Kain tipis itu, nyatanya tidak menutupi luka lebam dan bekas robekan di wajah Mama. Aku yang memandangi beliau sedari tadi tidak berhenti bergidik sambil menggelengkan kepala sesekali. Masih terasa mimpi. Segala yang terjadi begitu cepat sampai aku merasa sulit menerima kalau Mama benaran tertabrak, di operasi, hingga dinyatakan meninggal hari ini. Aku mengingat-ingat lagi setiap ucap yang Mama lontarkan. Bukankah seseorang yang akan meninggal akan diberi tanda-tanda terlebih dulu? Kenapa aku tidak menyadari hal itu?Pelayat datang silih berganti. Selain mendoakan almarhumah, banyak juga dari mereka yang ingin mengetahui kronologis kecelakaan. Aku yang hanya mendengar kisah dari Bapak enggan untuk berkomentar. Beruntung karena seluruh anggota keluarga paham kalau aku tidak ingin menerima gangguan. Mereka senantiasa menjawab pertanyaan dari orang yang datang mewakiliku dan Bapak. Ya, Bapak pun sama. Beliau tak kalah terkejutnya denganku. Masih di posisi yang sama, kami menatapi wajah
Masa cuti aku pergunakan dengan baik. Sengaja mengajak tubuh bermalas-malasan karena ingin meregangkan otot dan urat syaraf. Kapan lagi coba aku melakukannya? Mungkin untuk tiga hari mendatang, aku tidak akan bisa menjadi manusia malas karena harus dipertemukan dengan rutinitas pekerjaan.Ponsel sedari tadi sudah seperti aku musuhi. Sengaja tidak dimainkan karena terlalu kesal menunggu pesan masuk dari seseorang. Bagas belum bisa dihubungi, belum membaca bahkan membalas pesan terakhir yang aku kirimkan padanya.Kesal karena tak kunjung menyala, aku lantas membawa ponsel itu ke pangkuan. Layarnya yang kini menyala tidak sedikitpun menunjukkan perubahan. Ibu jari kembali menekan layar, memilih icon pesan online untuk melihat perkembangan yang ada. Mataku sontak membulat. Tanda checklist dalam pesan yang kukirim sudah berubah warnanya. Bagas terpantau membaca pesan. Hah! Ke mana saja dia?Bertepatan dengan pertanyaan itu, deru motor yang tak asing dalam pendengaran pun terdengar. Aku ber
Akibat teleponku tempo lalu, Pak Arya jadi tidak tanggung-tanggung lagi. Tanpa ba-bi-bu dia datang ke rumah, meminta kejelasan hubungan sampai ingin disaksikan Bapak. Dia takut aku berubah pikiran, takut cuma omong kosong sehingga membutuhkan kesaksian orang tua. Sayangnya, pernikahan itu tidak bisa dilakukan secepat yang aku inginkan. Perlu ada jeda, kata Bapak. Jeda berkabung karena kepergian Mama. Bapak juga menyarankan supaya Pak Arya membawa kedua orang tuanya lebih dulu untuk membahas penentuan tanggal pernikahan.Dasar memang sudah siap lahir batin. Tidak perlu menunggu seminggu-dua minggu, keluarga inti Pak Arya pun datang setelah Bapak persilakan. Mereka benaran membahas persiapan pernikahan hingga rekomendasi yang disiapkan Pak Arya untuk vendor pernikahan. Alhasil, sebulan menuju hari H benaran dilakoni dengan baik untuk kami.Persiapan tanpa hadirnya seorang Mama, jadi tidak terasa karena Pak Arya terlihat begitu berpengalaman. Beliau yang sat-set-sat-set, berhasil mengaj
Kebaya panjang berekor, kain songket yang cantik, dan mahkota siger yang ternyata berat dan membuat pusing membalut serta tubuhku yang berjalan menuju meja akad. Dari kejauhan sudah aku saksikan sosok Pak Arya yang berdiri menunggu. Masih dalam mode bergandengan tangan, aku dibantu Fuji dan Anisa supaya selamat sampai ke depan sana.Pak Arya kelihatan sigap. Dia yang tahu calonnya mulai mendekat lantas menarik kursi dan membantuku duduk dengan sempurna. Sebelum pergi, kedua pager ayu tadi membantu memasangkan tudung kebaya di kepalaku dan Pak Arya. Bapak penghulu yang melihat kami sudah berada diposisi siap mengambil mikrofon dan mengucap beberapa bait kata untuk membuka acara pembacaan ijab kabul.Kini, tiba waktu bagi Bapak dan Pak Arya untuk berjabat tangan. Sebuah kertas yang bisa dijadikan penunjang pembacaan akad pun disajikan Bapak Penghulu kehadapan Pak Arya."Bismillahirrahmanirrahim. Wali nikah, apakah sudah siap?" tanya Bapak Penghulu terlebih dulu."Siap, Pak," jawab bapak
