Aku memutar di depan cermin. Setengah berlenggok dan menelengkan kepala untuk memperhatikan pantulan diri sendiri yang tampak beda dengan balutan gaun yang memeluk erat tubuhku itu. Dulu aku memiliki tubuh mungil. Namun, berkat olahraga renang yang aku ikuti semasa remaja, tubuhku menjadi lebih tinggi. Aku merasa puas dengan keadaan diriku sekarang. Meski nggak cantik-cantik banget, aku terbilang manis sebagai seorang wanita. Eits, ini bukan aku loh yang bilang. Yoga mantan pacarku yang pernah dibuat bonyok oleh Giko yang bilang.
Tone kulitku tidak terlalu putih, tapi juga tidak bisa disebut cokelat. Entah ini jenis warna kulit apa, kuning? Ya, orang bilang kuning langsat."Wuidih! Tuan Putri kayaknya udah siap datang ke acara reuni nih."Aku menoleh ketika suara Giko terdengar. Sontak aku memamerkan diri dan berputar di hadapannya. "Cocok enggak, sih gue pake warna putih? Gue nggak pede sama warna kulit," tanyakuku melirik lenganku yang terbuka."Cocok, kok. Lo kan emang selalu cocok pake apa pun. Lo aja yang nggak terlalu pede. Gue jadi pasangan lo aja kali, ya buat datang ke reuni nanti.""Enggak!" Aku kembali menghadap cermin. Datang sebagai pasangan playboy artinya mematikan pasaran diri sendiri."Kenapa?" tanya Giko dengan alis tertaut. "Gue ganteng, nggak bakal malu-maluin lo," ujarnya mendekat lalu berdiri di belakangku sembari melihat ke cermin. Telunjuknya menunjuk pantulan kami di dalam cermin. "Lihat, cocok banget, kan?""Mana ada. Nggak usah ngadi-ngadi. Bawa aja Bu Rina." Aku menyikut perutnya.Alasanku datang itu Tama. Apa kata dia kalau aku datang membawa gandengan? Apalagi yang jadi gandenganku Giko. Oh, aku nggak suka dijadiin bahan olok-olok nanti.Giko mendesah. "Gue nggak mau bawa teman kencan. Pasti ribet. Mending bawa lo."Manusia paling aneh sejagat ini benar-benar nggak mau dirugikan. "Bilang aja lo mau caper dan cari mangsa baru di reuni nanti, kan?""Kagak. Paling juga yang single cuma lo doang. Ngapain gue caper sama lo?""Sialan. Ada banyak kok yang masih single. Lo ngomong seolah-olah gue jomblo paling ngenes sedunia sampe-sampe rela jadi gandengan playboy cap ayam jago kayak lo. Idih, sori ya." Aku melengos lalu kembali fokus pada penampilanku."Gue, kan bermaksud buat nyelametin lo dari kejulidan kaum nyinyir nanti. Udah suuzon aja sih, huh!" Tangannya yang jail itu mengacak rambutku."Giko! Ih! Gue baru creambath!" teriakku kesal, tanpa peduli tatapan pengunjung lain. Dasar tangan nggak punya adab.Danar akhir-akhir ini sibuk. Jarang sekali pulang sore. Yang masih gemar pulang sore cuma si playboy itu. Jadi, terpaksa aku mengajaknya. Ini juga sebenarnya ajaib. Biasanya Giko paling tidak suka menemaniku belanja. Mungkin dia sudah mulai bosan sama Bu Rina makanya saat aku iseng mengajaknya ke butik dia oke-oke saja.Selesai dari butik, kami makan es krim yang didapat dari salah satu outlet. Kami makan es krim sembari berhaha-hihi di salah satu bangku panjang mal. Saat itulah tanpa sengaja mataku menangkap sosok familier dari arah berlawanan."Gi, itu Siska kan mantan lo?" tanyaku menepuk-nepuk lengan Giko sembari terus memelototi salah satu mantan Giko yang kebetulan berada di mal ini.Giko yang sedang menjilati es krimnya menoleh, dan mengikuti arah pandangku. "Mana?""Tuh! Dia sama temannya kayaknya, deh. Lo nggak samperin?""Ogah, males," sahut Giko santai sembari terus menjilati pucuk es krim."Dia masih cantik banget, Gi. Lo yakin nggak nyesel putus dari dia?""Kenapa gue yang nyesel? Kan dia yang mutusin gue."Aku melihat Siska naik ke eskalator berniat turun ke bawah. Dan tepat saat itu dia juga melihatku. Aku yakin dia melihat Giko di sebelahku juga karena untuk beberapa saat ada raut terkejut yang nampak dari wajahnya.Aku