Audrey tak henti-hentinya menarik napas. Sesekali dia melihat ke belakang, takut jika Christian terus mengikutinya. Sumpah demi apa pun, dia tak ingin lagi berhubungan apa pun dengan laki-laki itu. Cukup sekali seumur hidupnya.
Audrey segera mengeluarkan kunci mobil miliknya, dan menyuruh Jack segera masuk ke dalam.
“Mama, Christian sangat baik padaku. Tadi dia yang membantuku un—“
“Cukup! Jangan sebut nama itu lagi depan mama. Aku tak mau mendengarnya!” kata Audrey setengah membentak pada Jack.
Kedua mata Jack memerah, menahan tangis mendengar suara bentakan Audrey.
“Ma-maaf, Sayang. Mama tak bermaksud membentakmu. Tapi, lupakan laki-laki tadi. Dia bukan laki-laki yang baik. Kau tahu kan seperti apa laki-laki yang baik itu?”
Jack mengangguk kemudian memeluk Audrey.
“Laki-laki baik tak akan menyakiti perempuan. Seperti aku yang tak pernah menyakiti mama,” jawab Jack.
“Benar. Kau tak akan pernah menyakiti mama, tidak akan. Tapi seseorang telah menyakitiku, bahkan menghancurkanku,” ucap Audrey setengah berbisik. Hatinya terasa hancur melihat kehadiran Christian beberapa menit yang lalu.
Wajah Christian membayang-bayanginya selama bertahun-tahun menyisakan sakit yang seorang pun tak bisa memahaminya. Bahkan gara-gara Christian semua menjauhinya, bahkan keluarganya pun ikut memusuhinya. Keluarganya seorang Katolik Orthodoks dan masih memegang ajaran-ajaran kolot yang mengharuskan seorang anak perempuan harus menjaga kesuciannya.
Ketika semua itu terjadi padanya tujuh tahun yang lalu, padahal semua bukan kemauannya, tapi lagi-lagi dia yang disalahkan. Seandainya saja Christian tak tiba-tiba muncul seperti hari ini, mungkin dia tak akan merasa hatinya seperti tertusuk-tusuk sembilu.
Audrey menyalakan mesin mobil, kedua matanya berkaca-kaca menimbulkan embun di depan mata.
“Jack, seandainya kau masih mempunyai papa, apa kau akan bahagia?” tanya Audrey pada Jack yang berada di sampingnya.
“Papa? Tapi kata mama, papa sudah meninggal?”
“Hanya seandainya, apa kau ingin menemuinya?”
Jack menggeleng.
“Kenapa?”
“Aku tak butuh papa. Aku hanya butuh mama.”
Audrey menangis sejadi-jadinya menyisakan tanya dalam benak Jack. Dia tak pernah melihat Audrey menangis sampai sesegukan. Audrey tak pernah mengajarinya untuk membenci seorang ‘papa’ dia hanya mengatakan papanya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil untuk membungkam Jack tak bertanya lagi ke depannya mengenai ‘papa’.
Audrey menutup mulutnya dengan satu tangannya berusaha untuk tak terlalu emosional.
“Apa kau bahagia bersama mama?”
“Sangat bahagia, Mama,” jawab Jack dengan pasti lalu tersenyum memamerkan sederet gigi serupa kelinci berderet rapi.
*
“Tidak!”
Napasnya memburu, keringat mengucur deras dari pelipis Audrey. Diliriknya jam yang berada di atas nakas, baru pukul dua pagi. Lalu diliriknya sisi kiri tempat tidur, Jack masih tertidur sangat lelap. Dia baru saja bermimpi.
Memimpikan sesuatu yang sangat buruk, yang membuatnya ingin terjaga semalaman.
“Ya Tuhan. Kumohon jangan pertemukan aku lagi dengan Christian. Bertemu dengannya adalah mimpi buruk bagiku,” ucap Audrey. Satu tangannya mengusap lengan berusaha menghalau rasa khawatir yang terus berputar-putar pada benaknya.
Audrey mengusap kasar wajahnya, ada perasaan takut mendera. Semoga saja pertemuannya kemarin dengan Christian setelah bertahun-tahun adalah pertemuan terakhirnya.
Audrey mencoba memejamkan kembali kedua matanya, dan mengenyahkan perasaan tak nyaman dalam hatinya. Dia berharap tak perlu lagi serpihan ingatan tentang masa lalu yang harus hadir dalam mimpinya. Terlalu menyakitkan!
*
Pagi-pagi sekali Christian sudah bangun, dan meminta pembantu mempersiapkan segala keperluannya. Melody, wanita berusia 60 tahun membawakan setelan jas milik Christian. Wanita itu sudah berada di rumah keluarga Butt selama hampir 40 tahun lamanya. Dia tahu seperti apa keburukan keluarga tersebut.
