Sebelum berangkat kerja, Audrey menitipkan Jack di daycare service. Terkadang saat Audrey menatap putera satu-satunya itu, selalu terpikir dia ingin memiliki kehidupan normal seperti orang-orang lain. Memiliki keluarga utuh, tapi begitu mengingat perbuatan Chris padanya, ditepisnya keinginan itu jauh-jauh.
Apa yang ditorehkan Chris padanya, tak begitu saja dengan mudah dilupakannya. Dia hanya bisa menjalani kehidupan yang sudah terlanjur dijalaninya selama tujuh tahun ini. Berjuang bersama Jack, hanya untuk meraba masa depan yang dia sendiri tak tahu ke depannya akan seperti apa.
“Jack, jangan nakal. Setelah selesai bekerja kita akan membeli burger kesukaanmu, ok?” tanya Audrey serasa berjongkok di hadapan Jack.
Jack memeluk Audrey sangat erat. Pria kecil itu sangat mencintai Audrey, baginya Audrey adalah cinta pertama Jack.
“Mama, aku mencintai mama. Sangat mencintai mama,” ucap Jack membuat kedua mata Audrey berkaca-kaca. Dia pun sangat mencintai Jack.
Audrey masih ingat saat dia hampir mati memperjuangkan Jack agar bisa menghirup napas kehidupan. Dia menyesal sempat menolak kehadiran Jack pada hidupnya dulu. Tapi kini, semua terbayarkan. Jack yang semakin beranjak besar, membuat Audrey sedikit lupa dengan segala lelah dan penderitaan yang dirasakannya.
“I love you even more, Little Man,” balas Audrey mengecup pipi tembem milik Jack. (“Aku bahkan lebih mencintaimu, pria kecil.”)
Jack melambai di belakang pintu berlapis kaca, melepas kepergian Audrey.
*
Lagi-lagi Audrey terlempar ke lamunan masa lalu yang selalu menghantuinya. Audrey terhenyak dalam lamunannya. Dia menatap layar komputer, sejak tadi tak satu pun laporan yang dikerjakannya. Dia kembali pada lamunan masa lalunya. Ditariknya napas dalam-dalam, kemudian jari-jarinya mulai menari di atas keyboard komputer
Sebuah panggilan di ponsel membuatnya menghentikan pekerjaannya.
“Hallo?”
“Dengan Nyonya Audrey?”
“Benar, aku berbicara dengan siapa?”
“Kami dari Rumah Sakit New Hampston, apakah bisa segera ke sini. Anak Anda, Jack Logan, dia mengalami kecelakaan. Kami membutuhkan donor darah AB-. Apakah Anda bisa segera kemari, karena di rumah sakit golongan darah AB rhesus negatif sedang kosong.”
Tubuhnya meluruh, golongan darahnya tak mungkin bisa mendonorkan pada Jack. Hanya satu orang yang diketahuinya kemungkinan memiliki golongan darah yang sama, Christian!
“A-aku segera ke sana.”
Tanpa berpikir panjang Audrey menyambar mantel miliknya, mengambil tas, dan bergegas keluar dari kantor tanpa meminta ijin terlebih dahulu.
Sesampainya di rumah sakit, dokter mengatakan Jack harus segera menerima donor darah. Perjalanan dari rumah sakit menuju tempat di mana Christian berada memakan waktu 2 jam lebih, apakah mungkin?
“Dokter, aku bisa membawa orang yang memiliki golongan darah sama dengan anakku. Tapi perjalanan dari sini ke sana memakan waktu hampir dua jam, total kurang lebih lima jam. Apakah mungkin?”
“Nyonya Audrey, semua kemungkinan meski kecil harapannya harus dicoba. Jack masih mampu bertahan sampai kau mendapatkannya,” terang dokter muda yang menangani Jack.
Audrey berbalik menatap pengasuh di daycare yang mengantar Jack.
“Bagaimana Jack bisa mendapat kecelakaan?”
Gadis muda itu menunduk dan menjawab dengan takut, “Saat itu dia keluar, pintu tak tertutup rapat, dia mengejar bola kaki miliknya. Tak lama kemudian sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrak Jack hingga terpental ke sisi jalan satunya. Kami bersyukur dia masih bisa diselamatkan dan mendapatkan penanganan. Aku benar-benar takut saat membawanya kemari,” jawab gadis itu sesekali menyeka hidungnya karena menangis.
“Tolong jaga Jack sampai aku kembali. Aku akan pergi ke kota, untuk membawa orang itu,” pinta Audrey.
Dia yakin Jack adalah laki-laki kecil yang kuat. Jack akan bertahan sementara dia berjuang untuk membawa seseorang yang sangat dibencinya agar mau menyelamatkan putera satu-satunya.
Hanya ini yang bisa dilakukan untuk menebus dosa di masa lalu. Dia hampir menggugurkan Jack saat dalam kandungan, dan kali ini dia akan berusaha membawa kehidupan untuk Jack.
