"Kamu nggak pa-pa?"
Sebuah suara menyapaku. Aku yang berjongkok dengan kepala menunduk penuh rasa takut pelan mengangkat wajah. Wajah seorang pria dengan alis tebal, serta hidung yang mencuat tampak begitu dekat denganku. Aku pikir dia malaikat yang akan menjemputku, mungkin saja tubuhku sudah terpental jauh dan terguling. Sementara nyawaku masih tetap tertahan di lokasi kejadian.Namun, wajah malaikat itu terasa tak asing buatku. Sorot matanya yang teduh dan bibirnya yang penuh sama persis dengan seseorang yang sering aku stalking akun Instagramnya. Aku tidak salah lihat atau sedang berhalusinasi kan? Masa wajah di hadapanku yang saat ini tengah mengerjap mirip Tama?"Ap-apa gue masih hidup?" tanyaku setengah sadar."Ya, lo masih hidup."Aku cukup terkejut mendengar suara itu lagi. Dia menjawab, aku tidak sedang berdelusi. Pandanganku bergeser ke depan mobil yang hampir menabrakku. Ternyata posisinya masih jauh dari tempatku. Aku benar-benar masih hidup. Saat menengok kaki sendiri yang masih menapak di bumi aku makin yakin masih ada di alam dunia. Spontan aku membuang napas lega. Namun.... Pria di hadapanku ini?Aku kembali menoleh padanya. Memastikannya bukan Tama. Tapi gagal, wajah itu tetap milik Tama. Sama persis dengan foto-foto yang sering pria itu unggah di akun sosial media."Lo...""Wina! Halo! Lo baik-baik aja?! Wina, ada apa?! Jangan bikin gue cemas!"Aku sontak melirik ponsel yang aku genggam. Ah, Danar. Aku lupa sedang teleponan dengannya. Kedatangan mobil dari arah tak terduga membuatku syok sehingga melupakannya. Refleks aku kembali mendekatkan ponsel ke telinga."Halo, Danar. Gue baik-baik aja," ujarku memberitahunya agar dia tidak khawatir. Lalu tatapku beranjak ke pria tampan yang masih menungguiku."Sepertinya kita pernah ketemu, tapi di mana ya?" tanya pria itu menatapku dengan mata menyipit.Aku beranjak berdiri. "Sori, gue harus pergi," ucapku terburu dan segera kabur, setengah berlari menuju gedung apartemen tanpa peduli dengannya lagi."Lo yakin? Tadi kenapa lo teriak?" tanya Danar dengan nada yang terdengar cemas."Tadi gue hampir tertabrak. Untungnya selamat.""Lo serius?! Tapi lo beneran nggak apa-apa kan? Lo pasti belum makan. Giko nggak ngajak lo makan?"Pintu otomatis lobi terbuka dan aku segera masuk. Aku bersyukur memiliki sahabat yang peduli seperti mereka. Cuma dua tapi bisa diandalkan dalam situasi apa pun. Mungkin karena itu juga aku merasa baik-baik saja meskipun tidak memiliki pacar."Gue tadi sama Giko makan es krim kok," sahutku melangkah menuju lift."Gue mampir ke apartemen lo."Setelahnya sambungan kami terputus. Aku mengangkat bahu dan masuk lift. Aku tidak kaget. Danar akan selalu melengkapi hal yang tidak Giko lakukan padaku. Itu sesuatu yang biasa. Sikap dewasa lelaki itu dan sikap konyol Giko satu sama lain saling melengkapi. Mereka berdua seperti sedang bergotong-royong untuk melindungiku.Aku kembali ingat kejadian barusan yang hampir saja membuatku mati. Namun pemilik kendaraan cukup cekatan, sehingga tidak membiarkan mobilnya berhasil melindasku. Aku sangat mengenali wajah itu dan aku sangat yakin dia Tama. Tapi dengan bodohnya aku lari terbirit-birit ketika dia sepertinya mulai sadar mengenaliku.Tama ada di Jakarta. Setahu aku, lewat profil instagramnya dia tinggal di Surabaya. Jika dia berada di sini, kemungkinan besar Tama akan datang ke reuni itu. Perasaan senang tiba-tiba membuncah. Lalu kesal sendiri dengan tindakanku yang baru saja kabur dari pria itu."Harusnya aku menyapanya. Mengingatkannya bahwa kami pernah satu sekolah bukan malah kabur begini. Dasar Wina bego." Aku memukul kepala dan terpekik sendiri karena ternyata sakit.Aku menjatuhkan diri ke sofa begitu memasuki unit. Gaun yang tadi aku beli aku simpan di atas meja. Kembali aku menghidupkan layar