Oriel mendengar degup jantungnya lebih jelas daripada bisingnya hiruk pikuk kelab. Dentuman musik yang biasanya membuat kepala pening mendadak kesulitan untuk menyampaikan getar pada daun telinganya. Terdengar hiperbolis, dan memang benar adanya, Oriel terlalu berlebihan mendeskripsikan segala sesuatunya. Akan tetapi, ia berani bersumpah kalau saat ini detak jantungnya memang terdengar sangat jelas di telinganya sendiri.Beberapa orang selalu terdengar lebay ketika membicarakan kupu-kupu terbang yang ditimbulkan seseorang; perasaan bergejolak aneh yang mampu menyedot habis kewarasanmu. Dan sialnya, saat ini Oriel menjadi bagian dari beberapa orang itu. Tidak tahu sejak kapan. Namun, sudah bukan rahasia kalau senyum yang dimiliki Frank mampu menimbulkan efek luar biasa. Persis seperti saat ini. Frank terlihat berkali-kali lipat lebih tampan saat menggunakan setelan kasual daripada seragam sekolahnya. Meskipun begitu, karisma yang ditimbulkan tawanya tidak pernah menjadi lebih baik ata
Pada periode yang lalu, merengkuhmu tak pernah semenakutkan ini. Awan sehitam jelaga, tak pernah menangis sesendu hari ini. - Wajah tanpa tuan •••Seperti ada tangan penuh duri yang meremas jantungnya, rasa nyeri tak berwajah itu mengalir ke seluruh tubuh. Mata cokelat terang kepunyaanya ditutupi gumpalan air. Ia pantang menangis, tetapi bahkan rasa sakit itu lebih parah daripada luka bakar di telapak kakinya. Ia, Chaiden, tak pernah mengira jika konsekuensinya akan sebesar ini. Dengan memikirkannya saja sudah semenyakitkan ini, lalu bagaimana saat hari itu datang? Saat ia melihat kekasihnya mendapat kutukan akibat dari kesalahan yang mereka lakukan. Kendati demikian, ia masih belum paham bagian mana yang salah dari mencintai? Lalu, ada satu pertanyaan yang senantiasa menjadi pikirnya. Sebetulnya, siapa yang berhak mengatur hati seseorang? Apakah para bangsawan yang memiliki banyak emas? Atau para hakim yang katanya memiliki ilmu seluas lautan? Atau tidak satu pun dari kami? “Ini l
Ibu sangat mencintaiku, sebesar aku membencinya. - Caroline ••• Malam menjadi lebih panjang setelah tragedi hari itu; setelah nyanyian terkutuk nyaris merusak gendang telinganya. Duduk di atas bukit di tepi pantai tak pernah semenyenangkan dulu. Dulu seseorang duduk di sampingnya, meminjamkan Caroline bahunya, mereka larut dalam hening yang dihancurkan deburan ombak. Namun, itu adalah sebuah masa yang tidak bisa kau datangi kembali; masa lalu. Sekarang Caroline hanya duduk seorang diri, memandang jauh ke ujung samudra di depan sana. Dengan hati yang terus mendamba, berharap waktu bisa berjalan atas kehendaknya. Dan membawa orang itu ke dekapannya, lagi. "Carol." Caroline benci suara itu. Entah sejak kapan, yang pasti suara itu adalah salah satu hal yang tidak ingin ia dengar lagi. "Sayang, Ibu mempunyai sesuatu—ah tidak, seekor anjing yang harus kau lihat." Caroline melirik sebentar, hanya untuk mendapati Ratu Odelia dengan seekor anjing di sampingnya. "Aku tidak tertarik, Yan
~¤THE CURSE OF ETERNAL LIFE¤~ ____________________________ "Beberapa pertemuan terasa menyakitkan, meskipun bagian dari hal yang didambakan." ~¤~ Beberapa minggu kemudian....Caroline. Gadis dengan usia tujuh belas tahun itu tengah berjalan dengan tempo yang teratur, rambut cokelat keemasan miliknya berkibar searah dengan embusan angin. Setelah berjalan beberapa meter dari halte bus, akhirnya ia sampai di depan gerbang Origin High School. Gerbang itu menjulang tinggi dengan bagian atas bak bentuk segi tiga. Warna emas klasik yang membalut benda terbuat dari besi itu memantulkan cahaya mentari, membuat permukaannya tampak mengkilap. Bersama Caroline, ada ratusan siswa yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sedang mengobrol, memainkan ponsel, atau sekadar menelisik keadaan sekitar seperti yang Caroline lakukan sekarang. Kendati demikian, mereka memiliki alasan yang sama, yaitu menunggu gerbang Origin High School terbuka. Pukul tujuh tepat, menara yang ada di dalam wi