“I-Iya, berhati-hatilah Nyonya Audrey.”
“Kumohon jaga dia. Aku akan usahakan segera kembali.”
Audrey menghambur keluar dari rumah sakit. Dinyalakannya mobil, tak peduli dia mengemudikan mobil seperti orang kesetanan, dia hanya ingin Jack mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan.
Kakinya terasa berat menatap gedung tinggi di hadapannya. Dirinya seakan terlempar kembali pada kejadian tujuh tahun lalu. Dia ingin melangkah, tetapi sesuatu seperti menahan kedua kakinya untuk tetap membeku pada tempatnya. “Aku harus bisa. Demi Jack,” ujar Audrey berusaha menguatkan hatinya. Tetap saja rasanya sangat berat, tapi jika dia tak melakukannya sekarang, lalu kapan? Dia akan kehilangan Jack jika dia lebih mementingkan rasa sakit masa lalunya. Akhirnya Audrey menguatkan hatinya masuk ke dalam gedung besar itu, tempatnya bekerja dulu, di mana tragedi itu telah menghancurkan segalanya. Bagian informasi tak mengijinkannya masuk karena dia belum membuat temu janji dengan Christian. “Kumohon, ijinkan aku bertemu dengan Christian!” seru Audrey kesal. “Maaf, Nona. Kami tak bisa, Anda harus membuat janji terlebih dahulu.” “Anakku bisa mati jika aku harus menunggunya turun melewati jalan ini!” Tanpa pikir panjang Audrey memak
Christian memaksa Audrey ikut pergi bersamanya di satu mobil. Audrey tak bisa menolak, karena Christian dengan paksa menyeretnya masuk ke dalam mobil. Masih banyak hal yang membuat Chris penasaran padanya, dan dia memaksa Audrey satu mobil dengannya tak lain untuk menginterogasi Audrey. Audrey menjaga jarak dengan Chris, meski Chris beberapa kali menyuruhnya duduk untuk berdekatan dengannya, Audrey lebih memilih mepet di dekat pintu berjaga-jaga jika Chris melakukan sesuatu maka dengan mudah dia menghancurkan pintu jendela untuk berteriak. “Kau seperti ketakutan melihatku, apa aku pernah melakukan sesuatu yang buruk padamu?” tanya Chris melihat Audrey melipat kedua kakinya di depan dada, seperti orang yang ketakutan. Audrey tak mau melihat Chris, bayangan-bayangan itu kembali menyerangnya, tubuhnya dibalut ketakutan yang teramat sangat. “Hei, wanita! Kau mendadak bisu?!” bentak Chris, membuat Audrey semakin gemetar. “Tuan Chris, sejak kapan An
Dokter segera menghampiri Audrey. Wajahnya tersenyum, dia terlihat lega karena pada akhirnya Audrey kembali membawa seseorang yang bisa menyelamatkan nyawa Jack. Ketika Audrey selesai berbicara dengan dokter, Chris menarik lengan Audrey dengan kasar. “Apa kata dokter?” tanya Chris. “Kau akan dibawa ke instalasi transfusi darah, kuharap ini terakhir kali aku melihatmu,” ucap Audrey, kemudian menepis tangan Chris dari lengannya. Dia tak ingin Chris menyentuhnya. Mengingat perbuatannya saja, Audrey seperti sedang bermimpi buruk dalam keadaan terjaga. “Apa kau tak bisa katakan padaku, apa aku pernah berbuat sesuatu yang buruk padamu sehingga kau bisa mengandung anakku?” desak Christian. “Sudah kukatakan, tak perlu mengetahui apa pun. Tuan Chris, silakan ikuti dokter, dan pergi ke ruangan yang telah ditunjukkan. Anakmu membutuhkanmu. Sekali lagi aku berterima kasih karena kau bersediia menyelamatkan Jack.” Audrey mendorong dada Chris, dia t
Audrey segera mengurus surat pengunduran diri di yayasan tempatnya bekerja, sementara Jack masih berada di rumah sakit dan belum bisa dibawa pulang. Audrey berharap Christian masih belum melakukan sesuatu karena tak mungkin baginya untuk membawa Jack dalam keadaan belum membaik. Beruntung dari tempatnya bekerja, dia diberikan pesangon sehingga dia memiliki bekal cukup untuk menghidupi dirinya dan Jack selama beberapa saat sampai dia bisa mendapatkan pekerjaan baru. Audrey tak sanggup memikirkan, jika Chris sampai nekat memisahkan dirinya dan Jack. Saat ini saja dia bertahan hidup karena Jack yang selalu ada di sisinya, menguatkannya, dan menjadi tiang penopang harapannya. “Terima kasih, aku tak akan melupakan kalian,” ujar Audrey pada beberapa pengurus yayasan lainnya. Keputusan yang diambil Audrey memang sangat terburu-buru, membuat beberapa pekerja di yayasan merasa kehilangan Audrey. Meski perempuan itu selalu terlihat sedih, tapi Audrey adalah seseorang y
