Share

Pesona Janda Muda
Pesona Janda Muda
Author: Rassa Vanilla

Kematian

"Tidak! Suamiku tidak mungkin meninggal! Dia hanya berpamitan bekerja ke ladang padaku Mbok Asih." Teriak wanita itu dengan linangan air mata, mendengar kabar kala suaminya mati terjatuh ke jurang dan ditemukan dengan keadaan tidak bernyawa.

"Yang sabar ya Neng, ini sudah takdirnya Allah." Ucap wanita tua yang sedari tadi memeluknya, meratapi kesedihan kala mendengar kabar suami yang baru tiga bulan menikah dengannya sudah tiada.

"Kenapa Mbok? Itu bisa saja kan bukan Kang Sena, Rasti yakin Mbok." Sanggahnya cepat, dia yakin bahwa suami yang sangat dia cintai itu tak mungkin pergi meninggalkannya sendirian di dunia ini.

"Sabar Neng sabar, kita tunggu disini , Pak Kades dan semua warga sedang membawa mayat Sena kesini." Ujar Bu Rum, yang ikut menenangkan Rasti di kediamannya.

Rasti hanya menangis, membayangkan jasad suaminya itu, masih tak percaya kalau suaminya itu terjatuh, bahkan dia begitu sangat hati-hati dan kuat, tau jalan di desa ini yang mana bisa dilewati atau tidak, bahkan jurang itu sama sekali tak pernah suaminya lewati, karena dia tau disana begitu berbahaya. Dan arah ladang yang sedang dia garap bukan kearah jurang itu, malah bertolak belakang, Rasti yakin ada yang berniat buruk terhadap suaminya.

"Jasad Kang Sena sudah tiba!" Teriak seseorang diluar sana.

Ketika jasad itu sampai di rumahnya, Rasti cepat menghampiri ingin memastikan apa itu benar jasad suaminya atau bukan, hatinya masih berharap bahwa itu bukan jasad suaminya.

"Rasti yakin Kang, ini pasti bukan Akang." Gumamnya kala membuka kain yang menutup tubuhnya.

Air matanya kembali turun, tanpa suara, dia seperti tak percaya melihat wajah yang terbujur kaku ini adalah suaminya yang begitu dia cintai, tangisnya pecah, melihat begitu banyak lebam di wajahnya, ada darah di kepalanya, di lehernya, juga di kakinya, Rasti semakin yakin kalau suaminya itu bukan hanya terjatuh, setelah menelisik badan dan wajah suaminya, kini Rasti ambruk, badannya tak mampu lagi menopang, disela tangisnya dia tak sadarkan diri.

Mbok Asih, Bu rum dan beberapa ibu-ibu yang lain membantu Rasti dan membawanya ke kamar untuk dibaringkan.

"Kasihan ya Mbok, disini Rasti tak ada siapa-siapa selain kang Sena, mana masih muda sudah ditinggal mati." Ujar Bu Ratmi pemilik warung di desa ini.

"Iya kasihan, tapi nanti juga nikah lagi dia kan masih terlihat cantik." Bisik Bu Yanti dan diangguki ibu-ibu yang lain.

"Hussss! Kalian ini bukannya prihatin malah gosip!" Tegur Mbok Asih pada ibu-ibu yang lain. Seketika mereka terdiam dan melihat wajah Rasti yang belum juga tersadar.

Mbok Asih membuka kayu putih yang ada di meja samping tidur, menempelkannya kehidung Rasti agar dia segera terbangun.

"Kang.. Kang Sena.." Panggilnya dengan suara parau, air mata terus berlinang di pipinya.

"Mbok, itu bukan Kang Sena kan Mbok?" Tanya Rasti dengan memegang tangan Mbok Asih. Mbok Asih hanya mengusap-ngusap punggung tangannya.

"Sabar ya Neng Rasti, semua sudah takdir yang maha kuasa." Ucap Bu Rum dan mengelus punggung Rasti yang begitu merasa terpukul atas meninggalnya sang suami.

Setelah jasad Sena di mandikan, kemudian bersiap untuk di makamkan, ada sepasang mata tersenyum sinis kala melihat jasad itu sudah tak bisa memberontak.

Sampai di tempat penempatan terakhir, Rasti masih saja terus menangis dengan sesekali memanggil-manggil nama suaminya itu. Dan ibu-ibu yang lain hanya bisa menenangkan.

Di Desa Mekarwangi ini Rasti hanya hidup seorang diri, orang tuanya meninggal kala usianya lima belas tahun, ditabrak lari oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab, sampai akhirnya ada Sena yang selalu menemaninya, membantu segala keperluan sekolahnya, sedangkan Sena sendiri tak berniat melanjutkan pendidikannya, baginya bekerja di ladang tak memerlukan ijazah, Rasti sendiripun hanya sampai SMA, dan bekerja memetik kebun teh milik Pak Lurah yang paling kaya di Desa ini.

