Maya terdiam sambil mengaduk-aduk makanannya. Dia tiba-tiba saja menjadi tak berselera makan.Nadya yang melihat ekspresi sang mama, merasa bersalah karena terkesan dirinya memaksakan kehendak. Dia lalu memegang jemari tangan Maya dan mengusap lembut punggung tangan sang mama.“Aku minta maaf kalau perkataan tadi membuat Mama merasa nggak nyaman. Abaikan saja omongan aku tadi, Ma. Aku nggak memaksa Mama agar bisa memaafkan papa,” ucap Nadya lirih dan dengan nada yang tercekat, menahan tangis.Maya menoleh pada anak gadisnya. Dia melihat wajah cantik Nadya yang kini muram.‘Apa aku yang selama ini egois, mementingkan perasaanku sendiri tanpa memikirkan perasaan Nadya? Apa aku terlalu keras hati, sehingga sulit untuk memaafkan Mas Bima? Apakah sebenarnya Nadya merindukan papanya?’ ucap Maya dalam hati.“Nad, jawab pertanyaan Mama dengan jujur ya, Sayang,” ucap Maya dengan nada suara pelan.“Iya, Ma. Mama mau tanya apa?”“Apa kamu...merindukan papa kamu?”Nadya tak langsung menjawab. Dia
Hanum mengulum senyuman. Dia lalu menarik leher Andi dan mendekatkan telinga pria itu ke bibirnya. Dia lalu berbisik di sana.Kedua kelopak mata Andi membuka sempurna karena terkejut dengan apa yang Hanum bisikkan.“Kamu serius, Num? Nggak sedang bercanda?” tanya Andi dengan wajah memelas.“Iya, aku serius. Masak aku bohong sih, Mas. Aku ini kan belum menopause. Jadi masih kedatangan tamu bulanan lah. Aku tadi di kamar mandi baru tahu, kalau malam ini mendadak kedatangan tamu bulanan. Untung tadi sudah salat isya.” Hanum berkata sambil mengulum senyuman karena melihat wajah frustrasi Andi.“Sabar ya, Mas. Minggu depan deh baru bisa. Sekarang puasa dulu, ya. Sekalian menguji hati kamu, apa masih kuat menunggu satu minggu lagi?” imbuh Hanum yang masih mengulum senyumannya.Andi menghela napas. Dia berguling ke samping tubuh Hanum, dan memosisikan tubuhnya miring. Menghadap sang istri yang juga dalam posisi yang sama seperti dirinya. Tatapan mata mereka bertemu, dan saling mentransfer ra
Amelia sontak tersipu mendengar penuturan sang kakak. Wajahnya pun merona. “Cie, merah lho wajahnya si Amel. Nggak sangka kalau dia naksir sama si dosen itu. Nggak apa itu, Mel. Paling selisih usianya maksimal sepuluh tahun. Masih wajar itu menurut aku. Masih banyak yang selisihnya di atas sepuluh tahun. Ayo, Mel, aku dukung deh! Kayaknya orangnya baik,” ucap Gilang antusias. “Dia itu yang tolongin Amel saat mau dikerjai sama keponakannya Larasati, Lang,” celetuk Rafi. “Nah, keren itu. Sudah kelihatan tipe melindunginya. Nanti nggak apa deh kalau kamu duluan, Mel. Kakak sih belakangan nggak apa-apa. Lagi pula aku belum punya calonnya,” ucap Gilang dengan senyum menggoda pada sang adik. Wajah Amelia semakin memerah dan dia jadi salah tingkah. “Kita pulang saja sekarang, yuk! Ngobrol soal begini di tempat umum. Nanti kalau kedengaran orang, bagaimana? Malu tahu, Kak,” sahut Amelia. Dia lantas berjalan mendahului kedua kakaknya, karena merasa malu ketahuan isi hatinya oleh dua kakakn
Hanum tersenyum sendiri ketika menemukan kotak kecil berwarna biru tua, terselip di sela tumpukan pakaian sang suami di lemari. Dia membuka penutup kotak tersebut, karena rasa penasaran yang begitu besar. Matanya membulat ketika melihat seuntai kalung emas, dengan liontin bermata biru safir yang indah.“Ini pasti untukku. Mas Andi pasti menyiapkan kejutan ini untukku, di hari jadi pernikahan nanti. Dia sengaja menyembunyikan kotak ini dariku. Agar tampak berkesan saat lusa dia berikan kejutan ini padaku. Baiklah, aku akan pura-pura tak tahu. Aku akan ikuti permainannya,” gumam Hanum, dengan senyum yang terus menghiasi wajahnya yang cantik. Meskipun usianya sudah empat puluh tiga tahun, tapi Hanum masih tampak memukau.Hanum lalu meletakkan kotak itu di tempatnya semula. Dia juga merapikan tumpukan pakaian sang suami, agar tak tampak kalau dia baru saja menemukan kotak tersebut.Di saat yang sama, Andi keluar dari dalam kamar mandi. Pria berusia empat puluh delapan tahun itu tampak seg