ponsel dan membuka akun I*******m. Mungkin saja ada reels atau story yang aku lewatkan. Aku juga baru ingat di butik tadi sempat melihat sekelebatan sosok Tama. Dan setelah kejadian tadi aku bisa memastikan penglihatanku memang baik-baik saja. Aku tidak salah orang. Itu mungkin benar-benar dia. Namun, masalahnya kenapa Tama ada di area apartemenku?Seharusnya aku bertanya. Bukan malah kabur. Tapi, yang tadi aku beneran belum siap untuk menyapanya. Masih terlalu syok lantaran tidak ada persiapan apa pun. Beda dengan reuni nanti. Semoga Tama melupakan kejadian malam ini.Postingan Tama diunggah dua hari lalu ketika dia sedang memimpin sebuah meeting. Setelahnya tidak ada postingan apa pun. Bahkan line story-nya tidak menyala.Aku baru keluar dari kamar mandi ketika mendengar suara bel. Bahkan aku masih membungkus rambutku dengan handuk. Menyeret kaki, aku keluar dari kamar dan membuka pintu untuk tamu yang sudah bisa aku pastikan Danar.Punggung lebar Danar langsung terlihat begitu aku membuka pintu. Lelaki itu kontan berbalik dan menunjukkan kantong yang dia bawa."Gue bawa nasi goreng," ujarnya masuk begitu saja, melewatiku tanpa permisi. Dia sudah menganggap unitku seperti rumahnya sendiri. Jadi, dia merasa aman-aman saja. Tapi, jika sudah menikah nanti nggak akan aku biarkan dua laki-laki itu seenaknya keluar masuk unit.Aku bergerak menuju sofa dan membuka gulungan handuk di atas kepalaku. Sementara Danar berada di pantri untuk mengambil piring dan sendok."Lo beneran langsung ke sini? Nggak pulang dulu?" tanyaku. Dari kemeja yang dia kenakan aku bisa tahu langsung ke sini. Pertanyaanku tadi cuma basa-basi saja."Kalau pulang terus ke sini lagi, itu wasting time banget. Mending sekalian jalan," sahutnya menaruh piring di atas meja lantas mulai mengeluarkan isi kantong bawaannya.Bau wangi nasi goreng hangat menusuk hidungku. Aku sangat hapal wangi ini. "Ini nasgor yang ada di depan kantor ya?"Danar mengangguk. "Langganan lo."Aku terkekeh. Biasanya kalau kami bertiga lembur, pulangnya kami akan mampir ke warung nasgor Mas Jawir. Ya, itu nama warung yang ada di banner tendanya. Mas Jawir sendiri nama pemilik warung tersebut."Mas Jawir nanyain lo. Makanya punya lo dikasih ekstra telur ceplok," ujar Danar seraya membuka bungkus nasi gorengku dan menaruhnya di atas piring."Asik!" seruku sembari menggosok-gosok tangan. Aku baru akan mencomot irisan mentimun ketika tangan Danar dengan cekatan menabok tanganku.Matanya mendelik. "Cuci tangan dulu gih.""Tangan gue bersih ya. Gue baru mandi," dengusku menunjukkan dua telapak tangan ke depan muka lelaki berambut cepak itu. "rambut gue aja masih basah.""Iya, iya. Gulung lagi rambut lo kalau gitu. Jangan sampai lo makan nasi goreng campur tetesan air dari rambut lo.""Rambut gue udah kering kok." dengan sengaja aku mengibaskan rambut. Mengharap Danar akan marah-marah seperti yang kerap Giko lakukan saat aku membuatnya kesal. Namun, ternyata dia tidak mengatakan apa pun selain mendesah dan menggeleng."Sudah, ini makan. Habiskan biar nggak oleng lagi." Danar mendorong piring nasi gorengku mendekat. Manusia satu ini sama sekali tidak ekspresif. Dari dulu sampai sekarang aku dan Giko kesulitan memberinya kejutan. Kami selalu gagal lantaran yang kami lakukan tidak membuatnya terkejut sama sekali.Author note's : jangan lupa ramaikan lapak ini ya, Gaes.Aku mematut diri di depan cermin beberapa kali. Kadang berputar, kadang condong ke depan. Memastikan penampilanku hari ini tidak terlihat aneh. Waktu mengepas di butik sih Giko bilang gaun ini cocok buatku. Tapi tetap saja aku merasa nggak percaya diri. Sekarang aku memusatkan ke riasan wajah. "Aku nggak terlalu menor kan?" gumamku pada pantulan diri di dalam cermin. Aku sengaja memilih make-up dengan warna nude agar terlihat