Telunjukku sampai mengarah ke kepala.

"Agak sinting," gumam Fuji sambil terkekeh-kekeh.

"Menurut aku, sih, gak ada yang berubah." Anisa baru mengutarakan penilaian. "Pak Arya masih tetep cuek, gak banyak omong."

"Emang kenapa? Tumben kamu peduli." Fuji mulai bereaksi.

"Dia lamar aku."

"HAH?" teriak mereka dengan mata terbelalak.

"Serius?" Lanjut Anisa.

"Bercandaan kali," terka Fuji.

"Awalnya dia bilang cuma bercanda, tapi tadi siang agak gila." Kepalaku menggeleng lagi kalau mengingat kejadian tadi.

"Agak gila, gimana? Cepetan cerita!" pinta Anisa.

"Dia sampai bawain aku cincin dong, Guys!"

"Terus gimana? Kamu terima?" Fuji semakin penasaran.

"Mana mungkin si An mau," kata Anisa sembari mendorong lengannya.

"Eh, iya, ya. Anita, kan, punya Bagas."

Nah, kan. Mereka saja tahu. Pak Arya juga tahu. Kenapa malah melamarku?

"Tapi kamu tolak, kan?" Anisa seakan butuh diyakinkan.

"Iya, udah aku tolak!" balasku lantang. "Aku juga kasih saran ke pak Arya."

"Kasih saran apa?" tanya keduanya hampir bersamaan.

"Kasih saran buat lamar kalian, aja."

"Ah, gila lo!" semprot Fuji. "Aku gak mau nikah sekarang." Dia sampai memukul lenganku.

"He-he, aku cuma asal kasih saran," kelakarku sambil nyengir kuda.

"Tapi pak Arya gak mau, kan?" Anisa mulai resah.

Aku mengapungkan sebelah telapak tangan. "Tenang. Kalian aman, kok. Beliau udah nolak duluan."

Mendengar hal itu, keduanya langsung bernapas lega.

"Oh, ya, An." Anisa kembali bersuara. "Kamu gak akan mikir-mikir dulu, gitu?"

"Mikir-mikir lamaran bapak?" Mataku menyipit bahkan untuk memastikan arah omongannya.

"Hm-m. Beliau, kan, udah mapan. Punya apotek cabang. Mobil sama rumah juga ada," urainya.

Aku menghela napas kuat, merasa ucapan Anisa terlalu berat. Jika memandang harta, beliau pasti akan jadi pemenang, tapi masalahnya bukan di sana. Ya, daripada mereka mengira aku jual mahal, lebih baik jujur apa adanya. "Aku gak mau nikah sama bapak."

"Karena punya Bagas?" Fuji terdengar memastikan.

"Walaupun gak punya pacar juga, aku pasti nolak bapak," tegasku. "Beliau itu kurang ngomong, tapi sekalinya ngomong nusuk ke hati. Terus kelihatannya juga kurang romantis. Hubungan sama orang yang pendiem biasanya bikin capek dan cepet bosen."

***

Sesi curahan hati selesai karena waktu sudah menunjuk angka 18.45. Tidak mau lebih malam di perjalanan, aku memutuskan pergi dari apotek sekarang. Namun, saat menapak di lahan parkir, aktivitas memasang helm terhenti karena ponsel tiba-tiba berdering. Sekilas aku menengok layar, membaca nama Ayang yang tertera di sana.

"Halo?" sapaku tanpa berprasangka buruk sedikit pun.

"Ayang, lagi di mana?"

Pertanyaan yang dikelilingi keributan jalan raya. Sudah pasti, dia belum sampai di rumah.

"Ini depan apotek. Kenapa?"

Tumben sekali dia menelepon, padahal posisi berada di pinggir jalan.

"Oh, belum pulang?" tanyanya lebih terdengar basa-basi.

"Iya, belum. Kamu di mana? Berisik banget." Aku terus bertanya karena semakin yakin, dia menghubungiku bukan sekadar bertanya ini dan itu.

"Aku di depan KFC. Ban motornya bocor."

"Lah, terus gimana? Udah ketemu tambal bannya?" Sontak rasa khawatir memenuhi relung hati.

"Udah, ini lagi di tukang tambal ban. Hm, Yang. Aku mau minta tolong?"

"Minta tolong apa?" Kuku ibu jari sampai kugigiti karena merasa dag-dig-dug tak menentu.

"Itu … pinjem uang kamu dulu. Dua puluh ribu. Buat tambal ban sama isi bensin."

Hah, aku pikir minta tolong apa. Napas pun perlahan berembus lega. Buru-buru aku bertanya untuk mempersingkat waktu yang ada. "Itu kamu di KFC deket kampus 'kan?"

"Iya, di sini."

"Ya, udah aku ke situ." Tak masalah, sih. Toh, jaraknya tidak terlalu jauh dari Apotek 12.

"Sayang, gak apa-apa?"

Lah, pakai tanya begitu. Dia seperti baru kenalan denganku saja. Tidak menjadi masalah, sih, kalau dalam kondisi begini. Lagipula jarak dari apotek ke sana cukup dekat.

"Tunggu sebentar, ya. Ini aku langsung jalan."

Sambungan secepatnya ditutup setelah kami bertukar salam perpisahan. Kini waktunya bagiku menyusul Bagas ke lokasi yang baru saja disebutkan. Sebenarnya, aku bisa mengirim uang via Mobile Banking, memberinya pinjaman dengan jumlah yang melebihi nominal, tapi seingatku di dekat kampusnya tidak ada mesin ATM dari bank mana pun.

