Share

Pesona Brondong Hebatku
Pesona Brondong Hebatku
Author: Viens Aisling

Hidup Yang Buruk

Suara piring terjatuh terdengar begitu nyaring, Geva menutup mulutnya dengan kedua tangan karena sangat terkejut. Ini membuat jantung Geva berdetak dengan cara menyakitkan, dia sangat panik. Geva tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ini adalah hal yang biasa terjadi.

Plak!

Pukulan tangan kuat dari pria yang disayangi mendarat di kepala Geva, suaranya pukulan itu cukup besar. Geva menatapnya ketakutan, dia memandang dengan mata kecil karena bisa saja tangan lainya endrat kepalanya lagi. Luka di bibir Geva belum lagi sembuh karena dipukul semalam karena mabuk.

“Kau tidak bisa bekerja dengan baik? Wanita bodoh! Pekerjaanmu hanyalah pekerjaan sederhana, pekerjaan babu!”

Tatapan matanya dipenuhi dengan kebengisan yang menakutkan. Geva berkeringat dingin, ini sangat tidak nyaman sekali. Seperti dia dijatuhkan dari gedung yang sangat tinggi dan menunggu kematian.

Berulang kali hal seperti ini terjadi.

“Ya, kau juga salah, Damas. Bagaimana bisa kau menikahi wanita bodoh seperti ini, Nak? Kasihan sekali hidupmu.” Lita memegang keningnya, dia bahkan membuat matanya berkaca-kaca. Geva sangat tahu sekali sandiwara ini.

Ibu mertuanya itu tidak pernah berpihak padanya.

Geva akan menerima rentetan penghinaan dari mereka tanpa henti. Geva dan Damas telah menikah selama dua tahun. Kehidupan pernikahan yang manis adalah sebuah angan kosong yang tidak mungkin terjadi karena dia tinggal bersama keluarga Damas, dan kehidupan pernikahannya selalu dicampuri oleh mereka.

“Apa yang kau lihat, Geva bodoh? Seharusnya kau langsung membereskan pecahan piring itu.” Damas menunjuk piring yang Geva pecahkan tidak sengaja. Tangan Geva gemetar menerima makiannya yang dilakukan sambil berteriak. Dia mencoba bertahan.

“Aduh, Nak, Nak. Jika saja keluarganya masih kaya raya, setidaknya dia masih bisa berguna. Malah sekarang dia hamil.” Lita memutar bola matanya, jengkel.

Geva baru saja hamil 6 bulan, dan ayahnya baru meninggal lima bulan yang lalu. Bersama hutang-hutang perusahaan yang menumpuk, hingga keluarga ini yang biasanya meminta pada Geva tidak meminta lagi. Mereka malah memperlakukan Geva dengan sangat buruk.

“Ya, menyusahkan saja, Bu. Nanti dia lahiran saja di dukun beranak atau melahirkan sendiri.” Damas kembali berteriak sambil memegangi keningnya. Berurusan dengan Geva membuatnya selalu jengkel, terlebih dia juga ada banyak masalah di kantornya.

Geva tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Damas. Geva menatapnya dengan mata berkaca-kaca, hatinya terasa sakit sekali. Padahal dia adalah pria yang sangat dicintai Geva dan sebagai sandaran satu-satunya Geva.

“Kenapa?” Lita mendorong kepala Geva, tangan Geva tergores karena terkejut terkena pecahan piring yang dia pungut tadi.

“Mas, seharusnya kamu tidak berkata seperti itu. Aku adalah istrimu, dan anak yang aku kandung adalah anakmu. Kamu harus menjadi ayah yang bertanggung jawab, Mas.”

Suara Geva bergetar ketika bicara seperti itu, tapi dia sama sekali tidak terlihat kasihan. Dia malah menendang bahu Geva dengan kakinya yang cukup panjang.

Dominasinya telah membuatnya seakan-akan ada di puncak kekuasaan.

“AUH!” pekik Geva malah mendapat respons tertawa dari Damas dan ibunya.

“Kurasa mungkin saja itu bukan anakku. Kita kan tidak selalu tidur bersama, Geva,” ucapnya dengan seringai merendahkan.

Hati Geva sangat teriris dengan apa yang dikatakan Damas. Geva meneguk ludahnya dan berdiri, air mata membanjiri wajahnya.

Dia telah berusaha selama ini menjadi istri yang baik dan selalu ada di rumah atau saat keluar pun dia selalu meminta izin pada Damas.

“Tentu saja ini anakmu, Mas. Aku tidak pernah ke mana pun tanpamu.”

“Berisik sekali. Masih untung kau tidak kuusir sekarang, sekarang bereskan dan siapkan makan siang untuk kami.”

Lita merangkul Damas, dia melihat Geva dan menertawakannya. Mereka berdua akhirnya meninggalkan Geva, dan membiarkannya sendirian menghadapi hal kejam ini.

Tangan Geva yang terluka masih meneteskan darah, tapi rasa sakit sama sekali tidak terasa, hatinya yang jauh terasa sakit karena perlakuan mereka..

Dulu saat awal Geva menikah, mereka berkata agar lebih baik dirinya tidak bekerja, perlakuan mereka manis sekali, ternyata itu semua demi harta Geva yang mereka pikir sangat banyak.

Perutnya yang membuncit ini rasanya sakit. Geva benar-benar merasa kasihan dengan anaknya yang mungkin terlahir dalam situasi yang buruk.