natural. Inginnya sih tanpa make up, sayangnya aku nggak memiliki kecantikan alami yang bisa dibanggakan. Wajahku gampang kering dan itu sangat mengganggu. Aku akan selalu membawa face mist ke mana-mana. Telunjukku bergerak menyingkirkan poniku yang sedikit menjuntai. Aku belum sempat merapikannya, padahal Giko kerap mengingatkan aku. Dia risih setiap kali melihatku membenarkan poniku yang kerap kali mengganggu aktivitasku. Sampai-sampai dia gemas sendiri dan membelikanku penjepit rambut mini. Kali ini aku enggak akan membiarkan poniku menjadi masalah di reuni
Oke, kita mulai up lagi, yak. Jangan lupa sebar komen ya hehe sebelum baca. ***"Lo nggak bilang kalau yang hampir nabrak lo Tama?" Danar di sampingku berbisik. "Gue nggak ngeh itu dia. Kejadiannya malam gue nggak bisa lihat dengan jelas. Mana gue tau kalau itu dia," balasku berbisik juga. Saat ini kami sedang berada di meja nomor sepuluh. Ya, kami satu meja bersama Tama berkat kedua laki-laki yang datang bersamaku ini. Tatapku beralih kepada Tama yang saat ini sedang asyik mengobrol dengan Giko. Keduanya dulu sama-sama anggota inti OSIS dan juga satu ekskul. Bahkan keduanya pernah mewakili paskib di tingkat provinsi. Jadi, sangat wajar jika pertemuan keduanya terlihat renyah. Di meja lain aku melihat Sintia, wanita yang sudah dari jamannya sekolah selalu bersama Tama. Aku iri padanya. Seandainya bisa, aku mau bertukar posisi dengannya. "Teman-teman sekelas kita mana ya?" tanya Danar entah kepada siapa, kepalanya celingukan. Ya, selain Danar dan Giko aku tidak menemukan teman
Aku up Reuni lagi, yak! Jangan lelah menunggu pokoknya, bakar aja kalau mau cepet update. Pembaca senang, penulis pun riang. Wkwk. Happy reading jangan lupa vote, Gaes.ᕙ( ͡◉ ͜ ʖ ͡◉)ᕗ"Gue minta maaf buat malam itu. Gue hampir ngenalin lo, tapi lo keburu pergi." Aku ingin kabur, tapi kali ini kakiku tetap menjejak. Aku heran dengan pikiranku. Bukankah ini yang aku ingin? Bertemu Tama di reunian. Harusnya aku senang dan mengajak dia ngobrol. Bukan malah mati kutu dan nggak berkutik begini? "Nggak apa-apa," aku menggeleng. Nyatanya aku kesulitan menggerakkan lidah yang mendadak kelu di depan Tama. Aku bersyukur karena penjaga stand bakso segera memberiku mangkok bakso yang kupesan. "Gue ke sana dulu ya." "Nggak makan bareng aja?" tanya dia, lalu pandangannya memindai ballroom yang lumayan ramai ini. "Tuh, ada tempat kosong kita bisa ke sana dan mengobrol." Aku mengerjap. Sama sekali tidak menduga Tama akan mengajakku makan bersama. Tatapku lalu mencari sosok Sintia di meja nomor s
"Lo sama Arin meeting ke tempat klien bisa enggak, Win?" Aku mendongak dan melihat Danar sudah berdiri di depan kubikelku. Sebenarnya aku malas bertemu klien, lalu mempersuasi agar mau bekerja sama dengan kami. Itu kan tugas Danar sebagai manajer. Lelaki itu menatapku, dengan sorot yang bisa aku artikan 'please, jangan tolak permintaanku', menyebalkan. "Emang lo mau ke mana?" tanyaku kembali memelototi layar laptop. "Gue ada seminar di Bogor. Siang ini juga harus berangkat," ujarnya sembari melirik pergelangan tangannya. "Tinggal datang aja sih, nanti juga perusahaan mereka tahu kalau lo memperkenalkan diri. Gue udah buat janji kok." "Tanya aja sama Arin," aku menunjuk Arin yang sedang berjalan ke arah kami. Dia habis dari mesin fotokopi yang ada di koridor. "Eh, ada Pak Danar. Kenapa, Pak?" tanya Arin begitu sampai. Wanita rambut sebahu itu lantas masuk ke kubikel. "Habis makan siang ketemu sama klien ya. Eh bukan klien sih, masih calon," ujar Danar. Aku harap Arin menolak. "