~¤THE CURSE OF ETERNAL LIFE¤~ ____________________________ "Manusia tak pernah benar-benar mengerti, alasan Tuhan mengirim seseorang lalu mengambilnya kembali." ~¤~ Oriel. Gadis yang lebih tua beberapa tahun dari Caroline itu dikenal sebagai kakak Caroline. Akan tetapi, itu kebohongan besar. Caroline merupakan anak tunggal. Lagi pula, seharusnya, Caroline lah yang menjadi kakak Oriel. Sebab, saat Caroline menemukan Oriel mengemis di jalanan, gadis itu baru berusia sembilan tahun. Terlihat kumuh dan menyedihkan. Sampai akhirnya, Caroline memberi Oriel hidup yang lebih layak. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia memperlakukan orang lain bak keluarga sendiri. Bahkan lebih baik daripada saat ia memperlakukan ibunya. Oriel istimewa, dia berbeda. Betapa pun sulitnya, Oriel tetap mencoba memahami keadaan Caroline yang selalu di us
Tak satu pun sesuatu di depannya menjadi objek penglihatan Caroline. Justru pikirannya mengelana ke suatu tempat yang hanya bisa dijangkau imajinasinya. Masa lalu. Tempat yang benar-benar ingin ia datangi kembali. "Kau mengabaikanku lagi?" Wajah Caroline memberengut saat menyadari bahwa Chaiden tidak mendengarkan celotehannya, laki-laki itu malah sibuk dengan seonggok buku usang. "Aku tidak mengabaikanmu," sanggah Chaiden, tetapi pandangannya tak sedikit pun berusaha menatap Caroline. "Lalu apa yang tengah kau lakukan, Mr. Chai?" "Mengamatimu." Mendengar pengakuan Chaiden membuat kedua alis Caroline menyatu, ia mengernyit tak paham. Lantas giginya bergemelatuk akibat rasa kesal yang membuncah. "Kau bahkan tidak menoleh ke arahku!" "Kau benar-benar tidak sopan, Tuan. Aku ini putri, pewaris tunggal Oswald Kingdom." "Ah, kalau begitu tulisan ini sama sekali tidak benar. Bagaimana seorang putri yang sombong
Ada saatnya Caroline ingin berhenti menyalahkan semesta, mungkin semua memang salahnya. Tidak seharusnya ia memiliki hubungan dengan seseorang dari kasta Blackton. Akan tetapi, sulit untuk melakukan itu semua. Sebab sampai saat ini, Caroline masih tidak mengerti mengapa jatuh cinta beda kasta adalah sebuah dosa?Sudah beberapa hari terakhir, ia kesulitan untuk fokus. Itu semua karena Chaiden, oh tidak, Garvin. Percakapan mereka tempo hari; saat di tepi lapangan, masih begitu membekas di ingatan Caroline. Ada sesuatu di dalam mata laki-laki itu yang lagi-lagi menariknya dan membuatnya semakin yakin kalau dia adalah Chaiden."Melamun lagi, huh?"Caroline memilih diam dan tidak menanggapi pertanyaan Frank. Terhitung sejak kedatangannya ke ORIS laki-laki berambut pirang itu selalu mengganggunya. Menyebalkan dan sangat membuat ia risih. Namun, ada hal yang membuat Caroline membiarkan Frank tetap berada di si
"Aku nyaris saja percaya dengan ucapanmu."Kedua kaki Caroline berhenti melangkah, pandangan yang tadinya memperhatikan ujung sepatu miliknya kini beralih ke arah Garvin. Sontak saja kedua iris mata mereka bersitatap, karena sedari tadi Garvin memang sedang memperhatikan Caroline. Hari ini mereka pulang sekolah bersama, hanya secara kebetulan bukan atas perencanaan.Setelah membiarkan Garvin menerawang ke dalam mata hazel miliknya, akhirnya Caroline berujar, "Itu semua memang benar."Mereka membiarkan beberapa saat berlalu tanpa sepatah kata pun terucap. Keduanya sama-sama membatu. Masing-masing dari mereka menyimpan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Garvin, ia masih mempertanyakan kebenaran dari ucapan Caroline. Apa benar mereka pernah hidup bersama di kehidupan sebelumnya?Berbeda dengan Caroline, kini ada pertanyaan baru yang hinggap di kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Chaiden sebagai hukuman dari perbuatan mereka? Apakah Chaiden dihuk