Aku tengah menyiapkan makan siang di dapurku yang lusuh, rumahku memang sangat sederhana, bukan, tapi rumah kami, aku dan suamiku, kebetulan kami belum di karuniai buah hati, pernikahan kami baru seumur jagung, kami menempati rumah dinas dimana suami di tugaskan.
"Bun... Bunda..." Teriak suamiku berlari dari arah luar pintu belakang yang terletak di belakang dapur, ia tadi pamit padaku pergi main ke rumah temannya yang tidak jauh dari rumah. Ku perhatikan dari dapur di tangannya sudah memegang barang yang belum terlihat jelas di pandanganku.
Aku rasa itu adalah sebuah handphone, setauku ponsel suami memang sudah rusak dan tidak bisa di pakai lagi, mana sangka dia diam-diam membelinya, aku fikir ia akan mengajakku saat membeli ponsel barunya.
"Bun, ayah sudah beli HP baru." Ucapnya dengan senyum riang menghampirimu yang tengah mengaduk masakanku di atas wajan, diperlihatkannya ponsel baru itu.
"Enak sekali beli HP baru, HP bunda ga di ganti?" Aku melengos, melirik sesaat hp yang ada di tangan suamiku, merk anu yang terkenal, tapi kalau di perhatikan bukan yang wow sekali, biasa-biasa saja, menurutku. Tapi aku iri, aku juga ingin ganti hp.
"Kan ayah memang hp sudah rusak bun, kalau bunda kan masih punya hp, hp masih bisa di pakai, masak mau beli hp lagi?" Ucapnya, itu tandanya dia tidak akan membelikanku hp baru.
Aku acuhkan ucapnya, ku lanjutkan aktifitasku memasak sampai selesai, lalu ku hidangkan di meja makan dan ku tutup dengan tudung saji.
Fikiranku terfokus pada hp baru, hpku juga merk anu, merk yang sama dengan ponsel suamiku yang baru. tapi sudah lama, sudah berkarat istilahnya, jaman sudah 4G, aku masih pake hp yang hanya bisa menangkap jaringan 3G, tanpa memakai pelindung dan sudah lecet sana sini pula karena seringnya terjatuh.
"Makan dulu yah, mungpung masih panas itu." Ucapku pada suamiku, sedangkan aku sudah memegang piringku, duduk bersandar di ruang tamu yang kecil, duduk lesehan, kami tidak memiliki sofa atau sejenisnya, karena aku tidak mau mengisi rumah dengan banyak perabotan, rencana kami ingin segera mengurus pindahnya suami ke Bali, itupun kalau rejeki.
"Iya sebentar bun." Jawab suamiku tanpa melirik ke arahku, ia masih fokus dengan hp barunya, ku lirik sesekali ke arahnya, ia begitu menikmati ponsel barunya, entah, mungkin sedang menyimpan nomor atau apalah, aku tak peduli.
Pelit sekali, minta ikut beli hp baru saja ga boleh, gerutuku dalam hati. 15 menit aku menyelesaikan makan siangku, suamiku masih saja pada posisi yang sama, duduk dan memainkan ponselnnya.
"Bun, ini gimana ya caranya? Mau mindahin nomor-nomor yang ada di kartu biar tersimpan di telpon? Ayah belum ngerti, belum paham." Tanyanya kemudian, aku masih sibuk mengunyah camilan kacang polong yang ku beli kemarin sore di warung depan asrama.
"Mana bunda liat." Jawabku mencoba meraih hpnya, tapi tangannya menahan, ia seperti enggan memberikan ponselnya padaku.
"Kasi tahu caranya gimana bun?" Ucapnya lagi, masih menatap layar ponsel itu.
"Bagaimana mau kasih tahu kalau dipegang saja ga boleh!" Gerutuku kesal. Percis seperti bapakku, sifat suami dari A sampai Z benar-benar mirip dengan bapakku.
"Ya liat saja to, bilangin, ayah harus pencet tombol yang mana? Trus apa? Gitu kan bisa, ga harus bunda yang pegang hp." Jawabnya ketus.
"Ya sudah, cari aja sendiri, otak atik sendiri, ga usah tanya-tanya, pegang aja ga boleh, pelit." Aku meninggalkan suamiku pergi, masuk ke dalam kamar, rebahan, ambil hp, nyalakan tivi, entah niatku menonton apa yang jelas perasaan kesal sedang merajaiku, ku ganti-ganti canel beberapa kali sambil menggerutu sendiri.
