Pantatku jatuh ke sebuah permukaan yang lembut dan tebal, tetapi empuk sekali. Rasanya seperti tertarik masuk ke dalam pusaran lumpur dan susah untuk bangkit keluar. Ada hawa dingin yang keluar dari sebuah alat persegi panjang yang terpasang di sudut teratas bagian kiri kamar, membuat tubuhku kedinginan begitu pertama kali masuk ke sini. Sementara itu, selimut berwarna putih yang hampir setebal kasur di rumahku, agaknya memang dingin karena terbuat dari bahan khusus, jauh berbeda dari sarung kumal peninggalan Bapak yang setiap malam kupakai sebagai gelung badan.
Meski selama ini kamar ini kosong, tetapi Mbak Ajeng tidak luput mengisikan perabot di setiap sisi, sama seperti di kamarnya. Bedanya, ukuran kamar ini tidak terlalu besar. Jika warna-warna di seluruh dinding di rumah ini didominasi warna krem, di kamar ini justru warnanya putih polos. Mungkin, karena memang ini diperuntukkan bagi tamu yang hendak menginap.
Begitu sampai di rumah ini, Mbak Ajeng membawa Lio ke
“Fatma, aku sengaja membeli ini karena gaya berbusanamu tidak jauh dari ini. Bagaimana?”Mbak Ajeng membongkar satu per satu kardus, kemudian menunjukkan banyak baju baru kepadaku. Kaus-kaus berlengan panjang, rok denim semata kaki, kemeja lengan pendek, juga celana bahan berwarna monokrom. Sekaligus pula, dia gunting label-label merek dan harga, lantas memasukkan asal ke dalam keranjang baju. Dia juga bilang, baju-baju itu harus dicuci terlebih dahulu sebelum bisa kukenakan.“Besok Bi Par akan mengurus cucian ini. Tapi, karena besok Mbok Sami libur, maka kamu harus membantuku memasak, ya!” Dia tersenyum lebar.Aku mengangguk sekilas, sedangkan Mbak Ajeng tidak berhenti mengobrak-abrik kardus. Kali ini dia tertawa kecil sambil menunjukkan sekotak alat rias. Satu kuas disapu-sapukan ke pipinya yang bersinar, seakan-akan memberi contoh bagaimana cara menggunakan alat itu. Kemudian beralih pewarna bibir, bedak, juga pewarna-pewarna lainnya.
Bab 1: KesempurnaanNamanya Ajeng Warih Kinasih. Wanita yang katanya sudah berusia tiga puluh dua tahun, tetapi tampak lebih muda dariku—yang baru dua puluh tiga tahun. Saat dia menyelipkan anak rambut di daun telinga, aku bahkan tidak melihat ada garis jejak kaki burung gagak di sudut matanya. Dua kali bertemu dengannya, dia selalu berpakaian rapi layaknya wanita berpendidikan tinggi. Wangi parfum yang tercium berkat gesekan kain pembungkus badannya, juga meninggalkan jejak yang membuat kepayang.Terkadang aku berpikir, Mbak Ajeng ini manusia atau malaikat? Dia terlihat sempurna sebagai wanita. Tak hanya cantik secara fisik, dari suaranya yang bak nyanyian bidadari, dapat kusimpulkan kalau hatinya juga sebening zam-zam. Setiap kata dari bibir ranumnya yang terpoles pewarna merah kecokelatan, selalu teriring tanjakan sudut bibir. Belum lagi kulit pipinya yang licin walau tanpa bedak, tampak tirus diapit helai-helai rambut panjang bergelombang.
Aku. Aku hanya seorang perempuan yang sejak kelahirannya tidak pernah mengenal ibu. Kata Bapak, ibuku mengalami preeklampsia sesaat setelah melahirkanku. Bapak pulang dari rumah bidan masih dengan aliran air mata. Sambil menggendongku, dia berusaha mencampurkan beberapa tetes susu kental manis kalengan dengan air hangat yang telah dijerangnya di kompor minyak tanah. Katanya lagi, aku baru berhenti mengoeek setelah sesendok demi sesendok air campuran berwarna putih itu masuk ke mulutku.Lepas aku tertidur, dia meletakkan aku dari gendongan ke dipan bambu satu-satunya di rumah ini. Ketika malam, dia menangis sembari menyalakan damar—sebab saat itu belum terpasang aliran listrik di kampung ini. Hmm, Bapak menangis mengingat istrinya telah berpulang ke pangkuan Ilahi, sedangkan aku baru menikmati malam kesatu kelahiranku.“Ibumu cantik, sama seperti dirimu, Fatma. Kelak, walau bapak tak bisa berbuat banyak untukmu, jadilah wanita baik-baik.” Begitulah set
