"Aku nggak tahu kamu suka novel dia atau enggak, tapi begitu dapat kabar novel terbaru dia lauching dan bisa di cari di toko buku, aku ajak aja kamu ke sini."Senyum Aline merekah sempurna, tumpuka buku dan deretan buku-buku yang berjejer di rak-rak besar itu merupakan pemandangan paling indah di mata Aline. Aline menoleh, nampak Adam tersenyum begitu manis menatapnya."Happy shooping. Pilih buku apapun yang kamu suka, aku yang bayar, perdana dan pertama kali bayarin kamu shooping setelah kita resmi nikah, kan?"Aline mengangguk cepat, dia sama sekali tidak mau mendebat apapun. Buku-buku itu terlalu menggoda untuk diabaikan begitu saja. Aline segera melesat, mendekati beberapa buku yang disusun di atas meja sementara Adam hanya tersenyum seraya meraih tas bening yang tersedia di dekatnya.Adam segera melangkah dan berdiri di sisi Aline yang nampak asyik dengan sebuah buku di tangan. Matanya begitu serius membaca blurb yang ada di belakang buku. Adam tersenyum, menatap wajah berbinar i
Aline menatap takjub ruangan yang ada di lantai atas bagian belakang, di mana jendela kaca besar yang ada di dinding menyajikan hamparan rumput hijau dengan bunga plus kolam renang yang ada di taman belakang. Ruangan itu benar kata Adam, cukup luas, lebih luas dari kamar utama yang juga berada di lantai atas.Ruangan dengan lantai kayu dan penuh rak buku yang juga bernuansa kayu cokelat itu benar-benar seperti ruangan impuan Aline selama ini. Ada dua buah sofa berwarna cream yang nampak sangat empuk dan nyaman. Dengan meja di antara kursi itu dan tidak lupa di sisi lain ada meja yang tidak terlalu tinggi serta karpet bulu untuk lesehan.“Jadi di sini aku suka baca-baca dan ngerjain penelitian aku, Sayang.” Adam menutup pintu, menyalakan AC dan membuka gorden berbahan voile sehingga pemandangan belakang rumah yang tadinya tertutup selapis kain tipis berwarna putih itu kini terbentang jelas di mata Aline.“Di rak paling ujung sana, itu kole
“Lin, sudah hampir la—“Adam tertegun ketika mendapati istrinya sudah terlelap di kursi baca dengan buku di pangkuan. Ada beberapa tumpuk novel yang tergeletak di meja yang ada di dekat kursi. Adam tersenyum, ia melangkah masuk, menghampiri sang istri yang nampak begitu pulas tidak peduli posisinya sangat tidak nyaman dilihat dengan mata.Secangkir teh chamomile dengan madu yang sangat disukai Aline, Adam letakkan di meja, tepat di samping tumpukan novel milik istrinya. Adam tersenyum, matanya menatap wajah itu lekat-lekat. Adam lantas merogoh saku atasan piyamanya. Mengambil ponsel dan mencuri gambar Aline yang terlelap di atas kursi baca yang biasa Adam gunakan untuk sekedar membaca buku atau komik di waktu luangnya.Adam mengirimkan foto itu pada seseorang, lantas kembali memasukkan ponsel ke dalam saku dan bergegas mengambil buku yang ada di pangkuan Aline. Dengan begitu lembut dan perlahan Adam membawa tubuh itu ke dalam gendongannya.‘Tahan ... tahan, Dam!’ Adam mengumpat dalam
Aline sama sekali tidak bisa tidur. Ia hanya mondar-mandir di ruang tengah lantai atas. Semenjak kepergian Adam, Aline mendadak galau. Ia begitu penasaran dengan kemana perginya sang suami? Ia dengar betul kalau Adam tadi berpamitan karena ada yang membutuhkan dia. Dan memang fitrah dokter itu adalah harus siap sedia kapanpun pasien membutuhkan. Tetapi melihat kemana arah mobil Adam tadi pergi, kenapa mendadak hati Aline merasa tidak tenang?“Ayolah! Aku ingin kenapa sih, kenapa?” Aline memaki dirinya sendiri.Kenapa dia harus mengurusi sekali kemana Adam pergi? Kenapa dia merasa tidak terima jika benar Adam ternyata tidak pergi ke rumah sakit dan membohongi dirinya? Aline mendesah, menjatuhkan diri di sofa yang ada di depan TV. Kepalanya mendadak pusing.Mata yang ketika dia gunakan membaca di ruang buku tadi terasa begitu berat, kini sama sekali tidak merasakan kantuk. Ia hendak kembali membaca buku, tapi otaknya sama sekali tidak bisa fokus! Ia hanya memikirkan Adam saja, tidak ad