"Bun, coba aturkan ini, ayah ga ngerti." Suamiku ikut masuk ke dalam kamar, ia menghampiriku, bersandar di sebelahku.
"Apalagi? Usaha to, cari-cari sendiri, kan sudah bisa." Aku mendelik, ku lihat sesaat ke arah ponsel yang ia pegang.
"Pasang memorynya gimana bun?" Suamiku menyodorkan hpnya padaku.
"Itu lubangnya disitu liat." Ucapku ketus, ku lirik sekilas ponselnya, sementara tanganku masih memegang remote tv.
"Pasangkan bun, tolong." Tanpa ku jawab, ku ambil hp itu dari suamiku dengan cepat, ku bongkar, dan ku masukkan memory card'nya, belum juga terpasang sempurna, dengan gesit tangannya sudah merampas lagi ponselnya seakan-akan takut aku menemukan sesuatu yang tak ingin terlihat olehku.
Seharian ini ia disibukkan melihat layar ponsel barunya, padahal hp biasa-biasa saja, tapi sepertinya dia sangat menikmati semua aplikasi bawaan ponsel tersebut.
Aku di abaikan, bahkan sampai jam tidur kamipun ia masih fokus dengan ponselnya, awas aja kalau nanti minta anu, biar ku suruh aja dia anu sama tuh ponsel, biar tahu rasa.
Ku peluk gulingku erat, ku bungkus diriku dengan selimut, ku punggungi suamiku yang masih tidak mau melepaskan ponsel barunya itu.
"Bun..." Panggilnya lagi, ia mencolek punggungku beberapa kali.
"Hmmm..." Jawabku malas.
"Bun, f******k ayah ga bisa buka, lupa kata sandinya, tolongin dong." Ucapnya dengan nada memelas.
"Ga bisa, yang punya f******k ayah, bunda mana tau sandinya." Jawabku ketus.
"Ayah lupa bun, tidak ingat." Ucapnya.
"Tanya aja sama mantannya ayah, mungkin dia tahu sandinya." Aku kembali mengungkit-ungkit masa lalunya suami, kebiasaan burukku ya begitu, aku sering kali mengungkit masa lalu suami.
Aku baru bertemu suamiku setelah putus 7 tahun lalu, sekalinya ketemu kita langsung menikah, aku baru tahu setelah menikah, ternyata sebelum kami menikah ia sudah punya kekasih yang putus 1 bulan sebelum kami bertemu.
Aku membenci wanita itu, dia memang tidak salah, tapi aku tidak suka aja suamiku sempat berpacaran dengannya, aku iri dengan kecantikannya, iri dengan gayanya yang wow, beberapa kalipun diminta iklas aku tetap tidak bisa, padahal kalau di fikir-fikir dia tidak salah.
Aku sempat mencari tahu perihal putusnya mereka, semua karena beda keyakinan, dan 1 lagi, sifat keras kepala dan mengaturnya si perempuan itu membuat suamiku tidak kerasan.
Kembali ke topik, setelah bujuk rayunya, akhirnya ku buatkan akun f******k baru buat suamiku, aku kira setelah selesai, dia akan berhenti memgang hpnya lalu istirahat bersamaku, sayang, dugaanku salah, ia masih saja fokus dengan ponselnya itu, entah mungkin sibuk menambah pertemanan pada f******k barunya atau sibuk menghubungi teman-temannya, maybe lah, yang pasti aku jengkel sejengkel-jengkelnya.
Perasaan kesal semakin memenuhi kepalaku, rasanya pengen mengumpatnya, hp terus di pegangin, istrinya malah di anggurin kayak jemuran kering ga di angkat-angkat. Liat saja ya, aku juga bisa seperti itu. Ku pejamkan mataku kemudian, ku tinggalkan dia yang masih sibuk bermain ponsel, aku memilih berselancar ke dunia mimpi.
Bersambung....
