Share

RUMAH EYANG
RUMAH EYANG
Author: KARTIKA DEKA

Bab 1

POV Rachel

"Ehhm, hausnya." Aku terjaga dari tidurku. Tiba-tiba rasa haus mendera.

"Mas, bangun. Temani ke dapur." Kuguncang oelan bahu suamiku, tapi dia tak mau bangun. Malah berbalik, jadi memunggungiku.

Tidurnya sangat lelap, apalagi dia baru saja melalui hari yang berat. Baru saja diberhentikan sepihak dari tempatnya bekerja, adalah hal yang sangat berat baginya. 

Lebih baik aku keluar sendiri untuk mengambil minum. Jam di dinding masih menunjukkan pukul 02.00 wib. Jam dimana banyak orang masih dibuai dalam mimpi mereka masing-masing. 

Perlahan sekali aku turun dari atas ranjangku, agar tak menimbulkan suara yang bisa mengganggu tidur suamiku. 

Membuka pintu kamar juga sangat hati-hati aku lakukan, sampai benar-benar tak menimbulkan suara. 

Dahiku mengernyit, saat melihat ada cahaya di dapur. Seperti cahaya yang berasal dari kulkas. Kalau malam, lampu dapur dan ruangan tengah dipadamkan, jadi akan terlihat jelas kalau ada cahaya dari dapur. 

"Hmm, pasti Ayah lupa tutup kulkas lagi. Ck, bakalan banjir deh." Aku berdecak, Ayah memang kerap lupa untuk menutup pintu kulkas .

Aku langkahkan kaki ke arah dapur, hal pertama yang akan aku lakukan, adalah menutup pintu kulkas.

Akan tetapi, semakin langkahku dekat, telingaku menangkap suara mengecap. Seperti orang yang sedang mengunyah sesuatu. 

"Siapa yang makan malam-malam? Apa Ayah?" gumamku, sangat pelan. Hingga hanya telingaku saja yang bisa menangkap suaraku. 

Aku semakin dekat ke dapur, tapi saat melihat apa yang ada di dapur, rasanya jantungku berhenti berdenyut. Mataku membulat besar, kala melihat ada seorang anak kecil perempuan sedang jongkok di depan kulkas yang terbuka pintunya. 

Aku menelan saliva, ada rasa takut, kalau itu bukan manusia. Tak ada orang lain di rumah ini, selain aku, ayah, dan mas Mondi. 

Walau takut, aku perlahan mendekat juga, meski langkahku kuseret dengan paksa.

"D–dek." Suaraku sedikit tercekat memanggilnya, sangat lirih. Aku tak bisa memungkiri rasa takut yang hadir di hatiku. 

Dia yang sedang mengunyah, seketika berhenti, tapi tetap pada posisinya yang berjongkok di depan kulkas. Aku terus mendekat, ingin tau siapa dia sebenarnya.

Tanganku terulur, untuk meraih bahunya. Bajunya tampak sangat lusuh kalau dilihat dengan jarak sedekat ini. Namun, belum lagi aku sempat memegang bahunya, dia berbalik, melihat tajam ke arahku. 

Seketika aku mundur beberapa langkah, hampir saja aku terjengkang, kalau saja tubuh belakangku tak menabrak kursi makan.

Aku sampai tak bisa berkata-kata melihat anak itu. Bola matanya hitam tanpa retina, dengan mulut belepotan darah yang berwarna gelap dari ikan tongkol yang dimakannya. Dia menyeringai, gigi-giginya nampak runcing semua, sungguh menakutkan. Rambut ikalnya berantakan, seperti sudah sangat lama tak disisir.

Aku mual melihatnya, perutku rasa diaduk-aduk hingga ingin muntah saja rasanya. Namun rasa mualku bisa dikalahkan dengan rasa takutku. Anak itu berdiri, lalu berjalan mendekatiku.

Ingin lari saja, tapi kakiku rasa dipaku. Mulutku hanya bisa menganga, padahal ingin memanggil Mas Mondi. 

Anak itu terus berjalan mendekatiku, tiba-tiba, ada suara gemeretak. Leher anak itu tiba-tiba terkulai, seperti patah, tapi tak sampai terlepas. Aku ingin menjerit, tapi suaraku tak mau keluar. Tubuhku terasa lemas sekali. 

Mataku mulai berair saking takutnya. Ya Allah, makhluk apa ini? 

Kini, kakinya yang tadi berjalan tegak, juga tampak patah. Hingga tulang dengkulnya keluar, aku semakin gemetar ketakutan. Meski terseok, dia terus berjalan mendekatiku. Aku semakin lemas, tulangku terasa lolos semua dari tubuhku. 

