Oh Tuhan, aku sangat kebingungan sekarang. Terlebih Freza mengatakan jika dia menyukaiku. Memang aku tidak mempercayainya di awal, tetapi ntah mengapa sekarang aku sulit untuk menyangkalnya.
Freza telah membuatku menjadi orang gila dalam sekejap. Langkah seperti apa yang harus kuambil? Baru memikirkannya sudah membuatku lelah. Tidak tahu sudah berapa kali indra penciuman ku menarik napas panjang.
Tiba-tiba kurasakan perut ini yang terasa sakit, aku baru sadar jika hari ini diriku belum makan sesuap nasi pun. Karena ibu Freza menyuruhku berangkat pagi datang ke kantor, membuatku melupakan sarapan.
Saat di kantor pun aku tak makan apapun, dengan langkah kaki gontai aku berjalan pergi ke kamar pun. Walau hati ini sedari tadi berdegup tidak karuan, aku tetap memaksa pergi.
Ketika sampai di depan pintu, ku tarik napas panjang. Tanganku meraih gagang pintu dan segera mendorongnya. Ku telusuri setiap sudut ruangan, tetapi nihil aku tidak menemukan sosok pria yang mengangguku.
Apakah Freza keluar? Atau dia tengah di kamar mandi? Perlahan aku mendekat ke arah kamar mandi, kemudian mengetuk nya pelan.
"Za? Lo ada di dalem?" tanyaku tapi tak ada jawaban. Aku ragu, dengan hati-hati ku dorong pintu hingga ia terbuka. Namun, tak ada siapapun di dalam, kuputuskan untuk keluar dan duduk di tepi ranjang.
Sebuah catatan kecil yang tersimpan rapi di atas ranjang mengangguku. Segera kuambil dan membacanya. Aku tersenyum, kedua pipiku terasa panas, sebuah kalimat singkat berhasil membuatku terbang melayang senang.
Freza meningggalkan sebuah catatan yang berisi;
Untuk istriku
Aku pergi sebentar untuk menyelesaikan pekerjaanku, bersiaplah untuk malam ini.
Dari suamimu
Terdengar aneh tapi aku menyukainya, membacanya saja sudah membuatku senang. Aku termenung memikirkan Freza yang menulis surat ini. Terkekeh geli karena menurutku lucu.
Kusimpan surat ini di tas, momen penting seperti ini harus ku abadikan. Ah sial! Aku berharap pada Freza, semoga saja perasaanku tidak terlalu dalam.
Sekarang aku dibuat bingung kembali, apa yang harus kulakukan sekarang? Freza terlihat begitu berharap atau mendambakan malam ini. Langkah apa yang harus kuambil? Tidak mungkin jika aku tidak mengakui dan berkata jujur di awal?
Aku menarik napas panjang, oh aku sangat kesal jika gelisah seperti ini. Aku terdiam sesaat sebelum menarik napas panjang.
Keputusan sudah kuambil, aku akan menceritakan tentang keperawananku yang hilang pada Freza. Jika yang dikatakan Freza benar adanya, dia tidak akan memarahiku, kuharap begitu.
Aku sudah siap dengan segala konsekuensinya. Tak peduli bagaimana reaksi Freza nanti, aku tak akan gentar. Walau sebenarnya ada satu harapan yang kulambungkan, yaitu Freza tidak membenciku setelah tahu rahasiaku.
Waktu sudah hampir petang, aku bergegas bersiap-siap layaknya seorang pengantin baru. Aku terkekeh geli, mengapa diriku terlalu bersemangat? Apakah ini tanda jika aku pun menyukai Freza? Sepertinya begitu.
Tuhan, mengapa cintaku begitu mudah dan sederhana? Bahkan, selama 25 tahun aku hidup, tak pernah aku merasakan perasaan seperti ini pada pria-kecuali Freza.
Ada apa dengan diriku? Jangan terlalu percaya dengan Freza, dia bisa saja tengah menipuku. Ya, pikiran dan hatiku tengah berbeda pendapat, aku sudah dibuat gila oleh Freza.
Dengan hati yang berdebar, aku terduduk diam di ranjang kamar. Rasanya sedikit berbeda, walaupun ini bukan kali pertamaku.
Sudah hampir dua jam aku terduduk diam seperti ini. Freza tak kunjung datang, sampai aku bosan menunggunya. Ku berusaha untuk bersabar lebih lama lagi, tetapi tetap saja hasilnya nihil.