“Semalam kudengar papa bertengkar dengan mama, ada apa?” tanya Christian pada Melody seraya mengikat dasinya di depan cermin besar.
Melody tertunduk, wajah rentanya tak berani menatap langsung Christian.
“Tuan semalam membawa perempuan ke rumah. Seperti biasa Nyonya tak bisa melakukan apa pun.”
Christian menarik bibirnya miring ke atas, tergambar jelas dari raut wajahnya dia tak pernah menyukai bandot tua itu, meski tanpanya Christian tak akan pernah lahir di muka bumi.
“Jadi benar kan, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ibu selalu menyuruhku menikah, punya anak, berhenti bermain perempuan. Lalu apa kabarnya dengan bandot tua yang selalu dicintai ibu? Dia sendiri tak bisa mengubah sifat buruknya, lalu memberikan kuliah padaku setiap aku membawa perempuan ke kantor atau ke apartemenku!”
“Maaf, Tuan Muda. Biar bagaimanapun Tuan Besar adalah ayahmu.”
“Benar, dia ayahku. Tapi dia yang menciptakan monster sepertiku.”
Christian membentangkan satu tangannya, Melody dengan sigap membantu memakaikan jas.
“Lalu apa dia memukul mama?”
“Seperti biasa, tak perlu diragukan,” jawab Melody pendek.
“Lalu?”
“Yang lebih mengejutkan, perempuan yang dibawa Tuan sudah hamil dua bulan. Tuan juga bertengkar dengan wanita itu, memintanya menggugurkan bayi dalam kandungan, tapi wanita itu menolak.”
“Suruh gugurkan saja, aku tak mau punya adik dari perempuan jalang. Repot-repot bertengkar, mempertahankan, ujung-ujungnya janin itu tak akan pernah menjadi bayi yang lahir ke dunia. Sudahlah, aku akan berangkat ke kantor.”
“Tuan tak sarapan lebih dulu?” tanya Melody.
“Tidak.”
Christian menuruni tangga setengah berlari, dilihatnya Jane—ibunya—sedang berdiri di depan jendela menatap ke arah luar. Chris penasaran apa yang dilihat ibunya sampai sebegitu seriusnya.
“Ma?” panggil Chris lembut.
Wanita yang dipanggilnya ‘ma’ langsung menoleh, kemudian tersenyum—sedih—ke arah Chris.
“Kau mau berangkat?”
“Apa yang mama lihat ke arah luar?” Chris mengikuti arah pandang Jane, dilihatnya Howard—ayahnya—sedang memapah seorang wanita masuk ke dalam mobil hitam. Sudah pasti itu perempuan sampah yang semalam dibawanya pulang ke rumah.
“Tak perlu mengatakan apa pun, Chris,” ucap Jane datar. Sudah terbiasa dia menyaksikan pemandangan seperti itu selama hampir dua puluh lima tahun. Diakuinya, semua berawal dari kesalahan yang diperbuatnya sehingga Howard menjadi bajingan seperti sekarang. Jane tak bisa menyalahkannya.
“Ma, masa lalu kadang membuat kita menyerah pada segalanya, bukan?”
“Aku tahu, sangat tahu. Seharusnya aku tak berbuat kesalahan itu, jika aku tak berbuat seperti itu maka Howard akan tetap Howard yang kukenal semasa kuliah sampai dia menjadi seorang penguasa di dunia perdagangan. Sudahlah, kau bukannya harus bekerja? Jangan biarkan klienmu menunggu,” ujar Jane. Diusapnya pundak Chris.
Entah siapa yang harus sangat dibencinya. Mama atau papanya?
Tak ada yang bisa disalahkan oleh Chris. Mamanya yang lebih dulu berselingkuh dengan kaki tangan papanya, di saat bisnis milik papanya semakin menanjak. Tapi setidaknya Howard tak menceraikan istrinya.
Saat itu Howard sempat berkata jika Jane bisa melakukan hal seperti itu padanya, dia akan tetap bertahan tapi dia akan memberitahunya seperti apa rasa sakit dikhianati dengan memberinya 100x lipat pelajaran dari apa yang dia perbuat sebelumnya. Howard melakukannya, meski dia tahu dia membutuhkan Jane di sisinya, tapi membuat Jane bertahan untuk menikmati rasa sakit itu.
“Chris,” panggil Jane sebelum puteranya benar-benar lenyap dari pandangan.
“He-em?”
“Menikahlah.”
“Aku akan menikah jika aku sudah menghancurkan setengah dari populasi wanita di dunia,” jawab Chris santai, kemudian melenggang masuk ke dalam mobil.
