Share

Bab 5

Ajari aku rasa, pun geliat dalam dada

Bisik berdersik biarpun angin tak menggelitik

Kuncup merekah di tiap langkah

Ajari aku mengolah gelisah buang gelebah

Rindu teramu walau dunia jemu

Mekar di tangan kekar tanpa kelakar

Pria. Apa hari ini adalah hari pria? Ataukah hari ini adalah hari pengagungan wanita? Aku menanyakan ini karena ada hal tak biasa sedang terjadi.

Aku duduk manis di kursi kayu sesuai perintah Surya. Namun, dia tidak mengikat tanganku ke belakang dengan sobekan kain rokku—seperti biasanya, kalau mendapati aku tak ada di rumah ketika dia pulang. Dia juga tidak melepas sabuk hitam dari kolong sabuk celananya. Tak ada gamparan, tak ada cacian. Luka yang hampir mengering berkat salep Dokter Pandri juga tidak mengucurkan darah lagi.

Surya mondar-mandir. Mulai dari membereskan kamar, mencuci piring, menyiapkan makan malam, juga menyapu rumah, dilakukan dengan tangannya sendiri. Setiap aku hendak bangkit dari duduk, dia acungkan telunjuk, memintaku duduk dan melihat saja. Bahkan aku tak boleh bergerak walau sekadar ingin mengganti baju. Bagaimana aku tak dibuat heran?

Saat bulan penuh muncul dan membiaskan cahaya yang kemudian menyusup lewat rerantingan pohon mangga, Surya yang mendadak sejinak merpati itu menyilakanku duduk di meja makan. Makanan ala kadarnya tampak istimewa karena yang memasaknya adalah pria itu. Dia yang sudah mandi dan menguarkan bau wangi, terlihat lebih tampan dari biasanya.

“Ayo kita makan, Fatma!”

Aku tercenung, dalam hati buntut-buntut curiga mengekor panjang. Nyatakah? Apa benar dia suamiku? Sampai berapa lama dia menjadi pria menyenangkan seperti ini? Apa dia menyimpan rencana jahat di balik semuanya? Apa aku hanya dijebak untuk sebuah permainan tersembunyi?

“Fatma, kamu tak mau makan masakan suamimu?” Surya mengencangkan suaranya.

Aku terperanjat. Sadar—diamku bisa saja memicu kemarahannya, aku mengangguk pelan dan menarik piring yang disajikan Surya agar lebih dekat dengan dadaku. Aku tak mau dia tahu betapa gemetarnya tangan ini. Mengunyah satu suapan terasa lama dan tak nikmat. Entahlah, otak kananku wawas kalau-kalau ada racun yang sudah menyatu dalam makanan. Mungkin ini berlebihan, tetapi Surya memang pantas dicurigai.

“Hari ini aku menjadi kuli panggul di pasar. Lumayan hasilnya karena pasar sedang ramai.” Surya bercerita dengan tenang sambil melahap nasinya, sama sekali bukan seperti biasanya. Perasaanku jadi semakin gelisah.

“I–iya.” Aku menjawab sekenanya walau gugup sekali.

“Fatma, kamu pergi ke mana tadi?” tanyanya santai.

“A–aku, oh ... aku ....”

“Hemm, kamu sepertinya pergi berobat. Pelipismu diplester. Benar, ‘kan?”

Aku mengangguk pelan. Kali ini nafsu makanku hilang seketika. Aku sangat cemas. Bagaimana kalau Surya tahu ke mana pergiku tadi?

Surya berhenti mengunyah, lalu cepat-cepat meneguk air putih. Raut mukanya tiba-tiba memerah. Dia menautkan alis, terdiam sejenak. Setelahnya, dia kembali bicara. “Kamu tidak lapor ke polisi atau bilang ke orang-orang, ‘kan, Fatma?”

Aku menjawab cepat, “Tidak.”

“Bagus! Habiskan makananmu!”

Aku menarik napas lega. Sepertinya tidak akan ada penyiksaan malam ini. Kami makan dengan tenang tanpa suara lagi. Selesai makan pun, Surya tidak membiarkan aku membereskan piring-piring kotor. Dengan sigap dia mengambil alih tugasku. Aku disuruhnya mandi dan bersiap di kamar.

Meski perubahan Surya cukup mencengangkan, tetapi aku tak mau ambil risiko dengan menaruh banyak kecurigaan. Aku patuh dan melaksanakan semua kata-katanya. Hanya saja, sebelum melayani pria itu, aku tetap harus bersiap.

Kelar mengganti baju, aku berjongkok di di depan lemari. Tanganku masuk ke kolong lemari dan berusaha menggapai-gapai sesuatu. Satu-dua menit terasa mendebarkan. Tidak, tidak mungkin! Apa yang kucari tidak ada di tempatnya!

“Cari apa, Fatma?”

Jantungku hampir saja berhenti berdetak. Sekonyong-konyong aku berdiri dan berbalik badan begitu mendengar suara Surya. Darahku berdesir cepat.