melempar senyum padanya. Namun, dia tidak membalas. Bahkan melengos seolah tidak sudi menerima senyumanku. Buset."Dendam banget kayaknya sama gue dia," ujarku begitu Siska tidak nampak lagi."Kenapa harus dendam sama lo?" tanya Giko. Kulihat es krimnya tinggal separo."Ya, kan kalian putus karena dia salah paham sama gue."Giko mendesah lalu menyaplok es krimnya dalam ukuran besar. "Itu bukan salah lo. Dia aja yang nggak mau denger penjelasan gue main putus-putus aja. Pasti nyesel dia.""Apa dia nggak makin berpikir kita ada apa-apa setelah tadi liat kita?""Bodo amat!" Giko kembali menyaplok es krimnya kali ini sekalian cone kerupuknya. Bunyi 'kriuk' terdengar saat dia mengunyah.Sepertinya Giko masih sakit hati. Saat putus dari Siska, aku sangat tahu dia lagi sayang banget sama wanita itu. Wajar kalau dia akhirnya tidak peduli. Setahu aku, dia tidak pernah secuek ini sama mantan-mantannya. Terkhusus sama Siska saja dia begini. Mungkin sakitnya sudah terlanjur dalam."Dah ah, yuk. Lo laper nggak?" Giko berdiri setelah mengelap mulutnya dengan tisu."Gue kalau abis makan es krim lapernya ilang. Balik aja deh.""Bener nih nggak mau makan? Awas ya kalau lo ngadu sama Danar bilang nggak dikasih makan sama gue."Aku tertawa saja. Giko tipe royal, jadi ketika aku bilang dia pelit pasti mencak-mencak."Nggak. Ntar kalau laper gue bisa turun ke bawah nyari somay.""Ya udah, yuk balik." Tangan jailnya langsung menggaet leherku dari samping. Kebiasaan buruk banget. Memangnya aku kambing?Giko sangat berbeda dengan Danar. Si playboy ini nggak pernah canggung untuk melakukan skinship seperti ini. Setiap kali aku jalan sama lelaki itu, sebelah tangannya selalu merangkul pundakku. Atau kalau tidak, aku yang menggaet lengannya. Tapi, ya hanya sekadar itu.Orang mungkin melihatnya kami seperti sepasang kekasih. Dan setiap kami bilang hubungan kami hanya sebatas sahabatan pasti tidak akan ada yang percaya. Sahabat antara laki-laki dan perempuan itu bullshit.Whatever, sih, toh nyatanya kami memang sahabatan dari jamannya baru masuk SMA. Tiga belas tahun kami bersama dan selama itu tidak terjadi apa-apa. Danar dan Giko tetap menjadi sahabat yang baik. Tidak pernah keluar dari zona itu.Telepon dari Danar masuk tepat ketika Giko menurunkan aku di depan gedung apartemen. Aku melirik ponsel sebentar, lalu melambaikan tangan saat Giko mulai putar balik."Lo jadi ke butik tadi?" tanya Danar di sana ketika aku menerima panggilannya. Aku celingukan melihat kanan-kiri jalan berniat menyeberang."Ini baru balik. Lo masih di kantor?""Masih. Ini baru selesai. Pusing banget kepala gue."Setelah memastikan tidak ada pengendara mobil atau pun motor yang lewat, aku bergegas menyeberang."Tumben banget orang gila kerja kayak lo ngeluh pusing. Paling juga–Aaargh!"Lampu mobil yang menyorot tajam membuatku memejamkan mata saking ngerinya. Aku tidak sempat menghindar dan sontak berjongkok seraya menggenggam erat ponsel.Aku tidak tahu mobil itu datang dari mana. Sebelum menyeberang tadi aku sudah memastikan tidak ada satu kendaraan yang lewat. Sempat aku mendengar suara Danar memanggil di ujung telepon, tapi teredam oleh kerasnya suara jeritanku dan derum mobil yang begitu terasa dekat."Kamu nggak pa-pa?"Sebuah suara menyapaku. Aku yang berjongkok dengan kepala menunduk penuh rasa takut pelan mengangkat wajah. Wajah seorang pria dengan alis tebal, serta hidung yang mencuat tampak begitu dekat denganku. Aku pikir dia malaikat yang akan menjemputku, mungkin saja tubuhku sudah terpental jauh dan terguling. Sementara nyawaku masih tetap tertahan di lokasi kejadian. Namun, wajah malaikat itu terasa tak asing buatku. Sorot matanya yang teduh dan bibirnya yang penuh sama persis dengan seseorang yang sering aku stalking akun Instagramnya. Aku tidak salah lihat atau sedang berhalusinasi kan? Masa wajah di hadapanku yang saat ini tengah mengerjap mirip Tama? "Ap-apa gue masih hidup?" tanyaku setengah sadar. "Ya, lo masih hidup."Aku cukup terkejut mendengar suara itu lagi. Dia menjawab, aku tidak sedang berdelusi. Pandanganku bergeser ke depan mobil yang hampir menabrakku. Ternyata posisinya masih jauh dari tempatku. Aku benar-benar masih hidup. Saat menengok kaki sendir