Darah menetes dari hidungku dan nyeri di kepala bagian belakang menyebabkan pandangan berkunang-kunang. Tadinya hanya segelas kopi yang menyiram wajahku, tetapi saat pria itu mendorong tubuhku hingga aku menggulingkan meja berkayu lapuk itu, seluruh makanan yang kusiapkan ikut menempel di badan. Bajuku jadi berwarna sambal, putih-putih bulir nasi melekat di rambut, dan hijau sayur daun ketela rambat tersangkut di lengan begitu air kuahnya menetes habis.“Kamu mengundang seorang teman tanpa ijinku? Siapa wanita itu? Dari dinas sosial, ‘kan? Mengadu apa, heh?” Pria itu menempelkan pelipisku ke tembok dengan kasar.Sudahkah kalian tahu nama pria itu Surya? Artinya matahari. Nama yang terlalu berharga untuk pria bengis macam dia. Pernah aku melamun, membayangkan akan memberi nama anak lelakiku serupa itu. Biar keturunanku kelak menjadi seorang yang bersinar dan menyinari layaknya matahari. Namun, bilamana Surya menginjak dadaku secara paksa hanya untuk me
Pernah, pada suatu Minggu pagi yang cerah, Bapak libur mengangkut sampah. Aku yang masih kelas tiga sekolah dasar diajaknya berjalan-jalan tanpa gerobak besi bercat hijau. Itu hal yang menyenangkan sekali, sebab untuk pertama kalinya aku menggandeng tangan Bapak tanpa bau busuk menyertai.Kami berjalan sampai jalan raya dan menunggu sampai pukul tujuh tepat di halte bus. Kendaraan lalu-lalang di hadapan, sungguh membuatku takjub. Lucunya, aku sempat berangan-angan akan membelikan mobil untuk Bapak—kelak, saat aku dewasa dan menjadi orang kaya.Sebuah bus berukuran sedang berhenti, beberapa orang berdesakan turun. Sejurus itu, Bapak meraih tubuh kecilku sehingga aku menapak lebih cepat di dalam bus. Detak di dadaku bertalu cepat tetapi menyenangkan iramanya. Saat Bapak sudah mendapatkan tempat duduk, dia memangkuku. Ah, aku bisa melihat dengan jelas kendaraan dan orang-orang berseliweran di trotoar dari kaca jendela bus. Pohon-pohon di tepi jalan—meski berdi
Ajari aku rasa, pun geliat dalam dadaBisik berdersik biarpun angin tak menggelitikKuncup merekah di tiap langkahAjari aku mengolah gelisah buang gelebahRindu teramu walau dunia jemuMekar di tangan kekar tanpa kelakarPria. Apa hari ini adalah hari pria? Ataukah hari ini adalah hari pengagungan wanita? Aku menanyakan ini karena ada hal tak biasa sedang terjadi.Aku duduk manis di kursi kayu sesuai perintah Surya. Namun, dia tidak mengikat tanganku ke belakang dengan sobekan kain rokku—seperti biasanya, kalau mendapati aku tak ada di rumah ketika dia pulang. Dia juga tidak melepas sabuk hitam dari kolong sabuk celananya. Tak ada gamparan, tak ada cacian. Luka yang hampir mengering berkat salep Dokter Pandri juga tidak mengucurkan darah lagi.Surya mondar-mandir. Mulai dari membereskan kamar, mencuci piring, menyiapkan makan malam, juga menyapu rumah, dilakukan dengan tangannya sendiri. Setia
“Seekor harimau menjadi kucing jinak?” Mbak Ajeng mengangkat satu alisnya, lalu kembali berkata, “Itu bukan keajaiban, Fatma, tapi rencana terselubung!”“Awalnya aku juga ragu, Mbak. Namun, hingga detik ini Surya memperlakukanku dengan sangat baik. Dia benar-benar berubah.”Mbak Ajeng terdiam sejenak. Dia melirik sekilas jam berbentuk persegi panjang kecil di tangan kirinya—yang tampak mewah karena berwarna keemasan, lantas berdecak pelan.“Mbak terburu-buru, ya? Aku belum buatkan teh, lagi pula cuaca tidak sedang hujan. Mbak Ajeng juga bawa mobil. Kenapa tidak menunggu sebentar lagi, sampai Surya pulang?”“Ehm, tidak bisa, Fatma. Lain kali saja. Hari ini jadwalku mengantar Lio ke tempat terapi. Beberapa hari ke depan aku juga sibuk ke luar kota. Aku pasti akan banyak mencemaskanmu.” Mbak Ajeng menarik lebar sudut bibirnya. Namun, entah kenapa matanya malah berkaca-kaca.Kupikir, den
Kalau aku memiliki anak, maka akan kuperlakukan dia jauh lebih baik dari Bapak memperlakukan aku. Ini bukan berarti dia kurang baik sebagai ayah, hanya saja aku ingin lebih hebat sebagai seorang ibu. Seumpama Bapak memeluk penuh kasih sayang saat aku lahir ke dunia ini, maka cinta kepada anakku sudah berkembang sejak benih Surya berbentuk segumpal darah dalam rahimku. Andai kata orangtua tunggalku itu menjaga bayi Fatma karena terpaksa—sebab istrinya telah tiada, maka aku menjaga janin ini dengan ikhlas hati—sebab untuk dialah aku masih bertahan hidup di dunia ini.Aku mendongak ke tembok atas ruangan bercat putih. Ada layar semacam televisi tetapi didominasi warna gelap, hanya sedikit warna putih membentuk segitiga dan bulatan kecil di tengahnya. Ada tulisan kecil-kecil di sisi kiri bawah yang menumpuk, tetapi mataku tak bisa membacanya dari jarak jauh. Meski bisa terbaca pun, belum tentu aku mengerti maksudnya. Saat seorang perawat menempelkan alat-alat medis di