Sebelum berangkat kerja, Audrey menitipkan Jack di daycare service. Terkadang saat Audrey menatap putera satu-satunya itu, selalu terpikir dia ingin memiliki kehidupan normal seperti orang-orang lain. Memiliki keluarga utuh, tapi begitu mengingat perbuatan Chris padanya, ditepisnya keinginan itu jauh-jauh. Apa yang ditorehkan Chris padanya, tak begitu saja dengan mudah dilupakannya. Dia hanya bisa menjalani kehidupan yang sudah terlanjur dijalaninya selama tujuh tahun ini. Berjuang bersama Jack, hanya untuk meraba masa depan yang dia sendiri tak tahu ke depannya akan seperti apa. “Jack, jangan nakal. Setelah selesai bekerja kita akan membeli burger kesukaanmu, ok?” tanya Audrey serasa berjongkok di hadapan Jack. Jack memeluk Audrey sangat erat. Pria kecil itu sangat mencintai Audrey, baginya Audrey adalah cinta pertama Jack. “Mama, aku mencintai mama. Sangat mencintai mama,” ucap Jack membuat kedua mata Audrey berkaca-kaca. Dia pun sangat mencintai Ja
Kakinya terasa berat menatap gedung tinggi di hadapannya. Dirinya seakan terlempar kembali pada kejadian tujuh tahun lalu. Dia ingin melangkah, tetapi sesuatu seperti menahan kedua kakinya untuk tetap membeku pada tempatnya. “Aku harus bisa. Demi Jack,” ujar Audrey berusaha menguatkan hatinya. Tetap saja rasanya sangat berat, tapi jika dia tak melakukannya sekarang, lalu kapan? Dia akan kehilangan Jack jika dia lebih mementingkan rasa sakit masa lalunya. Akhirnya Audrey menguatkan hatinya masuk ke dalam gedung besar itu, tempatnya bekerja dulu, di mana tragedi itu telah menghancurkan segalanya. Bagian informasi tak mengijinkannya masuk karena dia belum membuat temu janji dengan Christian. “Kumohon, ijinkan aku bertemu dengan Christian!” seru Audrey kesal. “Maaf, Nona. Kami tak bisa, Anda harus membuat janji terlebih dahulu.” “Anakku bisa mati jika aku harus menunggunya turun melewati jalan ini!” Tanpa pikir panjang Audrey memak
Christian memaksa Audrey ikut pergi bersamanya di satu mobil. Audrey tak bisa menolak, karena Christian dengan paksa menyeretnya masuk ke dalam mobil. Masih banyak hal yang membuat Chris penasaran padanya, dan dia memaksa Audrey satu mobil dengannya tak lain untuk menginterogasi Audrey. Audrey menjaga jarak dengan Chris, meski Chris beberapa kali menyuruhnya duduk untuk berdekatan dengannya, Audrey lebih memilih mepet di dekat pintu berjaga-jaga jika Chris melakukan sesuatu maka dengan mudah dia menghancurkan pintu jendela untuk berteriak. “Kau seperti ketakutan melihatku, apa aku pernah melakukan sesuatu yang buruk padamu?” tanya Chris melihat Audrey melipat kedua kakinya di depan dada, seperti orang yang ketakutan. Audrey tak mau melihat Chris, bayangan-bayangan itu kembali menyerangnya, tubuhnya dibalut ketakutan yang teramat sangat. “Hei, wanita! Kau mendadak bisu?!” bentak Chris, membuat Audrey semakin gemetar. “Tuan Chris, sejak kapan An
Dokter segera menghampiri Audrey. Wajahnya tersenyum, dia terlihat lega karena pada akhirnya Audrey kembali membawa seseorang yang bisa menyelamatkan nyawa Jack. Ketika Audrey selesai berbicara dengan dokter, Chris menarik lengan Audrey dengan kasar. “Apa kata dokter?” tanya Chris. “Kau akan dibawa ke instalasi transfusi darah, kuharap ini terakhir kali aku melihatmu,” ucap Audrey, kemudian menepis tangan Chris dari lengannya. Dia tak ingin Chris menyentuhnya. Mengingat perbuatannya saja, Audrey seperti sedang bermimpi buruk dalam keadaan terjaga. “Apa kau tak bisa katakan padaku, apa aku pernah berbuat sesuatu yang buruk padamu sehingga kau bisa mengandung anakku?” desak Christian. “Sudah kukatakan, tak perlu mengetahui apa pun. Tuan Chris, silakan ikuti dokter, dan pergi ke ruangan yang telah ditunjukkan. Anakmu membutuhkanmu. Sekali lagi aku berterima kasih karena kau bersediia menyelamatkan Jack.” Audrey mendorong dada Chris, dia t