Aku mematut diri di depan cermin beberapa kali. Kadang berputar, kadang condong ke depan. Memastikan penampilanku hari ini tidak terlihat aneh. Waktu mengepas di butik sih Giko bilang gaun ini cocok buatku. Tapi tetap saja aku merasa nggak percaya diri. Sekarang aku memusatkan ke riasan wajah. "Aku nggak terlalu menor kan?" gumamku pada pantulan diri di dalam cermin. Aku sengaja memilih make-up dengan warna nude agar terlihat natural. Inginnya sih tanpa make up, sayangnya aku nggak memiliki kecantikan alami yang bisa dibanggakan. Wajahku gampang kering dan itu sangat mengganggu. Aku akan selalu membawa face mist ke mana-mana. Telunjukku bergerak menyingkirkan poniku yang sedikit menjuntai. Aku belum sempat merapikannya, padahal Giko kerap mengingatkan aku. Dia risih setiap kali melihatku membenarkan poniku yang kerap kali mengganggu aktivitasku. Sampai-sampai dia gemas sendiri dan membelikanku penjepit rambut mini. Kali ini aku enggak akan membiarkan poniku menjadi masalah di reuni
Oke, kita mulai up lagi, yak. Jangan lupa sebar komen ya hehe sebelum baca. ***"Lo nggak bilang kalau yang hampir nabrak lo Tama?" Danar di sampingku berbisik. "Gue nggak ngeh itu dia. Kejadiannya malam gue nggak bisa lihat dengan jelas. Mana gue tau kalau itu dia," balasku berbisik juga. Saat ini kami sedang berada di meja nomor sepuluh. Ya, kami satu meja bersama Tama berkat kedua laki-laki yang datang bersamaku ini. Tatapku beralih kepada Tama yang saat ini sedang asyik mengobrol dengan Giko. Keduanya dulu sama-sama anggota inti OSIS dan juga satu ekskul. Bahkan keduanya pernah mewakili paskib di tingkat provinsi. Jadi, sangat wajar jika pertemuan keduanya terlihat renyah. Di meja lain aku melihat Sintia, wanita yang sudah dari jamannya sekolah selalu bersama Tama. Aku iri padanya. Seandainya bisa, aku mau bertukar posisi dengannya. "Teman-teman sekelas kita mana ya?" tanya Danar entah kepada siapa, kepalanya celingukan. Ya, selain Danar dan Giko aku tidak menemukan teman
Aku up Reuni lagi, yak! Jangan lelah menunggu pokoknya, bakar aja kalau mau cepet update. Pembaca senang, penulis pun riang. Wkwk. Happy reading jangan lupa vote, Gaes.ᕙ( ͡◉ ͜ ʖ ͡◉)ᕗ"Gue minta maaf buat malam itu. Gue hampir ngenalin lo, tapi lo keburu pergi." Aku ingin kabur, tapi kali ini kakiku tetap menjejak. Aku heran dengan pikiranku. Bukankah ini yang aku ingin? Bertemu Tama di reunian. Harusnya aku senang dan mengajak dia ngobrol. Bukan malah mati kutu dan nggak berkutik begini? "Nggak apa-apa," aku menggeleng. Nyatanya aku kesulitan menggerakkan lidah yang mendadak kelu di depan Tama. Aku bersyukur karena penjaga stand bakso segera memberiku mangkok bakso yang kupesan. "Gue ke sana dulu ya." "Nggak makan bareng aja?" tanya dia, lalu pandangannya memindai ballroom yang lumayan ramai ini. "Tuh, ada tempat kosong kita bisa ke sana dan mengobrol." Aku mengerjap. Sama sekali tidak menduga Tama akan mengajakku makan bersama. Tatapku lalu mencari sosok Sintia di meja nomor s