Ini sudah jam setengah sepuluh malam, tetapi Freza tak kunjung datang. Aku geram sekali, pria itu begitu menyebalkan sekarang.
Walaupun diperlakukan seperti ini oleh Freza, aku malah mengkhawatirkannya. Khawatir sesuatu yang buruk menimpanya, membuatku tak tenang saja.
Aku akan menunggunya lagi, aku berharap Freza baik-baik saja dan segera pulang ke villa. Namun, lagi dan lagi aku harus dikecewakan olehnya.
Tak terasa kini jarum jam pendek sudah mengarah pada angka dua. Sampai dini hari aku menunggu kehadirannya, sebenarnya kerjaan seperti apa yang Freza kerjakan sampai jam segini?
Aku menyerah, kuputuskan untuk tidur. Mata ini sudah terlalu berat, mulutku ntah sudah berapa kali menguap. Kubaringkan tubuhku, ditatapnya langit-langit kamarku.
Hatiku berdenyut sakit, cairan bening membasahi pipiku. Inilah yang paling kubenci, terlalu melambungkan harapan pada sesuatu yang belum jelas kebenarannya.
Isak tangis menjadi pengantar tidurku. Detik terakhir aku merutuki sikap Freza. Aku menyesal, setelah kejadian ini aku tak akan pernah percaya pada pria itu.
Sudah cukup, terakhir kalinya aku sakit hati oleh Freza. Aku tidak mau jika harus menangisi pria yang tidak tahu malu sepertinya. Sia-sia saja aku menunggu, bodohnya sekali diriku.
Kurutuki diri ini yang terlalu percaya dengan ucapan Freza. Seharusnya aku curiga kenapa Freza tiba-tiba berubah pikiran, bukannya malah percaya dan mengikuti semua ucapannya seperti orang bodoh.
Argh rasanya aku ingin melenyapkan pria itu sekarang, jenis pria sepertinya tidak baik ada di muka bumi ini. Bisa-bisa setiap harinya banyak gadis yang menangis karena ulahnya.
Walaupun begitu, ada hal aneh. Aku baru tahu Freza bisa berbuat seperti itu, yang kudengar dari rumor sangat berbanding terbalik dengan aslinya.
Kadang heran darimana rumor itu berasal, siapa yang menciptakannya? Freza adalah pria sejuta misteri. Kukira sikapnya tidak akan terlalu beda dengan yang dikatakan rumor, tetapi ternyata tidak juga.
Malahan sikap Freza sangat berbanding terbalik dengan rumor yang ada. Ah sial! Kenapa aku terjatuh dalam perangkapnya. Bukankah diri ini sudah memutuskan untuk tidak terjatuh dalam sebuah perasaan? Lalu mengapa dengan Freza aturan itu tidak berlaku!
Lihat saja, setelah ini aku tak akan percaya pada Freza lagi. Dia sudah membuatku sakit hati, dan kesalahan yang sama tak akan kuulangi lagi. Biarlah ini ini menjadi pelajaran bagiku, ya aku harus berhati-hati terhadap pria yang bernama Freza itu.
Aku akan membencinya, tetapi semua keputusanku tak berjalan ketika aku melihat sosok Freza di pagi hari. Freza tampak berbeda dengan kemarin, ada sorot kesedihan di matanya. Pun tatapannya seperti kosong, bahkan saat aku datang dia tak menyadarinya. Terbukti dengan Freza yang masih terdiam menatap taman di sebrang sana.
Pagi buta seorang pelayan wanita membangunkanku, ia berkata jika Freza menyuruhku bersiap pulang. Jujur aku tak mengerti dengan keputusannya, mengapa tiba-tiba dia membatalkan rencana awal?
Aku benar-benar kecewa, mengapa Freza tega memperlakukanku seperti ini? Memainkan sebuah perasaan manusia, aku yang baru mendapat satu dua perlakuan manisnya saja marah. Apalagi nanti ke depannya, aku tidak tahu Freza akan memperlakukanku seperti apa. Hati ini benar-benar sakit, kala mengingat semua perlakuan Freza kemarin.