Bangun tidur, suamiku sudah tidak ada di sebelahku, sudah menjadi kebiasaan antara kami, suamiku selalu bangun lebih awal di banding aku, diam-diam ku intip dia dari pintu kamar, mencari keberadaanya, sepi, tak ada tanda-tanda ia ada di rumah.Aku kembali masuk ke dalam kamar, ku ambil ponsel suamiku, Andra, yang masih tergeletak begitu saja di tempat tidur kami. Cepat-cepat ku buka aplikasi pesan, kemudian whatsapp, facebook juga panggilan, tak lupa pula aku periksa kontak ponselnya, membayangkan kelakuanku yang seperti ini seakan-akan aku sudah menjadi maling di dalam rumahku sendiri.Sebatas ini, yang akun perhatikan aman, tak ada yang mencurigakan, setelah semua selesai, aku letakkan lagi ponselnya pada posisi semula. Sebenarnya, Andra tidak pernah keberatan jika aku memeriksa ponselnya, hanya saja aku harus jaga image, jangan sampai dia ke GR'an dan mikir aku terlalu takut dan curiga juga cemburu yang berlebihan, karena sampai saat ini,
Entah sudah berapa kali suamiku bolak balik pulang ke rumah, makan siang, atau sekedar rebahan sebentar saja, aku masih diam saja di dalam kamar tak beranjak, menatap layar televisi, sesekali aku memainkan ponselku, hari ini rasa malas sedang mendominasi tubuh juga perasaanku.Sekitar pukul 3.30 pm suamiku pulang dari bekerja, ia mengganti pakaiannya, meletakkan ponselnya di meja riasku, sudah menjadi kebiasaannya seperti itu."Sayang sudah mandi?" Tanyanya padaku sembari memakai baju kaos oblong warna hitamnya."Belum, sebentar lagi yah, masih seru nih." Jawabku yang masih fokus dengan ponsel, membalas pesan-pesan dari teman-temanku juga keluargaku di kampung halamanku, Bali."Seru apa ayo, chat sama siapa itu? Hmm? Mandi dulu gih, nanti ayah ajak jalan-jalan sore keliling-keliling, liat-liat atau bunda mau belanja-belanja." Ajaknya."Oke, sekarang yah." Jawabku antusias, aku be
Pagi ini aku ada acara perkenalan diri untuk pertama kalinya sebagai istri polisi, di perkumpulan istri-istri polisi yang di sebut Bhayangkari, khusus bagi Bhayangkari di Polsek tempat suami bertugas."Bun, apa ayah anter?" tanya suamiku, berhubung pertemuan dilaksanakan di taman satu-satunya yang ada di wilayah ini, suami menawarkan diri untuk mengantarku."Tidak sayang, kayaknya berangkat sama-sama ini." jawabku, sesuai info di group Bhayangkari yang aku ikuti."Baiklah, pakai topi ya bun, cuaca nanti akan panas." tegurnya."Oke sayang," jawabku seraya memberi kode dengan menyatukan jari telunjuk dan jempolku menyerupai hurup O.Sementara suami bekerja, akupun berangkat ke taman bersama rombongan yang jumlahnya tidaklah banyak. Kurang lebih sekitar 10 orang, setelah aku tahu, tidak semua anggota hadir di karenakan jarak yang jauh juga kesibukan beberapa orang anggotanya."Halo Bu Andra," sapa seseorang padaku, ketika kami sem
Bab 5Terik matahari sudah tinggi, aku dan yang lainnya pulang kembali ke rumah masing-masing setelah mobil yang mengantar kami menurunkan semua ibu-ibu di halaman Polsek."Ibu-ibu saya pamit duluan." Ucapku seraya meninggalkan yang lain dan berjalan mendekati rumahku yang tinggal beberapa langkah lagi dari tempat kami bubar.Aku masuk ke dalam rumah yang hanya di tutup tanpa di kunci, itu artinya suamiku masih di kantor. Aku celingukan menoleh ke arah kantor suami, mataku berselancar mencari tahu keberadaan suamiku yang tidak ku temukan, mungkin dia ada di dalam ruangan.Aku bergegas masuk ke dalam rumah, ku ganti pakaianku dengan daster, ngomong-ngomong soal daster, suamiku paling tidak suka jika aku menggunakan daster, ia sering ngomel saat melihatku memakai pakaian santai itu, katanya itu mengundang bahaya, entah maksudnya apa. Aku masuk kamar, kemudian mengambil hp merk anuku dan membuka aplikasi hijau. Ku cari nomor atas nama 'sayang' yang tak lain
Sore, seperti biasa suamiku menyempatkan diri untuk pulang, hari ini dia piket 24 jam sampai besok pagi. "Ayah piket?" tanyaku menyambut kesayanganku pulang "Iya sayang, bunda mandi dulu, ayah mau cuci piring dulu, sebentar ayah ajak keluar sebentar buat beli makan malam," ucapnya, ia bergegas mengganti pakaian kerjanya beralih menggunakan kaos oblong dan celana pendek selutut. "Oke," jawabku, namun aku tak kunjung beranjak. Aku masih mengintipnya sampai benar-benar pergi ke belakang untuk mencuci piring. Ponselnya sudah di letakkan di meja riasku seraya ia sambungkan dengan chargenya untuk mengisi daya. Mau intip hp ayah dulu ah, liatin statusnya di privacy khusus diliat aku aja apa semua orang bisa liat nih, awas aja dia aneh-aneh. Setelah merasa aman dari pandangan suami, aku segera mengambil ponselnya, ku buka aplikasi W******p dan melihat storynya.