Reza dan Rudy yang awalnya sedang sibuk membicarakan Tania, lantas mengalihkan tatapannya ke arah Rafi. Kedua pemuda itu segera mengikuti arah pandang Rafi.“Ish, Om Andi,” desis Reza dengan tatapan tak percaya.Rudy menyenggol lengan Reza, dan memberi kode melalui kedipan matanya agar sahabatnya itu tak memberi komentar apa pun. Reza yang paham, akhirnya menganggukkan kepalanya.Sementara itu, Rafi yang sudah emosi lantas beranjak dari kursi dengan wajah merah padam.“Raf, mau ke mana?” tanya Rudy dan Reza bersamaan.“Ya mau ke butik itu,” sahut Rafi dengan dagu yang diarahkan ke tempat di mana Tania dan papanya saat ini berada.“Eits, tunggu dulu, Bro! Jangan gegabah dulu. Jangan bikin onar di tempat umum, karena nanti ujung-ujungnya elu yang jadi tertuduh. Elu nggak mau kan kalau hal ini terjadi?” ucap Rudy. Dia lalu menarik lengan Rafi agar sahabatnya itu kembali duduk.Rafi akhirnya kembali duduk di kursinya semula dengan napas memburu karena menahan emosi.Sementara Reza menyera
Reza manggut-manggut mendengar penjelasan dari Rudy. Pemuda itu lantas mencolek lengan Rafi yang masih terdiam.“Bagaimana, Raf? Siap merekam aksi bokap lu sama Tania?” tanya Reza.Rafi menganggukkan kepalanya. “Siap. Apalagi kalau harus tonjok papa gue, siap banget.”“Wah, tenang dulu, Bro. Kita main cantik. Itu kata mama gue saat memberikan masukan pada Tante Ria. Gue kan sudah bilang dari tadi kalau elu jangan gegabah. Jangan sampai elu berurusan sama pihak berwajib, dan elu dijadikan tersangka karena pukul papa lu, Raf. Kalau itu terjadi, kasihan mama lu. Itu sama saja lu kasih beban pikiran double ke mama lu. Janji ya kalau elu mau main cantik. Masih kata mama gue saat ngomong ke temannya itu, amankan aset keluarga! Nah, itu pentingnya ngomong sama mama lu. Sebagai anak lelaki dan anak sulung, lu harus tegar dan cerdik dalam bersikap. Papa lu saja bisa main cantik. Elu jangan mau kalah dong. Kasih pelajaran melalui mentalnya!” tegas Rudy.Rafi dan Reza terperangah mendengar ucapa
Hening.Untuk sesaat Anita tak bersuara di seberang sana. Membuat hati Hanum ketar-ketir dibuatnya, hingga tangan dan kakinya terasa dingin menunggu jawaban Anita.“Nit...Anita, kok diam sih? Ngomong dong,” ucap Hanum dengan suara bergetar karena rasa cemas yang luar biasa.“Eh, iya maaf. Aku sedang berpikir ini, Num. Makanya belum bisa menjawab tadi. Jadi si Andi sekarang sedang ketemu sama rekan bisnisnya, ya. Oh ya sudah kalau begitu. Berarti yang aku lihat tadi mungkin Andi sedang melobi rekan bisnisnya itu,” sahut Anita terdengar memelankan suaranya. Tak seperti pertama kali dia bicara tadi.“Memangnya kamu ini sedang di mana, Nit? Kok sampai ketemu sama Mas Andi. Kamu sedang main golf juga?” tanya Hanum lugu.“Hah? Main golf?” ucap Anita balas bertanya.“Iya, tadi itu Mas Andi pamit mau ketemu sama rekan bisnisnya di lapangan golf. Memang dia nggak main golf sih. Cuma katanya tadi, temannya yang main golf. Mungkin saja setelah temannya itu main golf, mereka meeting di restoran y
Anita yang merasa kalau Rafi sudah mengetahui ulah Andi, segera menarik tangan pemuda itu agak sedikit menjauh dari kedua temannya.“Rafi, jujur sama Tante kalau kamu ada di sini bukan karena kebetulan kan? Apa kamu melihat...papa kamu...di hotel ini?” tanya Anita hati-hati dan dengan suara perlahan. Dia menatap lekat wajah tampan Rafi yang kini tampak gelisah. Membuat Anita sudah tahu jawabannya meskipun pemuda itu belum membuka suara.“Kamu ingin membuat kejutan untuk papa kamu?” imbuh Anita dengan tatapan iba pada Rafi.Rafi akhirnya menganggukkan kepalanya seraya berkata lirih, “Iya, Tan. Tapi, aku nggak mau kalau Mama sampai tahu tentang hal ini. Aku ingin menjaga perasaan Mama, Tan. Kasihan Mama sudah dibohongi sama Papa. Perlu Tante tahu juga, kalau cewek yang dibawa Papa itu adalah teman kuliahku. Jadi maksud aku dan dua sahabatku ini mau memberikan pelajaran juga sama cewek itu, supaya nggak dekati Papa lagi. Istilahnya, kami sedikit mengancam cewek itu. Jadi mudah-mudahan de