Share

Pemilik The Lion Bank

Joandra yang tak perduli langsung masuk ke dalam lift dan langsung naik ke lantai atas di mana ruangan sahabatnya itu berada.

“Tuan sudah membuat janji?” tanya sang Sekretaris yang juga sudah sangat dikenal Joandra. Wajah wanita itu terlihat pias melihat Joandra tak menggubrisnya dan langsung melangkah ke arah pintu ruangan khusus CEO.

Cklek!

Joandra langsung membuka pintu itu tanpa mengetuk sama sekali.

Joandra berdiri terpaku menyaksikan ada 4 sahabatnya di dalam sana yang 3 diantaranya sudah dihubungi tadinya. Ada 4 wanita berpakaian kurang bahan yang tampak sedang duduk di samping masing-masing sahabatnya, yang tampaknya sedang menenggak minuman sore-sore seperti ini.

“Dika, kamu di sini juga?” tanya Joandra pada sahabatnya Handika yang tadi tak dihubunginya.

Tentu saja keempat sahabatnya itu sudah mengetahui, dan mungkin juga sudah membicarakannya sejak tadi.

“Lancang sekali Lu masuk tanpa ijin dariku, Jo?!”

Davinson berteriak kencang sambil berdiri dari duduknya. Menatap horor ke arah Joandra, bergantian melihat ke arah sekretarisnya yang kini sudah menunduk di samping Joandra.

“Gua pikir Lu ... eh maksudnya kalian, gak ada di sini. Bukannya tadi kalian semuanya sangat sibuk?” ucap Joandra masih dengan nada santai.

“Ya kami memang sangat sibuk. Sibuk menikmati hidup kami!” ucap Davinson dengan nada sombongnya.

Hahaaa!

Terdengar suara tawa yang menggelegar dari sahabat Joandra. Suara tawa yang membuat pukulan-pukulan mendarat tepat di dalam dada Joandra yang membuatnya menjadi merasa begitu sesak. Rasa kecewa bermunculan dan itu bertubi-tubi menghantam perasaan Joandra dengan telak.

“Lu jangan ganggu kami lagi deh, Jo. Jangan hubungi kami lagi buat pinjam duit. Duit kami memang banyak, tapi itu untuk kami nikmati bukan buat minjemin ke Lu!” sarkas Marvel terlihat kesal pesta mereka terganggu oleh kedatangan Joandra.

“Kalau sudah pailit ya pailit aja. Bankrut ya bankrut aja. Jangan ajak dan seret kami donk! Jangan datangi kami seperti ini lagi, nanti kami ketiban sial kayak kamu!” kali ini Davinson kembali berkata penuh nada angkuh.

“Hahahaaa!”

Hanya Handika yang tak mengatakan apa pun sejak tadi. Entah sahabatnya itu masih mengenang budi jasanya, atau hanya enggan membuang tenaganya. Entahlah.

“Seperti ini kalian menyambutku yang selama ini banyak membantu kalian?”

Satu kalimat itu yang terucap. Dan Joandra menahan rasa sesak yang semakin bertalu-talu di dalam sana.

“Bantuan? Emang kami yang minta? Lu sendiri juga kan yang ingin bantu. Kalau sudah bantu itu yang ikhlas, jangan ditagih lagi. Pantes Lu jadi sial dan bangkrut begini! Ingat ya, mulai hari ini Lu jangan gangguin kami lagi. Lu sudah gak cocok berteman dengan kami yang Sultan!”

Hahaaa!

“Mulan! Mana Satpamnya?! Seret pria miskin ini dari sini sekarang juga!”

Sejak tadi Davinson berkata panjang lebar dan mengakhirinya dengan sebuah hinaan yang tak terbayangkan oleh Joandra.

Joandra menyengir. Sebelah ujung bibirnya terangkat hingga gigi putihnya itu terlihat jelas. Kedua mata elang itu semakin memerah menahan amarah dan segala rasa yang saat ini bertubi-tubi menyerang bahkan menghunus ke jantungnya.

“Tak perlu, Aku bisa berjalan keluar sendiri dari sini. Seperti yang kalian katakan, mulai detik ini Aku bukanlah sahabat dan teman kalian lagi. Aku janji, sebisanya tak akan menghubungi dan meminta bantuan kalian lagi. Terima kasih untuk hari terbaik ini. Aku tak akan melupakannya!”

Suara tawa kembali terdengar menggelegar.

Joandra berbalik dan langsung berjalan pergi. Kedua rahangnya yang sejak tadi mengeras membuat Joandra mulai merasa lelah yang sangat.

‘Sungguhkah aku sebegitu buruknya di mata kalian saat ini?! Oke, baiklah. Kita lihat bagaimana Tuhan mempermainkan Kehidupan selanjutnya setelah ini.’