Semakin dekat, dan terus mendekat. Hingga saat tangannya ingin menyentuh wajahku, tiba-tiba tangan itu juga patah. 

"MAS! Hos hos hos." Akhirnya aku bisa teriak setelah mengumpulkan banyak tenaga. 

Nafasku tersengal, dadaku bergerak naik turun dengan cepat. Tubuhku terasa panas, karena keringat mulai mengucur dari pucuk kepalaku. 

"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Mas Mondi yang ada di sebelahku. Tangannya sigap menyeka keringat di dahiku.

Melihat Mas Mondi, aku langsung memeluknya sangat erat. Aku masih bisa merasakan ketakutan itu, tubuhku bergetar hebat. Syukurlah, tadi itu hanya sekedar mimpi. Mimpi yang sangat buruk.

~~~~~~~~

"Hel, kalian lebih baik tinggal di rumah Eyang. Kasihan Eyang, cuma ditemani Bik Lasmi. Nantinya, Eyang juga mewariskan rumah itu buat kamu," kata Ayah.

Kami tengah berkumpul di ruang keluarga. Rasanya berat sekali jauh dari Ayah sekarang. Apalagi aku tengah hamil. Kalau aku pergi, Ayah akan tinggal sendiri. 

Namun, tak ada pilihan lain. Mas Mondi baru saja terkena PHK di perusahaan tempatnya bekerja. Imbas dari wabah covid yang melanda Indonesia, perusahaan tempatnya bekerja akhirnya bangkrut. 

Sementara Ayah, masih bertahan tinggal di kontrakan ini, karena memang Ayah masih betah bekerja di pabrik tempatnya bekerja. Ayah sudah lama bekerja menjadi security di pabrik itu, dan tinggal menunggu waktu pensiun saja. Sayang, tunjangan pensiunnya kalau ditinggal, katanya. 

Ibuku sudah tiada sejak aku kecil. Ibu adalah anak tunggal dari Eyang, yang baru aku tau setahun belakangan ini. 

Kata Ayah, dulunya Ayah dan Ibu juga tinggal bersama dengan Eyang di Medan. Namun, sejak ibu meninggal, Ayah kembali ke Jakarta, dengan membawaku. Ayah merasa tak pantas tinggal bersama Eyang, karena hanya sebagai anak mantu saja. Apa kata orang nanti?

Namun, ada hal yang membuatku aneh, kenapa Eyang tak pernah berkunjung ke Jakarta, atau Ayah yang mengajakku datang ke Medan menjenguk Eyang? 

Bahkan, aku baru tau kalau aku masih punya Eyang kandung dari pihak ibuku, setelah datang surat dari Eyang yang meminta Ayah membawaku pulang ke Medan.  

Di surat itu dijelaskan, kalau Eyang sudah sakit-sakitan sekarang. Bahkan sudah tak bisa lagi berjalan. Dia berharap aku mau tinggal bersamanya, dan menetap di Medan. 

Eyang memiliki kebun sawit yang luas di Medan. Aneh bukan? Sementara kami hidup dalam serba keterbatasan. Padahal aku cucu tunggalnya. Kalau hubungan Ayah dan Eyang sangat baik, kenapa Eyang tak membantu Ayah? Malah membiarkan Ayah bekerja menjadi security sekian lama. 

Sejak aku menikah dengan Mas Mondi, taraf hidup kami lumayan meningkat. Sayang, Mas Mondi justru di PHK. Padahal kami sedang butuh uang untuk biaya aku melahirkan nanti. 

Tadinya aku juga bekerja menjadi SPG di sebuah pusat perbelanjaan, tapi sejak menikah satu tahun yang lalu, Mas Mondi melarang aku untuk bekerja lagi. 

"Kamu mau Mas, kalau kita tinggal di Medan?" tanyaku pada Mas Mondi yang duduk di sebelahku. 

"Ya boleh saja. Siapa tau, keadaan akan membaik kalau kita di sana," kata Mas Mondi.

"Papa sama Mama, apa mengizinkan?" tanyaku. 

Aku khawatir, mertuaku tak mengizinkan kami ke Medan. Mas Mondi sama sepertiku, anak tunggal juga. 

Dulu, katanya kehidupan mertuaku cukup baik. Mereka memiliki sebuah toko pakaian yang terbilang besar di Tanah Abang. Akan tetapi, peristiwa kebakaran beberapa tahun lalu membuat mertuaku kehilangan hampir seluruh asetnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status