Share

Pesan masuk dari siapa?

Alin berusaha mencari banyak alasan agar tidak bertemu dengan Gaurika. Karena dirinya tidak tahu, mau memasang ekspresi wajah seperti apa saat bertemu langsung oleh istri dari pria yang bersamanya semalam.

"Kenapa kau keras kepala sekali sih, Alin? Gaurika jauh-jauh datang ke sini, tapi kau malah seperti itu!" keluh sang Ibu.

Untuk sesaat Alin terdiam tepat di depan pintu dan suara sang Ibu tidak lagi terdengar. Alin pikir, Ibunya menyerah dan bisa meminta Gaurika untuk pergi. Dengan sangat berlahan gadis berambut panjang yang belum sempat berganti pakaian itu melangkah kembali menuju ranjangnya. Kemudian dia kembali duduk dipinggirnya.

"Uh! Kenapa pinggangku rasanya mau copot begini?! Jalan pun terasa ngilu! Bahkan untuk mengganti pakaian saja belum sempat!" keluhnya.

Saat Alin menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu. Dengan cepat Alin berteriak, "Pergilah! Aku sedang tidak ingin diganggu!"

Ketukan pintu itu pun berhenti dan seorang dari balik pintu pun berkata, "Baiklah. Aku akan pergi."

Dengan mata terbelalak, Alin segera mengangkat kepalanya dan melihat ke arah pintu yang masih dalam keadaan tertutup.

'Suara itu bukan suara Erin!' batin Alin.

Dengan cepat Alin berlari mendekati pintu, melupakan rasa sakit yang dirasakannya. Namun saat hendak menyentuh gagang pintu, Alin menghentikan tangannya.

"Gaurika!" panggil Alin.

Gaurika yang telah berada lima langkah menjauhi kamar Alin bisa mendengar dengan jelas suara temannya itu.

"Bukannya aku tidak ingin menemuimu, tapi mataku bengkak dan sakit. Bahkan untuk membalas pesan darimu pun rasanya sulit," ucap Alin.

"Iya, tidak apa. Aku mengerti. Aku pamit, ya."

Gaurika akhirnya memilih untuk pergi meninggalkan kamar Alin.

Dengan perasaan yang penuh rasa bersalah, Alin hanya bisa terus terdiam tertunduk tepat di depan pintu kamarnya.

'Apa yang akan Gaurika lakukan jika dia mengetahui hal yang bisa menghancurkan hatinya? Teman seperti apa aku? Bisa-bisa tidur bersama suami dari temanku sendiri! Andai waktu bisa diputar kembali. Aku tidak akan pernah ikut acara itu!' gerutunya.

Di saat yang bersamaan, ponsel Alin berdering. Alin yang masih terpuruk dalam kesalahan terbesarnya, mencoba meraih ponselnya yang berada di atas ranjangnya. Dengan berlahan langkah kakinya melangkah mendekati ranjang dan mengambil ponselnya.

Dilihatnya nomor baru memanggil. Namun Alin tidak langsung mengangkatnya. Untuk sesaat, dirinya hanya termenung dan bergumam, "Nomor baru? Siapa? Apa mungkin Ricky?"

Alin pun mencoba mengabaikan panggilan itu, lalu segera menuju kamar mandi.

***

Di tempat lain.

Sosok wanita berambut panjang hitam yang memakai dress berwarna putih dengan high heel berwarna senada dengan dressnya berjalan seorang diri menuju halte terdekat. Dalam diam dirinya terus bergumam, "Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Zen dan Alin sepertinya bersikap sangat aneh sejak kemarin? Apa ada yang terjadi pada mereka berdua? Tapi setahuku, Alin tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Zen semenjak Zen lulus SMA. Bahkan saat pernikahanku dengan Zen setahun yang lalu, Alin tidak bersalaman ataupun memberi selamat pada Zen secara langsung. Bahkan dia hanya terus menemaniku saat pernikahanku berlangsung sampai selesai."

Untuk sesaat Gaurika termenung menatap kaca halte yang terpantul sosok dirinya.

"Mau dilihat bagaimana pun, sejak menginjak SMA, aku lebih baik darinya. Baik dari segi penampilan ataupun rupa. Walaupun sepertinya Alin mulai merubah penampilannya dan berusaha merawat diri agar terlihat cantik belakangan ini, tapi itu tidak akan merubah sifatnya yang begitu mudah dibohongi orang," batin Gaurika.