Ingin rasanya memarahi pria labil itu. Namun, hatiku tak tega melihatnya, jelas sekali terlihat jika Freza tengah kecewa. Tidak tahu dia kecewa karena apa, tetapi dapat ku simpulkan masalah Freza sangatlah berat.Sampai kami di perjalanan pulang pun Freza tak mengajakky berbicara. Sungguh Menyebalkan! Aku tak menyukai suasana canggung seperti ini."Maaf." Aku tersentak, kutatap Freza yang tertunduk lesu. Cukup lama dia terdiam, hingga kepalanya berputar menatapku."Maaf, lo pasti nungguin gue semaleman?" tanya Freza.Aku terdiam sesaat sebelum taw aku pecah memenuhi mobil. "Ya kali gue nungguin lo, lagian kapan sih seorang Freza bisa serius?" tanyaku balik berusaha menutupi luka di hati.Kesalahan terbesarku adalah mudah percaya pada pria, yang berstatus suamiku sekarang. Apakah ini efek dari sebuah pernikahan? Mudah sekali aku percaya pada Freza.Makanya, aku mencoba berbohong pada Freza aku tidak m
Aku baru menyadarinya, sejak kedatanganku ke sini aku tak pernah melihat keberadaan Rista. Segera kubuka pintu dan menatap gadis, yang selama dua hari ini tak kujumpai dengan intens. Rista menundukan kepalanya, mengalihkan pandangannya untuk tidak beradu mata denganku. Tidak tahu apa yang dipikirkannya, seolah ada sebuah perasaan tersirat yang ingin dia ucapkan padaku. "Kemana aja lo?" tanyaku penasaran. Tentu nadaku tidak ramah sama sekali, ntahlah aku tiba-tiba merasa kesal ketika Rista enggan menatapku. "Ma maaf, Nyonya. Dua hari ini Rista sibuk dengan tugas kampus. Banyak hal yang harus Rista siapkan, makanya Rista meminta cuci pada Tuan Freza. Beliau mengizinkan Rista, dengan syarat setelah ...." Rista menatapku yang tengah menatapnya balik. "Setelah apa?" Sungguh aku dibuat gila karena penasaran ini. Kenapa Rista menggantung ucapannya! Membuat sakit kepala orang saja. Rista kembali menundukan kepalanya, "Setelah Nyonya dan Tuan
Aku terdiam mematung mendengar seluruh sikap maupun ucapan Freza pada Rista. Perasaanku senang, Freza berarti memang benar peka. Tak perlu lagi aku khawatir, karena Freza membantuku. Rista menundukan kepalanya, wajahnya murung. Tangan kanannya terkepal kuat, aku tersenyum sinis melihatnya. Bisa dipastikan sekarang Rista sangat marah besar. Namun, dia tak bisa melakukan apa-apa. "Ba baik, Tuan," ucapnya kemudian bergegas pergi meninggalkan aku dan Freza berdua di kamar. Kutatap Rista sampai pintu benar-benar membuatnya hilang dari pandangan. Aku merasa sedikit jahat sekarang, tetapi itu lebih baik untuknya. Karena Freza tak menyukai Rista, jadi ku berusaha menyadarkannya untuk segera melupakan Freza."Ngapa lo? Seneng ya, tinggal kita berdua di sini?" Ucapan Freza berhasil membuyarkan lamunanku. Aku tak menjawabnya, lebih baik sekarang menatapnya. Apakah pria itu akan merasa tidak nyaman jika kutatap seperti ini? Dan jawabannya tidak!
"Woi bangun lu, tidur Mulu perasaan dah." Ucapan itu berhasil membuatku bangun dari tidur nyenyak sebelumnya.Kedua mataku menangkap sosok pria yang duduk di sebelahku. "Kenapa emangnya? Jangan ganggu gue tidur!" balasku membentak. Aku langsung terbaring kembali di atas kasur, tidak mempedulikan Freza yang berteriak memanggil namaku. "Fiona, bangun nggak? Lo udah jadi beban, jangan nambah beban lagi," ujar Freza menarik selimut yang membungkus tubuhku. Aku tidak peduli, bukan urusanku juga. Namun, sepertinya pria itu tak menyerah. Buktinya dia malah semakin kuat menarik selimutku. "Iya-iya, gue bangun nih," ucapku pasrah dan segera bangkit. Lagipula diriku sudah tidak mengantuk lagi karena teriakan Freza tadi. Freza tersenyum puas, dia mendorong kursi rodanya pergi keluar kamar. Aku yang melihatnya menjadi bingung. "Za, lo mau pergi ke mana?" tanyaku penasaran. Karena masa sih Freza datang kemari hanya untuk memba