"Lo sama Arin meeting ke tempat klien bisa enggak, Win?" Aku mendongak dan melihat Danar sudah berdiri di depan kubikelku. Sebenarnya aku malas bertemu klien, lalu mempersuasi agar mau bekerja sama dengan kami. Itu kan tugas Danar sebagai manajer. Lelaki itu menatapku, dengan sorot yang bisa aku artikan 'please, jangan tolak permintaanku', menyebalkan. "Emang lo mau ke mana?" tanyaku kembali memelototi layar laptop. "Gue ada seminar di Bogor. Siang ini juga harus berangkat," ujarnya sembari melirik pergelangan tangannya. "Tinggal datang aja sih, nanti juga perusahaan mereka tahu kalau lo memperkenalkan diri. Gue udah buat janji kok." "Tanya aja sama Arin," aku menunjuk Arin yang sedang berjalan ke arah kami. Dia habis dari mesin fotokopi yang ada di koridor. "Eh, ada Pak Danar. Kenapa, Pak?" tanya Arin begitu sampai. Wanita rambut sebahu itu lantas masuk ke kubikel. "Habis makan siang ketemu sama klien ya. Eh bukan klien sih, masih calon," ujar Danar. Aku harap Arin menolak. "
Aku memeluk tas laptop, masih berdiri nggak jauh dari posisinya. Yudhistira Pratama tersenyum memandangku. Senyum yang masih sama seperti dulu ketika aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Dan hanya dengan satu ulasan itu dadaku berdegup tak karuan. Aku makin erat memeluk tas laptop sembari membalas senyum kikuk. Dia nggak menggunakan kata "lo" ketika menyebutku, tapi "kamu". Sekarang dia klien perusahaanku, aku juga tak mungkin berlo-gue dengannya. "Apa kabar ... Pak Tama?" tanyaku setenang mungkin. Kami hanya berdua di ruangan ini dan tentu saja aku nggak akan membiarkan diriku sendiri bertingkah konyol di pertemuan yang ke .... tiga? Tama terkekeh pelan. Sudut matanya berkerut, tapi itu sama sekali nggak mengurangi ketampanannya. Diam-diam aku menarik napas dan mengembuskannya pelan. Detak jantungku yang menggila benar-benar menyebalkan. Padahal aku sudah berniat melupakannya setelah reuni itu, tapi takdir malah mempertemukan kami kembali. Aku bisa apa? "Aku baik." Aku? Al
Meski sepi kayak kuburan, tetep aku update-nya. Aku sayang cerita ini soalnya. (人 •͈ᴗ•͈)"Kalian berhasil menggaet klien?" tanya Danar saat dia meneleponku. Aku baru saja turun dari bus trans Jakarta dan berjalan menuju apartemen. "Lo tau kalau klien kita itu perusahaan tempat Tama kerja?" tanyaku balik, tanpa menjawab lebih dulu petanyaannya. Aku berhenti berjalan dan menunggu lampu merah menyala. "Tau. Kan gue yang nawarin kerjasama pas kemarin di acara reuni. Jadi, kemarin itu follow up tawaran gue." Sudah kuduga. Tahu begini aku–"Dan lo tau pasti bakal dapat kontraknya, kan?" "Oh, kalau itu belum tentu makanya aku kirim kalian. Pas itu Tama bilang mau lihat dulu proposal tawaran kerjasamanya." Syukurlah, itu artinya usaha Arin nggak sia-sia membuat percaya calon klien. "Lo masih di Bogor?" Aku mendongak ketika lampu merah menyala. Lalu kembali berjalan dengan pejalan kaki lainnya untuk menyeberang."Masih, tapi kayaknya sebentar lagi selesai. Gue pulang malam kayaknya."
Ini hal gila yang aku lakukan. Mengizinkan Tama masuk ke unit. Entah apa yang aku pikirkan ketika membolehkannya datang dan menerima ajakan makan malam masakan ibunya. Aku tahu ini salah. Tapi biarkan aku bahagia sejenak. Nggak masalah kan? Setelah ini aku akan menjauh, menciptakan jarak agar bisa membatasi rasa sukaku padanya. Aku sempat lintang pukang setelah menerima telepon dari Tama. Mendadak aku ingin terlihat mengesankan, meski berada di rumah. Lalu aku pilih midi dress sepanjang lutut bergambar dora emon super big, disambung dengan celana legging tiga perempat. Aku merasa ini adalah penampilan terbaikku saat ada di rumah. Santai, tapi nggak berantakan. Aku nggak memakai chussion seperti saat ke kantor, bedak dingin dan olesan lip blam menjadi pilihan alternatif tampil cantik ala-ala gadis rumahan. Jantungku seakan lolos dari rongganya ketika mendengar bunyi bel pintu. Aku menarik dan mengembuskan napas beberapa kali untuk menetralisir degup jantung yang menggila sebelum aku