Audrey begitu bahagia karena selama beberapa hari ini dia akan terlepas dari pekerjaan-pekerjaan kantor yang begitu membebaninya. Perusahaan akan mengadakan gathering, semua divisi diharuskan ikut dalam acara itu. Christian—atasan sekaligus pemilik perusahaan—menyewa sebuah resort mewah dan puluhan kamar sekaligus untuk seluruh karyawan perusahaan. Dia sebagai kepala purchasing di kantor pun memiliki beberapa bawahan. Selama menjadi kepala purchasing dan bekerja dua tahun di sana, Audrey jarang berinteraksi langsung dengan Christian. Karena semua interaksi dilakukannya melalui asisten pribadi Christian—Lody. Tapi malam itu saat semua karyawan pulang lebih dulu, Audrey justru harus lembur mengerjakan beberapa sisa pekerjaan. Dia tak ingin menundanya karena besok acara gathering jadi dia ingin saat acara berlangsung dia tak perlu memikirkan urusan pekerjaan. Audrey memperhatikan jam di dinding, sudah hampir pukul delapan malam. Hanya tersisa dirinya di
Semenjak kejadian malam itu, Audrey memutuskan resign. Audrey mengakui segalanya di hadapan keluarga besar dan di depan kekasihnya. Bukannya membela, mereka justru menyalahkan Audrey. Akhirnya dia memutuskan dengan sisa tabungan yang ada, dia pergi dari dari Kota New York dan pindah ke sebuah kota kecil di Cooperstown. Dia bekerja di sebuah yayasan panti jompo di bagian administrasi, dengan gaji seadanya lalu menyewa sebuah ruangan bertipe studio sebagai tempat tinggalnya. “Audrey, kau kenapa? Wajahmu kelihatan pucat,” tanya seorang wanita tua yang menjadi rekan di tempat kerja barunya. Wanita tua itu adalah seorang kepala administrasi di tempatnya. “Aku mual, kepalaku pusing, Nyonya James.” “Mual?” “Setiap bangun pagi mualku lebih parah, aku tak tahan dengan bebauan.” “Jangan-jangan kau hamil, Sayang,” kata Nyonya James. Audrey menggigit bibir bawahnya sesaat dia teringat kejadian di malam itu, tiga bulan lalu saat Christian m
Audrey rasanya tak sanggup melihat wajah Kevin yang terlihat lesu. Lingkaran hitam di bawah matanya, belum lagi rambutnya sedikit lebih panjang dari sebelumnya, menandakan laki-laki itu tak lagi sempat mengurus dirinya. Berbeda dengan sebelumnya, wajah Kevin selalu ceria, dengan penampilan klimis, yang membuatnya terlihat memesona. Apakah karena hubungan keduanya menjadi berantakan, maka Kevin menjadi seperti itu? Apakah Audrey benar-benar membuat Kevin terpuruk? “Kevin, meski aku tak bisa berbohong jika jauh di lubuk hatiku kau masih memiliki cintaku. Tapi aku merasa aku tak akan pernah pantas bersamamu.” Kevin mendesah penuh putus asa, tak tahu lagi bagaimana membujuk Audrey untuk kembali padanya. Bukannya dia telah mengatakan dia menyesal? Kevin tak bisa memaksa. “Audrey, jika kau berubah pikiran kau tahu di mana harus menghubungiku. Sebulan, dua bulan, setahun, atau lebih aku masih akan menunggu. Aku telah membuat keputusan yang sa
Audrey menarik kursi ke arah tembok, kemudian menyandarkan kepalanya. Dia harus berbuat apa? Chris pasti sangat marah, tapi dia benar-benar membenci sosok itu. Setiap dia melihat Chris di hadapannya, ingatan-ingatan buruk itu seakan mencuat keluar dari dalam pikirannya. “Jack cepat sadar. Pria jahat itu sudah kembali, bahkan dia melakukan test DNA padamu. Aku tahu cepat atau lambat semuanya akan terbongkar, apa Tuhan tak bisa berbaik hati memberikan kebahagiaan padaku? Kenapa harus membuatmu dipertemukan dengan papa kandungmu? Aku membenci papamu, Jack.” Audrey menatap Jack, irama napasnya begitu teratur, sesekali terdengar dengkuran halus dari Jack. Audrey memainkan rambut Jack, disisirnya menggunakan jari-jarinya. Tak pernah bisa dibayangkan jika dia harus berpisah dari pria kecilnya. Akan menjadi apa dunianya nanti? Tanpa Jack mungkin dia akan menjadi gila, karena satu-satunya harapan adalah Jack, harapan untuk memandang dunia dari sisi lain. “Jangan perna