Rombongan mahasiswa fakultas Ilmu Budaya itu telah siap. Mereka semua sudah berkumpul di kampus. Bus yang akan mengantar mereka juga sudah tiba sedari tadi. Beryl telah mengatur tempat duduk untuk rombongan yang ikut riset. Ririn juga ikut dalam rombongan itu. Wajah Ririn terlihat cerah. Dan Bu Liana tetap seperti biasanya, angker. Namun tetap cantik. Mata Bu Liana begitu acuh mengamati keadaan di sekelilingnya. Bahkan tak mau menyinggahkan pandangannya sedikit pun ke arah Beryl. Juga saat Beryl mempersilakannya duduk di bus di kursi paling depan, tak satu huruf pun dia menjawab.Tempat yang akan mereka tuju untuk mengadakan riset yaitu di daerah sekitar Gunung Bromo. Mereka akan meneliti kawasan industri dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat di sekitar BromoBus yang membawa mereka telah melaju meninggalkan kampus Unair. Beryl duduk di kursi deretan paling belakang bersama Joni.“Tolong kamu urus Ririn selama pelaksanaan riset,”
Lidya masih terdiam. Perempuan setengah baya yang menjadi ibu kostnya itu menatapnya. Setiap kedipan mata yang dilakukan Lidya selalu tertangkap oleh perempuan itu.“Bagaiamana menurutmu tentang cowo yang tadi, Lidya?”“Lidya hanya mengangapnya sebagai teman, Bu.”“Baguslah kalau Lidya hanya menganggapnya seperti itu. Demikian juga dengan dia. Tapi kalau dia punya perasaan yang beda, kemudian tunanganmu dating?”Kembali Lidya diam. Pelan-pelan Lidya mengalihkan pandangannya kepada perempuan setengah baya itu.“Jujur Lidya, ibu kurang simpati pada cowo gondrong tadi. Kamu perlu hati-hati. Siapa tahu saja dia mengira mendapatkan angin segar darimu. Meskipun ibu ini hanya ibu kostmu, ibu tetap berharap Lidya menjadi gadis yang baik. Jangan menjadi perempuan yang suka mempermainkan laki-laki.”“Selama kami kenal, kami tak pernah mempermasalahkan soal cinta, Bu.&rdquo
Kelompok mahasiswa yang melakukan riset di sekitar kawasan Bromo, Probolinggo, Jawa Timur masih terus berlanjut sampai beberapa hari ke depan. Serangkaian kegiatan dengan masyarakat desa setempat telah mereka laksanakan. Mereka harus mengunjungi satu desa ke desa yang lain, demi mengumpulkan kelengkapan data. Mereka beralih dari satu tempat ke tempat yang lain yang ada di kawasan Cemoro Lawang.Dari belakang, Beryl mengiringi langkah Bu Liana yang tengah berjalan di bawah naungan sang surya. Namun, panas matahari itu tetap tak terasa bagi mereka karena kawasan yang dingin di daerah itu. Meskipun begitu kulit bersihnya Bu Liana terlihat kemerahan. Wajah dosen muda itu juga terlihat ceria. Rambutnya dibelai angin kemarau.Beryl dan Bu Liana masih berjalan tanpa bersuara. Beryl tahu pasti Bu Liana sudah merasa capek. Jalanan berbatu, menanjak dan menurun.“Siapakah yang memimpin riset untuk desa yang di sana?” tiba-tiba saja Bu Liana