“Ti–tidak ada. Tidak,” ucapku terbata-bata.

“Kemarilah, Fatma!” Surya menarik tanganku lembut.

Dia mencium dengan hati-hati, seakan-akan tidak mau membuat luka di tubuhku tersentuh bibirnya. Tangannya bergerilya dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia menikmati permainannya, sedangkan aku masih gelisah memikirkan di mana benda itu berada. Mana bisa aku bercinta malam ini?

Surya semakin beringas. Sulit bagiku untuk lepas, bahkan meski sekadar berencana. Dadaku semakin bergemuruh, dan lebih hebat rasa cemasnya tatkala Surya mengucapkan satu kalimat sambil mengecup tengkukku. “Aku ingin punya anak darimu, Sayang.”

❤❤❤

Apa ini hari pria? Kenapa hari ini kaum Adam itu memperlakukanku dengan baik, sebaik bapakku dahulu? Kenapa, kenapa tidak setiap hari saja begini?

Semakin malam aku semakin gelisah, takut andai benih Surya telah sampai di dalam rahim. Aku juga takut kalau manisnya Surya hanya untuk malam ini saja. Pil kontrasepsi tidak ada di tempatnya, siapa lagi yang mengambil kalau bukan dia? Setelah aku hamil, bisa saja pria itu membalas dendam lebih kejam kepadaku. Kalau sudah begitu, aku harus bagaimana?

Tanpa sadar jemari meremas perut. Aku menangis dalam sunyi sembari melirik pria yang sudah mendengkur itu. Sungguh, aku tak akan sampai berkhayal mendapatkan pria yang lebih baik darinya, jika saja dia benar-benar berubah.

Akan indah dijalani, andai saja Surya adalah pria sebaik Dokter Pandri. Pria yang bukan lagi tampan, tetapi baik kepribadiannya. Tak perlu sekaya dia, asalkan pandai menghargai wanita. Pria yang tahu cara dan waktu memuliakan pasangannya, itu jauh lebih penting daripada harta yang melimpah, bukan?

Ah, berpikir tentang suami Mbak Ajeng itu membuatku tersenyum sendiri. Aku jadi ingat kejadian menjelang magrib—saat dia mengantarku pulang. Tadi, di dalam mobil dia berusaha melucu agar aku tertawa.

“Tahu tidak? Apa bedanya kamu dan Ajeng?” katanya sambil tersenyum.

Mataku membulat, ada sensasi perih di luka saat pelipis berkerut. “Tentu saja sangat berbeda, Dok. Saya hanya kotoran di ujung kuku Mbak Ajeng.” Aku bicara seperti itu sambil menunduk.

“Salah, Fatma. Oh, ya! Jangan terlalu kaku bicaranya. Santai saja!” Dokter Pandri tertawa lebar.

Senyumku muncul satu simpul. “Jadi apa jawabannya?” tanyaku balik.

“Berada di dekatku, Ajeng tidak akan sediam kamu. Dia akan mengoceh dari kutub utara sampai kutub selatan sambil mencubit-cubit tanganku.”

Spontan, aku tergelak. “Hah, tentu saja, Dok. Mbak Ajeng, kan, istri Dokter. Dan aku ... bukan istri Dokter.”

“Apa dengan suamimu, kamu akan selalu tertawa?”

Aku melongo. Lalu, kembali menunduk. Apa pertanyaan Dokter Pandri belum cukup terjawab oleh luka yang telah diobatinya?

“Fatma, istriku sangat mengkhawatirkanmu. Kamu tahu itu?”

Ya, aku tahu itu. Meski aku dibuat bertanya-tanya—kenapa Mbak Ajeng sangat mencemaskanku, aku paham betapa wanita sempurna itu tidak mau aku disakiti Surya lagi. Aku pun sadar, menunjukkan luka kedua kalinya di depan Mbak Ajeng, sama artinya dengan mengecewakannya. Namun, kenapa Dokter Pandri jadi ikut membahas hal ini?

“Ehm, Dokter ... tahukah, apa bedanya Dokter dengan Mbak Ajeng?” Aku mengalihkan pembicaraan.

Dokter Pandri mengulum bibirnya. Sambil tetap menyetir, dia teleng kanan dan menatapku. Dia menjawab, “Aku pria, dan Ajeng wanita. Jelas sekali itu!”

“Salah!” selorohku.

“Lalu, apa?”

“Mbak Ajeng mengkhawatirkanku dengan air mata, tapi Dokter dengan gurauan. Itu ... lucu sekali.”

Dokter Pandri mungkin terjebak dengan jawabanku. Ah, rasanya menyenangkan melihatnya terbengong-bengong sambil menggaruk-garuk kepala. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya dia tertawa juga.

“Baguslah, Fatma! Aku bisa lapor pada Ajeng, bahwa perempuan yang dicemaskannya bisa tertawa berkat aku!”

Ya, baguslah! Setidaknya, Mbak Ajeng tidak akan khawatir lagi terhadapku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status