Aku memeluk tas laptop, masih berdiri nggak jauh dari posisinya. Yudhistira Pratama tersenyum memandangku. Senyum yang masih sama seperti dulu ketika aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Dan hanya dengan satu ulasan itu dadaku berdegup tak karuan. Aku makin erat memeluk tas laptop sembari membalas senyum kikuk. Dia nggak menggunakan kata "lo" ketika menyebutku, tapi "kamu". Sekarang dia klien perusahaanku, aku juga tak mungkin berlo-gue dengannya. "Apa kabar ... Pak Tama?" tanyaku setenang mungkin. Kami hanya berdua di ruangan ini dan tentu saja aku nggak akan membiarkan diriku sendiri bertingkah konyol di pertemuan yang ke .... tiga? Tama terkekeh pelan. Sudut matanya berkerut, tapi itu sama sekali nggak mengurangi ketampanannya. Diam-diam aku menarik napas dan mengembuskannya pelan. Detak jantungku yang menggila benar-benar menyebalkan. Padahal aku sudah berniat melupakannya setelah reuni itu, tapi takdir malah mempertemukan kami kembali. Aku bisa apa? "Aku baik." Aku? Al
Meski sepi kayak kuburan, tetep aku update-nya. Aku sayang cerita ini soalnya. (人 •͈ᴗ•͈)"Kalian berhasil menggaet klien?" tanya Danar saat dia meneleponku. Aku baru saja turun dari bus trans Jakarta dan berjalan menuju apartemen. "Lo tau kalau klien kita itu perusahaan tempat Tama kerja?" tanyaku balik, tanpa menjawab lebih dulu petanyaannya. Aku berhenti berjalan dan menunggu lampu merah menyala. "Tau. Kan gue yang nawarin kerjasama pas kemarin di acara reuni. Jadi, kemarin itu follow up tawaran gue." Sudah kuduga. Tahu begini aku–"Dan lo tau pasti bakal dapat kontraknya, kan?" "Oh, kalau itu belum tentu makanya aku kirim kalian. Pas itu Tama bilang mau lihat dulu proposal tawaran kerjasamanya." Syukurlah, itu artinya usaha Arin nggak sia-sia membuat percaya calon klien. "Lo masih di Bogor?" Aku mendongak ketika lampu merah menyala. Lalu kembali berjalan dengan pejalan kaki lainnya untuk menyeberang."Masih, tapi kayaknya sebentar lagi selesai. Gue pulang malam kayaknya."
Ini hal gila yang aku lakukan. Mengizinkan Tama masuk ke unit. Entah apa yang aku pikirkan ketika membolehkannya datang dan menerima ajakan makan malam masakan ibunya. Aku tahu ini salah. Tapi biarkan aku bahagia sejenak. Nggak masalah kan? Setelah ini aku akan menjauh, menciptakan jarak agar bisa membatasi rasa sukaku padanya. Aku sempat lintang pukang setelah menerima telepon dari Tama. Mendadak aku ingin terlihat mengesankan, meski berada di rumah. Lalu aku pilih midi dress sepanjang lutut bergambar dora emon super big, disambung dengan celana legging tiga perempat. Aku merasa ini adalah penampilan terbaikku saat ada di rumah. Santai, tapi nggak berantakan. Aku nggak memakai chussion seperti saat ke kantor, bedak dingin dan olesan lip blam menjadi pilihan alternatif tampil cantik ala-ala gadis rumahan. Jantungku seakan lolos dari rongganya ketika mendengar bunyi bel pintu. Aku menarik dan mengembuskan napas beberapa kali untuk menetralisir degup jantung yang menggila sebelum aku
Aku merasa sudah bisa menguasai diri setelah makan malam. Meski Tama yang sering bercerita, tapi aku bisa merespons dengan kalimat panjang. Aku berhasil memecah kecanggungan dalam diriku sendiri. Mungkin karena sikap luwes Tama yang dominan. Sehingga membuatku nyaman. Meskipun tetap saja ada batasan yang harus aku jaga. Aku nggak mungkin memperlakukan Tama seperti aku memperlakukan Giko dan Danar, kan? "Kasih tips dong kenapa persahabatan kalian bisa awet," ujar Tama saat kami menutup kegiatan makan malam dengan sepotong buah apel. "Kasih formalin." Tama tertawa mendengar jawabanku. "Memangnya mayat? Ada-ada aja kamu. Tapi aku bisa menduga sesuatu sih." Dia menatapku sejenak mengambil potongan buah apel yang aku simpan di sebuah wadah. "Apa?" "Kamu sahabat yang asyik makanya kalian bisa awet." Aku melengkungkan bibir ke bawah. Dugaannya salah besar. Aku nggak seasyik yang dia pikir. Kata Giko aku cewek paling menyebalkan. Meski Danar nggak bilang aku yakin dia juga berpikiran ya