Karena parasnya yang cantik banyak sekali pemuda yang ingin melamarnya, termasuk Imron anaknya pak lurah, tapi Rasti selalu menolak karena semenjak Sena selalu membantunya dia sudah menautkan hati pada Sena.

Setelah umur Rasti menginjak dua puluh tahun, Sena datang melamar bersama ibunya, dengan senang hati dan bahagia Rasti langsung menerima lamaran Sena, pernikahan diadakan dengan sederhana, namun pernikahan tak tahan lama karena baru saja tiga bulan menikah Sena sudah dipanggil oleh sang Maha Kuasa.

"Heh! Wanita tidak tau diri! Gara-gara kamu kan anak saya meninggal? Hah?!" Teriak Bu Wanti di pemakaman Sena, yang langsung menyerang Rasti, menarik rambut Rasti sampai Rasti meringis kesakitan.

"Rasti juga tidak tau Bu, ampun sakit Bu." Dengan berlinang air mata Rasti mencoba untuk melepaskan jambakan dari mertuanya itu.

"Anak kurang ajar! Tidak tau diuntung! Sudah dinikahi malah membunuh!" Makinya lagi dan semakin menarik kasar rambut Rasti.

"Bu Ibu! Kenapa hanya di tonton saja! Ayo pisahkan mereka, Bu Wati tenang dulu kita bicarakan ini baik-baik tidak baik bertengkar di makam Sena." Ujar Pak Ustadz sehabis berdoa di makam Sena.

"Bu Wati, ini sudah takdir, bukan karena Neng Rasti, ayok kita selesaikan di rumah tidak enak kalau harus disini." Ajak Mbok Asih pada Bu Wati yang sudah melepaskan jambakan pada Rasti.

"Bu, sumpah Rasti tidak tahu kejadiannya bagaimana, tiba-tiba ada orang datang mengabarkan kalau Kang Sena jatuh ke jurang dan meninggal." Rasti menjelaskan dengan sesenggukan, bagaimanapun dia begitu kehilangan sosok Sena yang sudah menemaninya bertahun-tahun ini.

" Semenjak mengenalmu! Anak saya selalu bekerja siang dan malam! Tak ada waktu istirahat untuk dirinya hanya karenamu! Dan sekarang dia kelelahan karena bekerja terus demi membahagiakanmu! Dasar wanita tidak tau terimakasih!" Bentak Bu Wati dan menunjuk-nunjuk wajah Rasti dengan emosi yang mnggebu, dadanya naik turun menandakan begitu marahnya wanita itu atas kematian anaknya yang tiba-tiba.

"Sudah Bu Wati, harusnya Ibu sebagai orang tua menenangkan Neng Rasti, yang baru saja ditinggal suaminya, ini menantumu Bu Wati, kasihan dia juga begitu sedih." Bela Mbok Asih dan merangkul Rasti dalam pelukannya.

"Saya lebih sedih atas meninggalnya nya anak saya, saya ini ibunya Asih! Saya tau bagaimana dia bekerja keras hanya untuk wanita yang tidak ada harganya ini!" Tunjuk Bu Wati lagi dan berlalu begitu saja pergi dari pemakaman sena dengan masih mencak-mencak marah atas kehilangan anak pertamanya itu.

"Sabar ya, sekarang istirahatlah, biar nanti Mbok yang akan bantu untuk acara tahlilan." Dielusnya kepala Rasti, begitu prihatin kepada wanita muda ini yang sudah tak punya siapa-siapa di desa ini.

"Terimakasih Mbok Asih, selalu baik sama Rasti." Air mata masih saja terus mengalir.

Kini tinggallah Rasti sendiri, setelah ibu-ibu dan warga yang lain ikut pulang karena ada urusan masing-masing.

Rasti yakin suaminya itu bukan terjatuh, tapi sengaja ada yang mencelakai, kalau tidak kenapa harus berlawanan arah dengan arah ladang nya, arah jurang itu bukan tempat bekerja suaminya. Juga kenapa terlihat begitu lebam bekas tonjokan di setiap sudut wajahnya, luka di lehernya dan kakinya, pasti suaminya sempat melawan hingga akhirnya terjatuh, atau sengaja di dorong ke dasar jurang itu.

"Kang Sena, Rasti akan mencari tau siapa sebenernya yang sengaja mencelakai Akang." Gumamnya dan berlalu ke kamar mandi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status