Kubuka mataku hingga terasa akan keluar. Kutatap sekeliling kamar, tidak ada siapapun di sini selain diriku. Aku bermimpi jika semalam Freza mengutarakan perasaannya. Dalam mimpi, Freza mengatakan jika dia tidak akan meninggalkanku. Kuusap wajahku dengan gusar, aku terlelap begitu nyenyak hingga tak sadar sudah berganti hari. Seluruh benakku diisi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Freza. Sulit untuk aku akui jika akhir-akhir ini hati dan kepalaku tidak bisa lepas untuk memikirkan Freza. Pria itu sudah mengisi dan memenuhi seluruh ruangan hampa dalam diriku. Kulirik jam di samping yang sudah menunjukan pukul delapan pagi. Yang artinya Freza sudah berangkat ke kantor. Hati ini terasa begitu rumit, ntah apa yang kupikirkan selama ini. Kubaringkan tubuh ini kembali, langit-langit kamar menjadi tujuan pandanganku. Hingga suara ketukan pintu berhasil membuatku tersadar dari lamunan sesaat. Segera aku beranjak mengham
"Apakah aku peduli?" tanyaku sambil memasang wajah datar menatap Freza. Sebenarnya diriku sedikit takut, tetapi aku merasa tertantang karena sikap Freza sudah cukup berbeda dari biasanya. Mungkin, ini akan menjadi hal yang sangat menarik bagiku. Freza berdecih kesal, "Baiklah, karena kamu istriku maka pijat bahu saya sekarang!" perintah Freza membuatku memelotot tajam. "Aku istrimu bukan pembantumu yang bisa seenaknya disuruh!" bantahku tidak terima. Akan tetapi bukan Freza namanya, dia menarik lenganku dan menyimpannya di bahu dirinya sendiri. "Ayo!" Aku mendengus kesal, kuturuti apa keinginannya. Sambil berpikir ada sesuatu hal yang berbeda di antara kami berdua. "Za, sejak kapan lo jadi ngomong formal gini sama gue?" tanyaku spontan ketika menyadari Freza menjadi lebih formal dari biasanya. "Suka hati lah, emang buat rugi kamu?" tanya Freza balik membuatku berdecih kesal. "Aneh tau gak? Lo biasanya gak bisa formal sekarang malah formal, dan ngapain juga lo nyuruh gue dateng
"Kalian berdua cukup hentikan!" pintaku menatap ke arah Freza dan Kak Alvian bergiliran. "Fiona, Kakak hanya ingin mengatakan padamu kalau Kakak suka sama kamu. Mungkin ini bukan waktu yang tepat, tetapi Kakak benar-benar dengan perasaan Kakak terhadapmu," ucap Kak Alvian membuatku menatapnya tidak percaya. "Be benarkah?" tanyaku dibalas dengan anggukan dan senyuman tulus dari Kak Alvian. Freza menggertak gigi kesal, dia sampai memukul meja membuatku terkejut karena ulahnya yang tiba-tiba menjadi ganas seperti itu. "Saya akui keberanian anda menyatakan cinta pada istri saya di hadapan saya sendiri, tetapi anda perlu mengingat jika anda tengah menyatakan pada seorang istri atasan anda sendiri," tutur Freza membuat Kak Alvian menatapnya datar. Persaingan ini tiba-tiba sekali, mengapa mereka berdua memperebutkanku? Dan juga, aku baru mengetahui perasaan Kak Alvian yang sebenarnya. "Aku harus membawamu pergi dari sini, mari Sayang kita pergi dari sini. Ada banyak hal yang perlu kita
Aku tengah mencari bajuku di lemari, sedari tadi Freza memperhatikan kegiatanku. Membuatku menjadi salah tingkah dibuatnya. Setengah jam yang lalu kami telah menghabiskan makan malam berdua, orang tua Freza tengah pergi ke suatu tempat. Sehingga di rumah yang luas ini hanya kami berdua yang menghuni selain para pekerja di sini. "Za, jangan natap gue kayak gitu. Gak enak banget tau," ucapku yang telah menemukan pakaian tidurku malam ini. "Kenapa? Gak boleh emangnya? Gue nungguin Lo jelasin sesuatu," balas Freza santai membuatku menjadi gelisah. "Jelasin apaan sih? Gak jelas banget lo," ujarku dengan nada ketus. Aku mencoba untuk tidak mengingat kembali kejadian sebelumnya. Namun, Freza bersikeras membuatku kembali mengingatnya. "Mandi dulu sana, lo bau!" ucap Freza yang kemudian mendorong kursi rodanya menuju meja kerjanya. Aku tercengang mendengar ucapan Freza, hal itu berhasil membuatku malu setengah mati. Segera aku berlari ke kamar mandi, malu sekali mendapat cacian bau dari