“Maafkan Ibu, Nak. Maafkan ibu dan ayahmu ....”

Geva berusaha menjadi kuat, dia menggores senyum palsu di wajahnya. Ibu hamil yang tertekan akan membawa efek buruk untuk anaknya.

Setelah mempersiapkan makan siang untuk keluarga ini dengan cepat, memasaknya tanpa mengeluh walaupun sebenarnya Geva sama sekali tidak sanggup untuk berdiri lama. Hingga semuanya telah siap di atas meja makan. Geva tersenyum kecil dan berjalan menuju ruang keluarga untuk memberitahu mereka.

Di ruang keluarga ada televisi 42 inchi, Geva yang membelinya dulu. Belum lagi mulut Geva terbuka untuk memanggil mereka, percakapan mereka lagi-lagi membuat perasaannya hancur.

“Eh, Geva tidak berguna lagi, kan?” Suaranya satir seperti biasa. Dia adalah adik Damas, baru berkuliah di semester tiga. Dia adalah Warda yang suka menghabiskan waktu untuk berdandan menampilkan dadanya dibandingkan belajar.

Dia juga menolak memanggil nama Geva dengan tambahan ‘kak’ di depannya. Baginya Geva tidak pantas mendapatkan penghormatan darinha, orang miskin harus tahu diri.

“Ya, dia memang tidak berguna. Dia Cuma bisa makan tidur. Istri macam apa dia? Benar-benar bodoh sekali.”

Mertua Geva kembali bicara, dia terlihat santai mencaciku sambil memakan biskuit yang remah-remahnya berjatuhan ke lantai, nanti Geva yang akan dimarahi olehnya karena dianggap tidak becus dalam beres-beres. Dia sekali pun tidak merasa bersalah, dan melupakan kalau Warda adalah seorang wanita dan bisa saja dia mendapatkan perlakuan yang sama seperti Geva.

Prinsip mereka hanyalah, pikirkan saja diri sendiri baru orang lain.

“Dia membosankan. Aku benar-benar jengkel mendengarnya mengeluh lelah di kamar.” Kali ini Damas bicara.

Padahal Geva tidak mengeluh padanya, terkadang saat Geva baru saja mau tidur, Damas memerintahkan sesuatu. Seperti memijat kakinya, atau membuatkannya makanan di jam 12 malam.

Geva hanya mengatakan bisakah itu nanti, atau dia benar-benar lelah.

“Mas, sudah tinggalin aja dia. Dia akan jadi beban bersama anaknya. Coba pikirkan, setidaknya Mas bisa dapat wanita lain.” Warda tertawa ketika mengatakan itu.

“Ibu, Mas, dan Warda, makan siang telah siap.”

Mereka menatap Geva dengan tatapan kesal karena telah menyela percakapan mereka. Geva telah menahan diriku sangat lama, dengan sesak di dada dan gemetar di mulut, akhirnya dia bicara.

“Warda, seharusnya kau tidak boleh bicara seperti itu pada Masmu. Menyuruh Mas Damas mencari wanita lain bukanlah hal yang bagus, itu sangat buruk sekali. Kuharap kau tidak mengatakannya lagi, Warda.”

Geva tidak bisa meneruskan perkelahian ini, dia berbalik untuk menenangkan diri. Cukuplah pikirnya peringatan yang dia katakan padanya. Tapi, Warda malah berdiri dan menarik rambut Geva.

Geva hampir saja terjatuh.

“A-apa yang kau lakukan,Warda?” Geva meninggikan suaranya tapi tiba-tiba saja Lita menamparnya. Serangan secara tiba-tiba itu membuat Geva terdiam.

“Kau itu kan menumpang di sini. Seharusnya tahu diri!”

Mata Geva gemetar.

“Ini juga rumahku, Bu.”

“Geva! Kau ini sangat tidak sopan sekali!” Damas akhirnya bicara, tapi bukan untuk membela Geva, dia membela keluarganya.

“Memangnya kenapa dengan yang diucapkan Warda?” Dia melihat Geva dengan mata nyalang. Dia bahkan menunjuk Geva kasar. “Kalau aku ingin mencari wanita lain, tentu aku akan mendapatkannya.”

Air mata Geva tumpah. “Mas, aku tidak mengizinkan hal itu terjadi.”

“Memangnya aku butuh izin darimu?” Dia menyeringai, balasan yang sangat enteng sekali. Apalagi mereka bertiga tidak ada yang memihak pada Geva.

“Tidak membutuhkan izinmu. Jika kau tidak terima, ya kabur saja dari sini. Kau hanya benalu, Geva.” Damas menarik napasnya. “Sejujurnya, kurasa jika kau pergi dari sini lebih baik. Itu akan mengurangi beban makanan yang kau makan.”

Bibir Geva bergetar dengan sangat hebat. Dia sungguh tidak menganggap Geva lagi? Dulu dia baik sekali san memperlakukan seperti ratu, tapi itu hanyalah sebuah tipuan. Suara cekikikan dari Lita dan Warda benar-benar membuat Geva tersiksa.

“Aku minta maaf, Mas ....” Geva menunduk. Itulah kebodohan Geva sendiri, air mata yang tumpah di lantai malah membuat mereka semakin senang.

tapi kalimat itu sama sekali tidak meluluhkan hati mereka yang keras, mereka mengabaikan Geva dan akan melakukan apa pun seperti yang mereka inginkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status