Part 18Aku tersenyum senang tatkala melihat status Ambar. Akhirnya, guru honor yang selalu dihina ini bisa membuat yang mulia dan yang terhormat Ambar meradang.Rezeki malam ini ditutup dengan pesan dari Bu Yuli yang mengatakan ingin ikut menjual baju-baju.“Kamu masih marah?” tanya Mas Rizal.“Tidak, Mas. Aku hanya merasa minder dan rendah diri. Aku malu, sebagai istri tidak bisa dibanggakan. Bisanya hanya bikin aib saja,” jawabku sambil menutup tubuh dengan selimut.***Sela masih saja diam kala melihatku. Dia belum menunjukkan tanda-tanda akan memberikan hak yang masih ditahannya. Apalagi sekarang Ambar pasti sudah memberitahu tentang bisnis yang disaingi.“Belum dikasih juga?” tanya Mbak Asih saat kami berdua di kantor.“Belum.”“Kamu tunjukkan saja rekaman yang waktu ketemu sama istrinya. Biar tidak salah paham terus,” saran Mbak Asih.“Biarkan saja, Mbak. Aku akan menunggu sampai dia berniat memberikan hakku. Kalau aku menunjukkan rekaman itu sekarang, aku tidak mau dikira mend
Part 19 POV AUTHOR "Jadi bendahara sekarang kok berat sekali ya? Banyak laporan ini itu yang harus dikerjakan," gerutu Ambar sambil meletakkan bolpoin dengan kasar di atas meja. Ia sedang menulis nota untuk pembuatan laporan. "Ya memang berat. Kalau gak sanggup, kamu main HP saja. Biar aku yang kerjakan semua," jawab Sela sambil tersenyum. "Mas, kamu jujur dengan guru-guru masalah keuangan sekolah?" tanya Ambar. "Iya. Aku selalu membuat laporan keuangan yang kotor buat mereka." "Kalau ada uang sisa atau kembalian apa gitu, gimana?" "Ya aku kasih ke Asih. Dia yang pegang uang tabungan." "Semua dikasih? Terus kamu dapat apa?" "Dapat honor bendahara tiap bulan, kan ada. Terus dapat cashback dari belanja barang-barang yang besar. Biasanya itu aku gunakan buat transport sama ganti pulsa." "Alah, kamu kok mau sih, Mas, diperbudak gitu? Enakan mereka dong, dapat uang, dapat THR seenaknya," sahut Ambar. "Aku sudah dapat bayaran." "Bayarannya tidak setimpal dengan pusingnya, Mas. Ke
Part 20Ambar berjualan aneka kerupuk pedas. Diah akan memproduksi lebih dulu. Itu yang dia pikirkan. Sudah terlanjur basah, maka harus mandi sekalian. Tekad Diah dalam hati.“Kakak, kamu ajak Nazmi ke rumah Mbah Putri ya?” kata Diah setelah puas menyindir Ambar lewat status.“Ibu mau kemana?” tanya Meida.“Ibu mau belanja. Ada bisnis baru biar Ibu cepat jadi orang kaya,” jawab Diah sambil tersenyum.Meida bergeming. Alih-alih menuruti perintah ibunya, Meida malah memperhatikan Diah yang lalu lalang memakai jilbab, mengambil tas dan memasukkan dompet ke dalamnya.“Kenapa, Kak? Kok belum ajak Nazmi? Oh baiklah, nanti Ibu antar sekalian pergi,” tanya Diah yang dijawab oleh dirinya sendiri.“Ibu, apa Ibu mau berdagang biar cepat kaya biar tidak dihina Bu Ambar terus?” tanya Meida.Diah berhenti dan mendekati Meida. “Tidak. Ibu berdagang supaya Kakak bisa jajan banyak,” jawab Diah. Tangannya mengusap kepala Meida.Ia sangat sedih karena hinaan terhadap dirinya ternyata membekas pula di ha
Part 21“Kita harus menyiapkan cara lain kalau sampai teman-teman sekolahku tahu tentang penyelewengan dana ini,” kata Sela. “Mereka sudah mulai curiga,” lanjutnya lagi.“Alah, bisa apa sih mereka, Mas? Satu kecamatan bahkan di tingkat kabupaten sudah tahu, kamu adalah bendahara terbaik. Laporan yang kamu buat selalu menjadi percontohan untuk teman-teman yang lain. Satu kecamatan cuma kamu yang bisa mengerjakan laporan dengan begitu baik. Lalu, mau pilih siapa coba? Coba guru-guru sana, adakah yang sekiranya bisa membuat laporan? Tidak ada sepertinya, Mas. Pak Darma sudah tua. Pak Ali, katanya sudah punya tugas lain. Bu Santi gaptek. Mbak Asih juga gaptek. Lagipula dia hanya guru honorer yang tidak memenuhi syarat sebagai bendahara. Diah juga bukan PNS. Siapa lagi guru lainnya yang bisa? Tidak ada.”“Hanya ada satu orang yang berpotensi bisa. Dia adalah Diah. Diah itu cerdas. Dia bisa menguasai sesuatu hal hanya dalam waktu yang sebentar. Semoga saja Diah tidak sampai menjadi PNS di s