Aku memasuki ruangan yang katanya akan menjadi kamar tidur kami. Hanya berbalutkan kimono, aku melewati Mas Arya yang hendak bergantian mandi. Dua ransel yang berisi pakaian pun sudah dipindahkan olehnya, tugasku malam ini mungkin hanya menata baju ke lemari. Namun sebelum bergerak, aku harus menunggu instruksi dari suami. Bagaimanapun, ini rumahnya. Aku tidak boleh berlagak hanya karena status sudah menjadi istrinya.Mas Arya datang bertepatan denganku yang sudah berpakaian. Dari jarak dekat, wajah segarnya terlihat memukau dan membuatku tak mau lepas dari pandangan. Aku bahkan bisa menghirup wangi sabun yang sama dengan tubuhnya.“Salat Isya dulu,” ajaknya yang langsung aku indahkan.Bersiap salat berjamaah, mukena yang tadi kukemas dalam ransel pun dikeluarkan. Aku menyusul Mas Arya yang sudah menata sajadah dengan rapi di pojok ruangan. Bersamaan dengannya yang memakai sarung, aku juga tak kalah mempersiapkan diri dengan memakai seperangkat mukena.“An,”“Ya?” Aku sampai memekik k
Pagi hari setelah ajang mandi bersama. Ketika Mas Arya pergi ke masjid untuk salat berjamaah, aku lebih memfokuskan diri menyiapkan sarapan setelah salat dan zikir pagi. Tidak memasak menu yang ribet karena aku ingin makanan tersaji begitu Mas Arya datang.Tentu saja telur dadar dan roti panggang yang menjadi andalan. Unsur pemanisnya, aku membentuk telur yang sudah matang tersebut hingga bentuk bulatnya berubah menjadi hati. Ya, biar terlihat ada kerjaan saja.Dua porsi benaran tersedia di meja makan. Tak perlu menunggu makanan dingin, orang yang kunanti sudah datang. Aku berlarian kecil menyambut kedatangan suami sambil tak melupakan jati diri sebagai seorang istri. Sajadahnya aku ambil alih, punggung tangannya aku kecup penuh rasa patuh. Dia yang menerima sambutan hangat itu lantas mendaratkan sebuah kecupan hangat sebagai bentuk balasan."Ke kamar, yuk!" ajaknya sebelum aku mengajak ke ruang makan."Mau apa?" tanyaku apa adanya."Lanjutin yang semalam."Keningku berkerut, bukan ta
Kami sampai di Yogyakarta pukul 22.10. Sempat menempuh perjalanan satu jam menaiki pesawat. Mas Arya sudah meminta maaf habis-habisan. Rencana menaiki kelas bisnis terpaksa batal karena kursi yang tersedia hanya ada di kelas ekonomi. Aku yang belum pernah naik pesawat sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Asalkan bersama suami, berkendara ke mana pun, naik apa pun akan tetap aku ikuti.Perjalanan belum cukup sampai di bandara. Kami tetap harus menaiki mobil kiriman destinasi, supaya cepat sampai di lokasi bulan madu. Mas Arya ada bercerita tadi, sudah menyewa sebuah kamar dengan pemandangan menarik di sana. Sekilas hanya kulihat saja foto-foto yang terpajang dalam laman internet. Langsung setuju-setuju saja karena pemandangan yang ada tidak terlalu buruk juga.Kondisi malam memang cukup lengang, membuat perjalanan mulus tanpa hambatan kemacetan jalan. Tidak berlama-lama, akhirnya kami sampai di penginapan. Panorama Resort and Spa, namanya. Baru turun di area parkir saja aku suda
Tidur pagi setelah salat Subuh terhenti karena denting bel vila yang berbunyi. Mas Arya yang pertama kali mendengarnya. Secara perlahan, dia melepaskan pelukan. Berjalan ke dekat pintu secara diam-diam. Aku memang tidak bergerak, masih diposisi sama dengan mata terpejam, tetapi gendang pendengaran tetap aktif memantau kunjungan. Tidak ada suara apa pun setelah beberapa saat. Penasaran dengan suasana yang terjadi, aku mengusahakan diri supaya mata yang berat ini terjaga. Tidak ada siapa pun termasuk suamiku. Aku tidak mungkin salah dengar dan terka, jelas-jelas tadi aku mendengar pintu ditutup dan dikunci dari dalam. Kakiku mulai menuruni ranjang, berjalan pelan menuju ruangan depan guna memastikan keberadaan Mas Arya. Napasku berembus lega begitu mendapati sosoknya berdiri di samping televisi. Sebelah tangannya disimpan di pinggang, sedangkan tangan yang satunya memegang kendali atas ponsel. Terbersit rasa ingin mendekati dengan langkah mengendap, membuat kejutan dengan memeluk tubu