Ada rasa kecewa yang sangat, dan Joandra menyunggingkan senyum penuh misteri dengan kedua matanya yang terlihat memerah oleh rasa pedih penuh kekecewaan.

-

Ruang khusus yang ada di Hotel mewah itu dibuka oleh dua pelayan. Tampak anggota keluarga besar Raharja dipersilakan dengan hormat masuk ke dalam private room yang sangat luas, unik, dan terlihat begitu berkelas.

Mendengar tidak ada limit dan ketentuan jumlah orang yang boleh pergi ke sana, mereka semuanya tak menyiakan kesempatan emas itu. Bahkan paman Hendro dan paman Faisal membawa istri serta putri mereka ke sana. Henaya dan Gizela.

Mereka memang sudah pernah ke Hotel berbintang itu, hanya saja mereka belum pernah masuk ke dalam private room seperti yang saat ini sedang mereka tempati.

Ruangan itu berada di lantai bawah menghadap ke arah taman luas yang ada di bagian depan berbataskan pintu kaca. Dari dalam ruangan itu jelas bisa melihat kolam yang ada di bagian taman itu, dan sungguh nuansa romatis tercipta dengan begitu sempurna akibat lampu-lampu eksotis yang menghiasi temaramnya di luar sana.

Nuansa itu sungguh memukau keluarga besar Kakek Raharja yang selama ini belum pernah menjejaki langkah mereka ke dalam ruangan private premium tersebut.

Ricko datang dan masuk ke dalam ruangan yang sudah dipadati oleh keluarga besar itu dengan langkah panjangnya.

“Selamat malam semuanya. Silakan nikmati makan malamnya terlebih dahulu.”

Ricko berkata santai sambil melihat ke lengan tangan kekarnya di mana jam tangan mahal melingkar di sana.

“Terima kasih, Tuan Ricko. Maaf merepotkan,” ujar Kakek Raharja begitu sopan. Jelas dia harus bersikap lebih sopan, bukankah tujuan Kakek Raharja saat ini untuk masalah pinjaman yang saat itu sudah tidak lolos oleh berbagai persyaratan yang tidak memenuhi. Dan kali ini, sebuah rencana besar sudah membuatnya sangat yakin akan mendapatkan pinjaman tersebut.

“Tidak masalah, Kakek Raharja. Silakan,” ujar Ricko tetap terlihat ramah meski gayanya sedikit cuek.

Makan malam langsung dihidangkan begitu Ricko tiba di sana. Delapan orang pelayan memang sudah dikhususkan mengurus semua konsumsi untuk ruangan khusus tersebut.

Keluarga besar Kakek Raharja mulai makan malam dengan wajah santai.

Selesai makan malam, keluarga itu duduk diam pada tempatnya masing-masing dengan meja panjang yang sudah dibersihkan oleh Pelayan.

“Tuan Ricko, Apa Pemilik The Lion Bank akan datang menemui kami seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya?”

Kakek Raharja mulai merasa gundah ketika melihat jam yang sudah hampir menunjukkan pukul sembilan malam, tapi bayang-bayang orang hebat yang sedang ditunggunya sejak tadi belum juga tiba di sana.

Ya, tentu saja mereka semuanya belum pernah menemui secara langsung orang hebat yang merupakan pemilik The Lion Bank. Selama ini, keluarga besar itu tak ada yang tahu jika perusahaan Raksasa The Lion Group adalah merupakan Pusat yang merupakan satu kesatuan dari The Lion Bank yang merupakan induk dari puluhan cabang Bank yang tersebar ke segala pelosok.

Jika kemarin-kemarin mereka bisa mengandalkan Joandra untuk segala urusan keuangan, itu tidak lagi untuk sekarang. Dan jelas hal itu dikarenakan keadaan Joandra yang kini tak lagi memiliki apa-apa.

Kini harga Walet yang awalnya begitu dominan sebagai pendapatan utama mereka selama ini, bisa langsung turun dengan begitu drastisnya. Mereka juga tak lagi bisa menjual hasil walet itu keluar Negeri. Bahkan saat ini semua pengiriman tak lagi bisa dilakukan. Semua rute Ekspor Walet pun sudah ditutup dengan alasan yang tak masuk akal, yaitu dikarenakan tak ada permintaan dari pihak Luar Negeri lagi. Dan itu artinya mereka harus siap mental jika harus menjual liur burung walet dengan harga yang jelas pasti sangat anjlok.

Mereka hanya tak tahu saja, jika sesungguhnya Joandra sangat berperan besar di sini.

“Tuan Besar sedang tidak di tempat saat ini.”

“A-apa?! Lalu pembicaraan yang sudah dijanjikan sebelumnya bagaimana?!” 

Kakek Raharja bertanya kaget dengan wajah piasnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Gitarius
kawan laknat!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status