Rafi membuang napasnya kasar, dan menatap ke arah dua sahabatnya yang duduk di kursi tak jauh darinya.“Ada apa, Raf?” tanya Reza dan Rudy yang kini mendekatinya.“Menurut lu si Tania ini jujur nggak?” sahut Rafi balas bertanya.Tania yang merasa terancam dengan ucapan Rafi segera menyahut. “Kenapa lu nggak percaya sih sama gue. Dari tadi gue sudah ngomong jujur sama elu, Rafi! Lu mau apa lagi, hah?!”Reza dan Rudy yang tak mengerti masalahnya, hanya bisa mengerutkan kening sambil menatap Rafi.“Ini masih masalah yang di hotel itu, ya? Memangnya papa lu masih berhubungan sama dia?” tanya Rudy dengan dagu terarah pada Tania.“Nggak!” sentak Tania sebelum Rafi menjawab pertanyaan Rudy.“Terus ada apa lagi?” timpal Reza yang terlihat mulai penasaran.Rafi menghela napas kasar. Dia awalnya enggan bercerita tentang masalah kalung pada dua sahabatnya itu. Cukup dengan Tania saja, karena gadis itu yang membuat dia curiga.“Mama gue pernah melihat sebuah kalung emas dengan liontin permata bir
Tania yang melihat amarah di wajah Rafi, lantas meletakkan telunjuknya di bibir. Mengkode agar Rafi tak bersuara karena emosi.“Ya sudah kalau begitu, Om. Sekarang saya mau siap-siap dulu, supaya nanti bisa cetar saat ketemu sama Om Andi,” cetus Tania.“Ok, Cantik. Tunggu Om, ya. Sekarang ditutup dulu teleponnya ya, bye,” sahut Andi di seberang sana dengan suaranya yang masih lembut mendayu-dayu.Setelah itu, sambungan telepon Tania dan Andi pun berakhir. Tania lalu menatap Rafi sambil tersenyum canggung, dan salah tingkah.“Maaf ya, Raf. Gue harus berperan seperti tadi supaya bokap lu nggak curiga,” ucap Tania.Rafi mengangguk dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Sudah risikonya sakit hati mendengar percakapan Tania dan papanya, karena dirinya lah yang membuat Tania menghubungi Andi kembali.“Memang seperti itu ya biasanya kalian berinteraksi?” sahut Rafi dengan helaan napas panjang.“Hu’um. Jujur saja sih kalau gue terbuai oleh papa lu, Raf. Dia cowok yang romantis,” aku Tania te
Bukan hanya Rafi saja yang tubuhnya seketika membeku setelah mendengar suara itu, tapi hal yang sama juga dirasakan oleh Andi. Pria itu lalu menoleh dan tersenyum pada si pemilik suara.“Lho, kamu ada di sini juga? Sama siapa, Num? Gabung saja sini, yuk!” ucap Andi berusaha setenang mungkin, meski dalam hatinya sudah ketar-ketir karena terpergok sedang bersama dengan Tania.“Iya, aku tadinya ada janji ketemuan sama Anita di sini. Tapi di saat aku sudah sampai di sini, Anita membatalkan janji karena ada kabar kalau orang tuanya sakit. Aku yang sudah ada di sini dan sudah lapar, langsung saja masuk dan berniat makan di sini. Tapi, aku akhirnya mendapat kejutan di sini.” Hanum berkata sambil menghela napas panjang dan menatap suaminya serta Tania secara bergantian.“Ya sudah, makan bareng sama aku saja di sini. Ini kenalkan Tania. Dia teman sekampus Rafi,” ucap Andi dengan senyuman.Kening Hanum berkerut cukup dalam. Belum selesai dia menduga mengenai gadis cantik yang duduk di hadapan s
Andi melangkah masuk ke dalam kamar dengan jantung yang berdegup kencang. Di kepalanya sudah tercipta berbagai macam kata yang akan dia ucapkan, dan tentu saja permohonan maaf pada sang istri atas kesalahan yang dia ciptakan.Hanum masih saja duduk di kursi rias dan menatap tajam suaminya, yang berjalan semakin dekat ke arahnya. Tiba-tiba saja dia merasa jijik pada Andi. Rasa cintanya yang semula begitu besar pada pria itu, kini perlahan mulai terkikis. Apalagi kini teringat tentang kalung yang berliontin permata biru safir. Hatinya panas karena menduga kalung itu diberikan oleh Andi pada Tania.“Hanum, tolong jangan curiga yang macam-macam. Aku dan Tania nggak ada hubungan apa-apa, sungguh!” ucap Andi ketika sudah berada di hadapan sang istri. Dia duduk bersimpuh di kaki Hanum dengan tatapan memelas.Hanum menatap sebal pada pria yang sedang memainkan sandiwara di hadapannya kini. Dia tepis tangan Andi yang menyentuh kakinya. Jijik rasanya bersentuhan dengan pria itu, meski hanya kak