Pagi itu matahari mulai muncul dari balik gunung Bromo. Semburatnya membuyarkan embun-embun pagi yang menelimuti daerah sekitarnya. Di atas rerumputan yang ada di depan rumah tempat rombongan mahasiswa itu menginap masih terlihat kristal-kristal embun bak mutiara yang indah. Beberapa mahasiswa telah meninggalkan kamarnya untuk menikmati sejuknya udara pagi di pegunungan. Mereka terlihat lucu, di antaranya ada yang berkerudung sarung layaknya penduduk desa itu. Yang lebih gila lagi, di antara mereka pun ada yang meniru kebiasaan warga desa setempat yang sambil duduk-duduk dengan menghisap rokok lintingan sendiri. Warga desa biasa menyebutnya rokok “tingwe” (Nglinting dewe). Udara yang cukup dingin di desa itu membuat mereka bermalas-malasan untuk segera memulai aktivitas.Namun, di antara mereka semua sangat berbeda dengan yang baru saja dilakukan oleh Beryl. Beryl telah pulang dari pancuran untuk mandi. Dan kali ini dia mengendap-endap kamar Joni. Ternyata J
Matahari semakin melangkah melewati pucuk-pucuk pinus dan cemara. Pandangan mata mereka berdua sering bertabrakan. Bu Liana terlihat bahagia dengan senyumnya yang mengembang. Mereka tengah asyik melanjutkan makan coklat.“Andai saja dari dulu saya tahu ternyata Bu Liana sebaik ini,” kata Beryl yang diiringi dengan tawa.“Andai saja juga dari dulu aku tahu kamu tidak sebrengsek yang aku duga,” jawab Bu Liana sambil mencubit lengan Beryl.“Lalu, sekarang?” Tanya Beryl sambil memberikan remasan di jari tangan perempuan yang menjadi dosennya.Bu Liana membalas remasan Beryl. Kemudian mereka berdua saling memberikan remas
Di kamar penginapan itu, Beryl berbaring. Pikirannya menerawang menatap langit-langit kamar. Dia sedang memikirkan Ririn. Cewe terkutuk! Hina sekali perbuatannya. Begitu beraninya dia bercinta dengan sahabatku sendiri.“Tapi, sebentar. Kenapa juga aku harus marah? Bukankah aku sendiri tidak lebih baik dari Ririn. Sudah berapa kali juga aku maninggalkannya untuk perempuan lain? Lalu, apa hubungannya jika sekarang Ririn harus bercinta dengan cowo lain?”Di tengah Beryl masih sibuk melamun, suara langkah kaki mendekat masuk mendekatinya berbaring. Dia merasakan juga tengah ada seseorang yang berbaring di sampingnya. Beryl diam saja, tak menyapa orang. Dia tahu siapa yang berba
Pulang kembali ke kota Surabaya yang gersang dan panas. Masih dengan hawa kemarau yang mulai mencekik. Tapi semua kegersangan itu, sangat tidak berarti bagi Beryl di sore yang cerah itu. Sudah tiga kali dia menekan bel ruang tamu di tempat kost Lidya. Beryl telah menunggu beberapa saat. Pintu terbuka. Perempuan setengah baya pemilik tempat kost itu telah menyambut Beryl di ambang pintu. Mata perempuan itu tampak dingin. Bahkan ucapan, “Selamat sore” dari Beryl juga tidak dijawabnya.“Lidya sedang tidak ada.” Kalimat yang diucapkan oleh perempuan setengah baya itu.Beryl masih berdiri dengan canggung.“Silakan duduk dulu,” kata perempuan it
Beryl hanya mengiyakan ketika temannya nerocos berucap sesuatu. Pikiran Beryl masih melayang pada kepolosan Lidya.“Ah, cewe Jawa. Begitu sopan, sangat ramah, dan menjunjung tinggi tata krama. Tapi, tak ada yang tahu juga apa yang ada di hatinya. Mas Beryl begitu sombong sekarang. Kenapa tak mau lagi datang ke tempat kost? Kenapa, sih Mas? Ah, kepolosan yang begitu sempurna, begitu apa adanya,” pikir Beryl.Beryl melangkah hanya dengan separo hati. Yang separo masih tetap tertinggal bersama Lidya.“Lidya memintaku datang. Tapi hanya untuk mendengarkan hinaan dan ceramah dari ibu kostnya?” kata Beryl tanpa bersuara.“Kedatanganku hanya untuk mendengarkan cerita tentang kesuksesan calon suaminya?” gerutu Beryl yang sambil membu