Bab 7Lepas piketnya suami adalah kebahagiaan bagiku. Aku bisa bangun agak siang, walau dia lelah sehabis jaga malam, ia tetap akan bangun lebih pagi di banding aku (kalau kondisi kantor aman, atau tidak ada laporan, biasanya yang piket bisa pulang dan istirahat lebih awal, tengah malam atau pagi buta).Ku kerjap-kerjapkan mataku sedemikian rupa, aku tak tahu suamiku pulang jam berapa. Entah tengah malam atau tadi pagi, ku pandangi jam dinding, sudah menunjuk angka 7. Aku bergegas bangun dan ku tinggalkan tempat tidur yang masih berantakan.Setelah buang air kecil dan mencuci muka, aku berjalan perlahan ke arah dapur. Suamiku sudah berada disana, sedang mengiris bawang merah, dan menyiapkan bumbu-bumbu lainnya, dia memang sangat jago memasak, aku kalah dibandingkannya."Pagi tuan putri, sudah bangun sayang?" sapanya, dilemparkannya senyum manis terbaiknya untukku, itu sungguh menjadi mood booster buatku setiap hari."Ayah masak apa?" tanyaku.
"Bun, ayah main sebentar ya? Ke belakang masjid." Suamiku memang sering banget ke tempat temannya yang berada di belakang masjid, biasanya tidak lama, hanya sekedar ngobrol sebentar, lalu akan pulang Lagi."Oke sayang." Jawabku.Aku teringat saat awal menikah, dan baru sampai di tanah Papua, ia pamit pergi ke belakang masjid, "Bun, sebentar ya? Nanti ayah pulang," pamitnya kala itu."Oke sayang, jangan lama ya, bunda takut sendiri," jawabku.Iapun pergi dengan mengendarai sepeda motor maticnya, sementara aku kembali masuk ke dalam kamar, menonton televisi dan bermain ponsel. 1 jam, 2 jam, dia tak kembali pulang, 3 jam, 4 jam, belum juga ada tanda-tanda suamiku akan pulang.[Ayah, kok lama sekali? Jam berapa pulang? Cepat pulang, ini sudah malam.] ku kirim pesan padanya, namun, pesan itu tak di jawabnya, di bacapun tidak.Ku coba lakukan panggila
Ueekkkkk ... Ueeekkkkk ... Pagi-pagi aku sudah nek, mual muntah ga jelas, padahal makan teratur, apa bisa yah maag kambuh, padahal makan sudah teratur gini?"Bunda kenapa sih?" tanya suamiku yang masih berbalutkan selimut."Masuk angin apa yah?" jawabku yang masih menahan mual-mual, wajahku sudah pucat pasi, dadaku terasa sesak karena lelah muntah-muntah."Jam berapa ini? Ayah siap-siap dulu, hari ini ayah ngantor sebentar, nanti ayah ijin antar bunda ke klinik, kita periksa ya," ajak suamiku."Baiklah sayang, ini sudah jam 7," jawabku, aku duduk di pinggir ranjang sambil berusaha menormalkan nafasku yang agak ngos-ngosan."Oke, ayah mandi dulu, bunda tidak usah masak ya, nanti kita beli aja sarapan."Suamiku berlalu, menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya, kebetulan aku sudah cantik, ehh, enggak, maksdnya sudah bersih dan wangi