Andi dan Hanum pun terkesiap melihat Amelia. Rupanya putri bungsu mereka telah menguping pembicaraan kedua orang tuanya.Amelia berlari menghambur ke pelukan Hanum. Di dekapan sang bunda, gadis yang masih duduk di bangku kelas satu SMA itu menangis tersedu-sedu.Hanum menghela napas panjang dan mengusap rambut Amelia dengan lembut. Dia tahu yang dirasakan oleh putrinya saat ini. Namun dia pura-pura tak tahu, dan ingin agar Amelia mengatakan di hadapannya serta Andi.“Ada apa, Sayang?” bisik Hanum.“Mama mau bercerai sama Papa, iya?” ucap Amelia dengan suara parau.“Oh nggak, Sayang! Itu nggak akan terjadi. Papa jamin itu. Jadi kamu tenang saja, ya,” sahut Andi cepat.Hanum menatap tajam suaminya tanpa sepengetahuan Amelia. Dia tampak geram sekali pada pria itu, yang sepertinya mencari kesempatan agar dia luluh.Amelia lalu mendongakkan kepalanya dan menatap wajah Hanum dengan tatapan penuh tanya.“Betul, Ma?”“Kamu mulai menguping di bagian yang mana? Apa dari awal atau setengah-seten
Sementara itu dari depan pintu kamar mandi, Andi rupanya mendengar percakapan istri dan anaknya. Dia mengusap wajahnya kasar dan menarik napas berulang kali. Dia frustrasi, dan ada yang merintih perih di hatinya. Dia sendiri tak tahu apa yang menyebabkan perasaan itu kini hadir. Apakah rasa bersalah? Namun yang pasti, dia tak sanggup kalau harus kehilangan semua yang dimiliki saat ini. Hanum, ketiga anaknya, dan tentu saja aset yang mereka miliki karena semua akan menjadi milik Hanum apabila mereka berpisah.‘Aku harus bisa membujuk Hanum supaya mengurungkan niatnya untuk bercerai. Aku nggak bisa dan nggak siap,’ ucap Andi dalam hati.Egois memang. Namun, itulah laki-laki yang memiliki ego yang cukup tinggi. Sudah melakukan kesalahan, tapi tak mau menerima risikonya. Selain egois, Andi pun ternyata seorang pecundang yang takut akan risiko yang akan dihadapi.-Malam harinya-Ruang makan tak seperti biasanya. Anggota keluarga makan dengan khidmat. Kalau biasanya Amelia akan berceloteh p
Kedua bola mata Hanum terus tertuju pada perhiasan nan indah itu. Mungkin kalau ada yang menyadari dan memperhatikan arah pandang Hanum, orang akan mengira kalau Hanum tertarik dengan kalung tersebut. Tidak, bukan itu yang ada di pikiran Hanum. Dia bisa membeli sendiri perhiasan indah tersebut atau bahkan yang lebih indah dan mahal sekalipun. Tapi, Hanum hanya sedang sibuk dengan praduganya sendiri, karena kalung yang pernah dia lihat di celah pakaian suaminya, mirip dengan yang dikenakan model itu.‘Kenapa di saat aku sedang sibuk mencari tahu tentang siapa si penerima kalung dari Mas Andi, tiba-tiba ada perempuan lain yang mengenakan kalung yang sama? Dugaanku memang menjurus pada teman si Rafi. Tapi, kenapa sekarang hatiku meragu?’ ucap Hanum dalam hati.Kepala Hanum terasa berdenyut ketika banyak sekali yang menumpuk di kepalanya saat ini. Hingga dia tak mendengar Anita yang berbisik di telinganya. Hanum terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.Anita tampak heran ketika Hanum tak
Hanum memegang dadanya yang kini berdetak cukup kencang, seolah sentuhan tangannya bisa meredakan dentuman keras di hatinya. Ah, Hanum seperti orang yang tak memiliki semangat lagi. Punggungnya dia sandarkan di sandaran kursi sambil terus menekan dadanya. Dirinya juga heran dengan sikapnya ini. Aneh memang, dia tak mengenal Larasati. Namun kenapa dia tampak lunglai ketika mendengar Larasati dilamar seseorang. Bukankah wajar karena Larasati berstatus single? Hal itu juga bisa terjadi pada siapa saja, bukan?‘Kenapa aku ini? Kenapa aku kayak orang frustrasi begini? Ah, Hanum coba deh jangan begini! Jangan karena melihat kalung itu, kamu beranggapan kalau Mas Andi yang memberikannya pada Larasati. Lagi pula Mas Andi punya skandal dengan temannya Rafi, bukan dengan Larasati. Mungkin saja tunangan Larasati adalah seorang pria yang berstatus duda, bukan suami orang. Sudahlah Hanum, jangan berburuk sangka,’ ucap Hanum dalam hati, berusaha menenangkan dirinya sendiri.Anita yang rupanya mempe