Part 22Dua minggu sudah Diah menjalani bisnis berjualan baju juga cemilan yang berasal dari aneka keripik dan juga kerupuk. Bisnis kecil yang cukup menguntungkan dia yang tinggal di desa. Kini, ia tidak peduli lagi dengan gaji yang belum diberikan oleh Sela.Mau mengadu? Ia paham bagaimana karakter kepala sekolahnya yang terlalu baik. Baik yang sudah kelewatan. Jika ia melaporkan hal itu, yang terjadi adalah kepala sekolah tersebut memberikan gaji padanya dari uang pribadi."Iya sih, bener juga. Pak Tri pasti akan berkorban pakai uangnya sendiri. Pria itu suka dengan kedamaian. Tidak mau menegur tidak mau mengkritik, pilih jalur aman rogoh kocek pribadi." Mbak Asih berpikiran sama saat aku membicarakan hal ini dengannya."Terus kamu mau membiarkan saja mereka mendzalimi kamu?""Untuk apa aku minta uang itu? Meski hakku, tapi mereka sudah sangat membenciku. Ambar bahkan selalu berusaha menyakiti hatiku dengan berbagai cara. Jika aku meminta uang itu, harga diriku akan semakin diinjak-
Part 23Emosi Ambar tambah memuncak kala sampai di rumah melihat tumpukan aneka cemilan yang tidak laku karena kalah start dari Ambar.Catur yang sedang menyuapi Gendis tidak memandang sang istri. Ia kini ikut berubah dingin sejak tahu istrinya dekat dengan lelaki lain. “Ndis maem, nanti mandi, terus bobok siang ya?” katanya.“Jadi habis Dhuhur gini, Gendis belum mandi, Mas?” bentak Ambar.Catur tidak menjawab. Percuma berdebat dengan Ambar, ia tetap kalah. Sebaik apapun jika sudah benci, maka yang terlihat hanya keburukan saja.“Mas. Kenapa tidak jawab pertanyaanku?” bentak Ambar lagi.“Gendis mau mandi jam berapapun, itu bukan urusan kamu. Yang penting kamu bahagia, di luar bisa bersama laki-laki lain. Pulang sudah tersedia semuanya dan tidak perlu repot. Kalau sedang tidak baik-baik saja, aku dimarahi habis-habisan. Sudah, selesai. Enak ‘kan, meskipun aku ini lelaki rendahan tapi masih bermanfaat untuk dijadikan pelampiasan kamu. Gendis pasti akan aman bersamaku. Kamu pikirkan saja
Part 24Diah mengambil ponsel dan menelpon Sari di hadapan Rizal.“Halo, Assalamualaikum, Bu. Maaf, suami saya memarahi saya habis-habisan dan memaki saya banyak hal sampai saya menangis,” katanya berbohong sambil melotot galak pada suami yang duduk di kursi dengan posisi mematung.“Lhoh, memangnya kenapa sampai dimarahi seperti itu?” tanya Sari pura-pura tidak tahu.“Bu, Bu Sari bilang kalau saya yang melapor ke pengawas? Bu, saya ini orang rendahan. Mana ada saya kenal sama orang besar seperti teman-teman Bu Sari? Bu Sari sudah memfitnah dan membuat saya dimarahi suami saya. Besok saya akan mengatakan hal ini pada pengawas. Dan Bu Sari tahu tidak? Memfitnah orang bisa dipenjara. Ada pasal pencemaran nama baik di sana. Bu Sari mau saya melakukan itu?” kata Diah berapi api.Tangan Sari bergetar memegang ponsel. Ia gugup dan takut serta bingung juga hendak menjawab apa.“Aku itu tadi cuma bilang, apa benar istrimu mengadu ke pengawas,” jawab Sari yang duduk di kursi sambil gemetaran.“
Part 25Sela tanpa kedip melihat deretan pesan yang dikirim istrinya pada Diah. Ia sampai berkali-kali memperbesar layar ponsel. Hatinya merasa panas dengan apa yang terjadi di belakang. Entah pada siapa ia ingin mengungkapkan semua kekesalannya.Diah? Tidak mungkin, karena ia sudah mati kutu di hadapan wanita yang beberapa bulan ini telah dianggap sebagai rivalnya.Meski nama yang disebut dalam pesan itu telah ditutup, tetap saja Sela merasa geram karena hubungannya dengan Ambar ada yang mengusik.Dikondisikan keadaan rumah tangganya ya! Nyeleweng boleh, tapi tidak melibatkan orang lain. Apalagi sampai membuat masalah dengan orang yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali.Sela kembali membaca status yang Diah tulis. Ia merasa jika wanita itu telah memulai mengibarkan bendera perang yang sebenarnya. Antara takut, cemas dan malu dirasa Sela.Ia jadi teringat betapa telah mendzalimi guru honorer itu dengan menahan gajinya. Sekarang tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap terhadap Dia