Audrey segera mengurus surat pengunduran diri di yayasan tempatnya bekerja, sementara Jack masih berada di rumah sakit dan belum bisa dibawa pulang. Audrey berharap Christian masih belum melakukan sesuatu karena tak mungkin baginya untuk membawa Jack dalam keadaan belum membaik. Beruntung dari tempatnya bekerja, dia diberikan pesangon sehingga dia memiliki bekal cukup untuk menghidupi dirinya dan Jack selama beberapa saat sampai dia bisa mendapatkan pekerjaan baru. Audrey tak sanggup memikirkan, jika Chris sampai nekat memisahkan dirinya dan Jack. Saat ini saja dia bertahan hidup karena Jack yang selalu ada di sisinya, menguatkannya, dan menjadi tiang penopang harapannya. “Terima kasih, aku tak akan melupakan kalian,” ujar Audrey pada beberapa pengurus yayasan lainnya. Keputusan yang diambil Audrey memang sangat terburu-buru, membuat beberapa pekerja di yayasan merasa kehilangan Audrey. Meski perempuan itu selalu terlihat sedih, tapi Audrey adalah seseorang y
Audrey begitu bahagia karena selama beberapa hari ini dia akan terlepas dari pekerjaan-pekerjaan kantor yang begitu membebaninya. Perusahaan akan mengadakan gathering, semua divisi diharuskan ikut dalam acara itu. Christian—atasan sekaligus pemilik perusahaan—menyewa sebuah resort mewah dan puluhan kamar sekaligus untuk seluruh karyawan perusahaan. Dia sebagai kepala purchasing di kantor pun memiliki beberapa bawahan. Selama menjadi kepala purchasing dan bekerja dua tahun di sana, Audrey jarang berinteraksi langsung dengan Christian. Karena semua interaksi dilakukannya melalui asisten pribadi Christian—Lody. Tapi malam itu saat semua karyawan pulang lebih dulu, Audrey justru harus lembur mengerjakan beberapa sisa pekerjaan. Dia tak ingin menundanya karena besok acara gathering jadi dia ingin saat acara berlangsung dia tak perlu memikirkan urusan pekerjaan. Audrey memperhatikan jam di dinding, sudah hampir pukul delapan malam. Hanya tersisa dirinya di
Semenjak kejadian malam itu, Audrey memutuskan resign. Audrey mengakui segalanya di hadapan keluarga besar dan di depan kekasihnya. Bukannya membela, mereka justru menyalahkan Audrey. Akhirnya dia memutuskan dengan sisa tabungan yang ada, dia pergi dari dari Kota New York dan pindah ke sebuah kota kecil di Cooperstown. Dia bekerja di sebuah yayasan panti jompo di bagian administrasi, dengan gaji seadanya lalu menyewa sebuah ruangan bertipe studio sebagai tempat tinggalnya. “Audrey, kau kenapa? Wajahmu kelihatan pucat,” tanya seorang wanita tua yang menjadi rekan di tempat kerja barunya. Wanita tua itu adalah seorang kepala administrasi di tempatnya. “Aku mual, kepalaku pusing, Nyonya James.” “Mual?” “Setiap bangun pagi mualku lebih parah, aku tak tahan dengan bebauan.” “Jangan-jangan kau hamil, Sayang,” kata Nyonya James. Audrey menggigit bibir bawahnya sesaat dia teringat kejadian di malam itu, tiga bulan lalu saat Christian m
Audrey rasanya tak sanggup melihat wajah Kevin yang terlihat lesu. Lingkaran hitam di bawah matanya, belum lagi rambutnya sedikit lebih panjang dari sebelumnya, menandakan laki-laki itu tak lagi sempat mengurus dirinya. Berbeda dengan sebelumnya, wajah Kevin selalu ceria, dengan penampilan klimis, yang membuatnya terlihat memesona. Apakah karena hubungan keduanya menjadi berantakan, maka Kevin menjadi seperti itu? Apakah Audrey benar-benar membuat Kevin terpuruk? “Kevin, meski aku tak bisa berbohong jika jauh di lubuk hatiku kau masih memiliki cintaku. Tapi aku merasa aku tak akan pernah pantas bersamamu.” Kevin mendesah penuh putus asa, tak tahu lagi bagaimana membujuk Audrey untuk kembali padanya. Bukannya dia telah mengatakan dia menyesal? Kevin tak bisa memaksa. “Audrey, jika kau berubah pikiran kau tahu di mana harus menghubungiku. Sebulan, dua bulan, setahun, atau lebih aku masih akan menunggu. Aku telah membuat keputusan yang sa