"Tapi kalau dipikir-pikir ... tidak mungkin juga sih sikap mereka yang aneh menandakan mereka bermain belakang dariku. Lagipula pekerjaan Zen dan Alin sangat berbeda, tidak memungkinkan mereka tuk bertemu. Walaupun dulu, Alin sempat menyukai Zen, tapi Alin tidak mungkin mengkhianatiku. Mungkin, Alin hanya sedang sakit makanya aneh. Sedangkan Zen bersikap aneh karena kelelahan bekerja," lanjutnya.

Ya, walaupun firasat Gaurika tidak enak sejak semalam, tapi dia berusaha untuk tidak berpikir negatif. Terlebih sang suami merupakan tipikal pria yang tidak suka berbaur dengan wanita, bahkan selalu acuh jika ada wanita yang mencoba mendekatinya.

"Daripada memikirkan hal aneh, akan lebih baik aku menenangkan diri," batin Gaurika.

Kemudian wanita berumur 22 tahun itu segera membuka tas kecil yang di bawanya karena hendak melihat ponselnya. Namun saat di cek, Gaurika teringat bahwa dirinya lupa membawa ponsel yang terakhir kali diletakkan diatas meja rias, karena terlalu terburu-buru.

***

Setengah jam pun berlalu, Alin yang telah membersihkan diri dan mengganti pakaian, masih saja terdiam di depan kaca meja riasnya dan menatap dalam-dalam sosok dirinya. Terlihat matanya yang masih bengkak walaupun wajahnya tidak lagi memerah.

Lagi-lagi suara deringan ponsel terdengar. Alin pun kembali melihat siapa yang terus mengganggunya. Saat di cek, terlihat kontak bernama Gaurika. Dengan cepat Alin mengangkatnya.

"Iya, Gaurika. Ada apa?" tanya Alin.

Tapi anehnya tidak ada jawaban sama sekali dan hal itu pun membuat Alin merasa heran.

"Gaurika? Apa yang terjadi? Kenapa kau hanya diam??"

Tidak butuh menunggu waktu lama, terdengar suara yang belum pernah Alin dengar sebelumnya dan dia yakin itu bukanlah suara Gaurika.

"Apa Gaurika sudah pulang?" tanya seorang dari balik telepon itu. Suara itu terdengar rendah dan sedikit berat.

Alin pun menyadari, bahwa suara itu adalah suara Zen yang merupakan suami Gaurika.

"Iya, sejak tadi dia pulang. Apa yang terjadi?"

"Dia belum sampai rumah."

"Mungkin macet. Lagipula jarak dari rumah Gaurika ke sini cukup jauh, membutuhkan waktu sekitar 40 menit."

"Oh, begitu, ya," jawab Zen.

Kemudian untuk sesaat mereka terdiam. Alin pun secara tiba-tiba mengingat kejadian semalam.

'Apa Zen dengan sadar melakukannya denganku? Karena kondisiku semalam benar-benar tidak sadarkan diri,' gumam Alin.

"Ehm," ucap Zen yang memecahkan keheningan.

Dengan cepat Alin menjawab, "Iya. Apa ada hal lain yang ingin kau tanyakan?"

"Zaylin Aimee," panggil Zen.

Mendengar namanya dipanggil dengan Zen, seketika membuat Alin merasa agak aneh.

"Jangan memanggilku seperti itu! Alin, panggil saja Alin!" imbuh Alin.

"Iya, Ai... Aimee."

"Alin saja."

Setelah percakapan yang tidak jelas itu, mereka kembali terdiam. Alin yang merasa benar-benar canggung karena harus berteleponan dengan suami sahabatnya itu, dia pun memutuskan untuk mengakhirinya.

"Maaf, Zen. Aku ada urusan lain. Aku akhiri teleponnya, ya," ucap Alin.

"Baiklah."

Alin pun segera mengakhiri teleponnya dan untuk sesaat dirinya terdiam. Jantungnya seolah berdenyut lebih cepat dan tidak seperti biasanya. Tangan kanan Alin segera menyentuh bagian dadanya.

"Kenapa? Perasaanku aneh begini? Apa karena aku takut? Takut kejadian semalam ketahuan?" tanya Alin pada dirinya sendiri.

Tidak lama kemudian, ponsel Alin bergetar dan berdering. Namun, kali ini bukan panggilan telepon melainkan sebuah pesan dari nomor baru yang tidak dikenal tadi.

"Apakah hari ini kita bisa bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan," tulis pesan masuk tersebut.

Untuk sesaat Alin terdiam, seingatnya karena kesal dirinya telah menghapus nomor Ricky dan Rinny dan dia tidak mengingat nomor mereka sama sekali.

Apa mungkin itu pesan dari Ricky? Rinny? Atau justru dari orang yang menelpon Alin sebelumnya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status