Adam melangkah menapaki anak tangga, ketika kakinya mendarat di anak tangga terakhir, ia tertegun dengan tatapan nanar menatap sosok itu. Adam diam tak bergerak di tempatnya berdiri, setelah yakin dan memastikan bahwa yang dia lihat tengah tidur memeluk bantal sofa itu adalah benar istrinya, Adam kembali melangkahkan kaki, mendekati Aline yang nampak begitu lelap tidur di sofa yang ada di depan tv.Perasaan Adam berkecamuk, ia sontak berlutut di dekat sofa, menatap lekat-lekat wajah itu dengan perasaan campur aduk. Jadi sepeninggalnya tadi Aline terbangun dari tidurnya? Apakah Aline mencari keberadaannya? Adam melirik pintu kaca yang menghubungkan dengan balkon, benar saja, pintu itu bahkan belum tertutup sempurna.Adam bergegas bangkit, menutup dan mengunci pintu itu lalu kembali menghampiri Aline yang terlihat begitu pulas tertidur.“Kok tidur sini sih, Sayang?” gumam Adam lirih sambil membawa tubuh itu ke dalam gendongannya.Ia segera membawa tubuh itu masuk ke dalam kamar. Apakah
Aline menggelengkan kepalanya, ia kembali membenamkan wajah ke dada Adam. Rasanya begitu nyaman dan hangat. Membuat Aline terlena akan kenyamanan yang ia dapatkan dari dekapan dan pelukan sang suami.Senyum Aline merakah, entah mengapa rasanya Aline tidak ingin melepaskan diri dari dekapan Adam. Ia ingin sampai pagi terus berada di pelukan sang suami. Dia tidak lagi merasa kikuk atau risih dengan sentuhan Adam. Seperti yang dia bilang tadi, pelukan dan dekapan ini rasanya begitu menenangkan dan melenakan!Aline mencoba memejamkan mata, hangat dan nyaman yang dia peroleh membuat mataya memberat. Lambat laun Aline bahkan tidak lagi bisa mempertahankan matanya agar tetap terjaga, terlebih aroma maskulin yang dia hirup dari parfum milik Adam membuat Aline makin tidak kuasa menahan matanya dan tidak perlu waktu lama, kini Aline terlelap begitu damai dan nyaman dalam dekapan suaminya, lelaki yang bahkan sebenarnya Aline tolak keberadaannya di sekitar Aline.Penolakan yang agaknya harus dipe
Aline mengerjapkan mata ketika merasakan ada sinar hangat yang menyorot wajahnya dalam rentan waktu yang cukup lama. Perlahan-lahan Aline membuka mata dan terkejut mendapati langit sudah cukup cerah terpampang dari jendela kamarnya.Jam berapa ini? Aline perlahan bangun, dan hampir berteriak ketika melihat jarum jam sudah menunjukkan angka 10! Astaga!Dengan sedikit panik, Aline turun dari ranjang, membuka pintu kamar dan mendapati rumah begitu sepi. Agaknya Aline lupa, jam segini tentu Adam sudah berada di rumah sakit dan di rumah besar itu hanya tinggal dia, mak Surati dan pak Ugi, tidak ada yang lain lagi.“Untung bukan orang kantoran, kalo iya, habis lah sudah!” rintih Aline yang merasa bersyukur dia tidak harus bekerja di kantor yang jam masuk dan pulangnya sudah ditentukan perusahaan.Aline hendak kembali masuk ke dalam kamar untuk mandi, ketika panggilan itu mengejutkan dirinya.“Mbak Aline sudah bangun? Ini Mak bawain sarapan, Mbak.”Mak Surati muncul dengan nampan di tangan,
“Apa? Jadi kalian belum pernah gituan?”Aline kontan nyengir lebar, meskipun tahu lawan bicara tidak berada di depannya, namun reflek itulah yang kini Aline lakukan ketika mendapat pertanyaan itu dari Nagita, sahabatnya sejak ia duduk di bangku semester satu.“Heh! Mendadak budek atau mendadak pingsan?” salak Nagita galak ketika ia tidak kunjung mendapatkan jawaban dari mulut Aline.“Segitunya, gue denger kok!” balas Aline sewot, ini anak kenapa sih? Lagi PMS?Terdengar helaan panjang dari seberang, Aline begitu yakin bahwa setelah ini, ibu hamil satu itu pasti akan mengomeli dirinya panjang kali lebar. Tentu Nagita sudah dengar jelas semua petaka yang menimpa Aline, bagaimana ia mendadak harus menggantikan saudari kembarnya menikah karena insiden itu.“Lu ini gimana sih, Lin? Riskan banget tau, nggak?”Aline yang tengah mengerjakan pembaruan bab novel on-going miliknya yang beberapa hari mangrak, kontan menyingkir sejenak dari depan laptop. Dengan ponsel yang masih menempel di teling