Pengorbananku dalam mengantar uang dua puluh ribu cukup menempuh perjalanan dua puluh menit. Kami yang sudah saling menemukan berakhir melempar senyuman sebagai bentuk sapaan.

"Makasih, ya. Maaf bikin kamu repot."

"Apa, sih, ah!" Aku mengibas sebelah tangan di depan wajah.

"Minggu depan, aku ganti uangnya. Aku kehabisan jatah minggu ini karena harus copy dan print beberapa materi," terangnya.

"Udah, gak usah dipikirin," tukasku. "Kamu kayak pinjam ke siapa, aja."

Selembar uang yang dibutuhkan sudah diterima olehnya. Motor yang selesai diperbaiki pun diserahkan montir kepada pemiliknya.

"Aku kawal kamu sampai rumah, ya."

Untuk hal satu ini, aku tidak akan menolak. Langsung mengangguk tanpa pikir dua kali karena aku juga takut pulang sendirian. Anggap saja kalau langkah kami sekarang merupakan contoh pulang bersama, meski tidak direncanakan.

Motorku melaju terlebih dulu, diikuti motornya menembus kepadatan jalan malam. Kami berkendara di bahu kiri jalan. Tidak berencana menyalip kendaraan lain, supaya motorku tetap berada dalam pandangan Bagas.

Setelah berkendara cukup lama, di perempatan jalan menuju rumah mataku menangkap gerobak bakso langganan. Sontak saja aku menekan tombol lampu sein, membawa motor ke tepi jalan, lalu menunggu Bagas meratakan posisi kendaraan.

"Mau beli dulu?" tawarnya seakan sudah hapal gelagatku saat bertemu Bakso Abah Anom.

"Hm-m." Aku tersenyum semringah. "Kamu mau, gak? Nanti aku beliin."

Sengaja menawarkan karena Bagas sudah tahu kualitas dari Bakso Abah Anom. Berkali-kali dia memuji rasanya. Terlebih karena harga murah meriah, tapi porsi melimpah.

"Aku gak usah. Kamu beli buat sendiri, aja."

Sayangnya, aku tidak mau menuruti omongan Bagas. Penolakan seperti ini malah memicu niat membelikan semakin besar. Aku paham rasanya pulang malam, meskipun tidak kuliah. Merasa yakin saja jika di satu sisi dia sedang menahan lapar dan lelah.

Aku meninggalkan motor di samping Bagas. Berlarian tergesa menghampiri Abah, lalu memesan dua porsi bakso dalam plastik terpisah. Beruntung karena antrian sudah berkurang sepenuhnya. Tidak perlu menunggu lama, bakso pesananku sudah bisa dibawa pulang.

"Nih, Yang!"

Sekantung bakso yang terulur membuatnya terdiam lama. Dia tampak ragu dalam menerima. Tak mau mendapat penolakan, aku buru-buru berkata, "Aku traktir."

"Tapi, Yang—"

"Udah," pungkasku sambil mengaitkan kantung plastik itu di batang kaca spionnya.

"Aku bisa makan masakan mama di rumah. Kenapa kamu beli dua segala?"

"Sengaja," sahutku. "Aku pengen kita samaan menu makan malam. Anggap, aja, lagi dinner. Dinner kekinian dan beda tempat."

Melihatku yang memasang wajah tanpa dosa, Bagas tidak punya pilihan lain selain tersenyum dan menyentil ujung hidungku. Sejenak aku memperhatikan suasana jalan. Banyaknya lalu lalang motor memantapkan aku pada suatu kesimpulan.

"Yang, kita pisah di sini, aja."

Bagas terperanjat, menegakkan posisi duduk sambil tak lupa membalas, "Kenapa pisah di sini? Aku bisa kawal sampai depan rumah."

"Ah, gak usah," tolakku lembut. "Rumahku juga udah deket."

"Yakin gak perlu aku kawal?" Dia tampak ragu.

"Iya, yakin. Jalanan juga gak sepi-sepi amat. Kamu langsung pulang, aja. Keburu malem nanti ditanya mama-ayah lagi."

"Duh, aku gak enak." Wajahnya kental dengan rasa bersalah.

"Gak enak apaan, sih? Udah mending kamu pulang, mandi, makan, habis itu kita VC-an. Gimana?"

Habis dibujuk begitu, Bagas terlihat mengangguk. Sorot matanya yang dipenuhi rasa bersalah kini tergantikan oleh senyuman cerah. Kami sepakat berpisah di pertengahan jalan dengan saling melambaikan tangan. Setelah memastikan Bagas hilang di belokan jalan, aku kembali menempuh rute pulang.

Motor pun menepi tepat di depan pagar yang terbuka. Halaman yang hanya bisa memuat dua sepeda motor itu mendadak penuh. Tanpa berprasangka buruk kepada siapa pun, aku terpaksa menyimpan motor di luar pagar. Helm dan sebungkus bakso tak lupa kubawa memasuki rumah.

"Astagfirullah," jeritku keras dengan mata terbelalak. Sebungkus bakso dan helm kesayangan sampai terjatuh saking terperanjatnya tubuh menyaksikan seseorang yang tiba-tiba berdiri berhadapan denganku.

"Wa'alaikumsalam, Anita. Baru pulang?" sapa pria yang suaranya sudah tidak asing lagi.

"Bapak ngapain di sini?" Sebisa mungkin aku merendahkan suara, meskipun jiwa ingin memotong habis tubuhnya.

"Saya di sini mau kasih kamu bukti, Anita."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status