Share

Rumah Incaranmu Menjadi Milikku

Jangan lupa klik berlangganan ya, biar tak ketinggalan update terbarunya. Terima kasih.

Semoga semua pembacaku sehat dan selalu  diberi kelancaran rizki oleh Allah.

*****************************************

Part 14

Rumah Incaranmu Menjadi Milikku

"Rur, kok suami uangnya banyak banget sih? Kamu kan tadi pagi bilang sudah berapa banyak uang yang kamu dapat sejak dia ketahuan selingkuh. Belum lagi yang diberikan ke si Karen. Sesukses itu ya kerjaan suamimu? Hingga cuannya banyak banget, hehhehe," tanya Delia saat kami selesai dari rumah tukang sablon.

"Gimana ya aku jelasinnya Del. Setahuku sih memang proyek-proyek Mas Satrio itu selalu bagus dan mendapat laba yang berlipat, sih. Tapi nggak tahu juga dia dapat uang banyak juga dari mana, akhir-akhir ini lebih royal, katanya sih uang hasil proyeknya gitu, kalau kutanya," jawabku enteng.

"Terus modal kerjanya dapat dari mana? Apa kalian punya hutang di Bank? Terus mobil atas nama Satrio yang dua itu, kredit atau beli cash?"

"Modal awal sih dari uang hasil penjualan tanah warisah dari orang tuaku, selebar satu hektare luasnya. Kemudian di kembangkan sendiri oleh Mas Satrio, dan alhamdulillah menghasilkan apa yang kamu lihat ini, Del. Setahuku sih, kamu tak pernah pinjam uang di bank manapun. Dan kedua mobil itu, cash kok, aku juga ikut pas beli. Tapi BPKBnya selalu ada di dalam mobil yang di pakainya itu," jawabku.

Mendengar jawabanku itu, Delia mengangguk-anggukkan kepalanya, sepertinya tanda mengerti.

"Tapi selama ini dia terbuka kan masalah uang kepadamu dan uang bulanan lancar kan?" Delia ternyata masih belum puas dengan penjelasan yang sudah sering kukatakan padanya itu.

"Bulanan sangat lancar, dia memberiku lima belas juta, tapi kebutuhan lainnya sudah di sediakan olehnya.  Tapi kalau masalah keuangan lainnya aku tak pernah tau Del. Pernah suatu kali aku bertanya, jawabnya, aku tak perlu memusingkan hal seperti itu, yang penting aku dan Rangga tak kekurangan gitu aja sudah cukup kok. Jadi aku sudah tak pernah tanya lagi."

"Semoga saja Satrio itu tak ada kecurangan lain di luar Rur. Aku kok mikirnya ada yang janggal lagi dari suamimu itu. Memang kita ini jadi istri serba salah. Mau cerewet, diam, mengalah, cuek tetap saja di curangin. Hemmm...semoga saja suamiku nggak kayak suamimu ya Rur, amit-amit deh!"

"Amiiin...semoga dia setia kepadamu Del."

Sebenarnya, aku kurang setuju dengan pendapat yang diutarakan Delia tadi, sebab menurutku tak semua lelaki seperti itu, banyak kok kulihat di sekitarku pria yang tetap setia hingga ajal menjemput. Semua tergantung ketebalan iman seseorang saja sih, menurutku.

Pukul tiga sore, kami sudah sampai kembali di rumah  Delia. Sebelum berangkat ke tujuan terakhir kami, aku dan Delia melaksanakan salat ashar terlebih dahulu, agar hati merasa lebih tenang.

"Yok, berangkat naik motor saja ya, Rur."

"Memangnya dekat rumahnya?"

"Halah yo dekat banget to, nggak sampai sepuluh menit kok, sekalian nanti kita lewat lagi depan rumahnya si Karen."

"Lewat depan rumahnya Karen kok malah naik motor sih, ada-ada saja kamu ini. Nanti misal Mas Satrio ada di sana, malah berabe kita."

"Haduh nggak pinter banget sih kamu ini, kan pakai masker,lagian si Karen itu kan nggak tau wajahmu kan? Tenang aja deh. Justru kalau pakai mobil, malah apal kan si Satrio, sudah ah ayo berangkat. Masker jangan lupa pakai."

Aku pun langsung duduk di boncengan motornya Delia, dan menggunakan maskerku dengan benar, ada benarnya juga sih apa yang dikatanya itu, hehehe.

Kuhitung, dari rumah Delia ke rumah Karen, hanya berjaraak lima belas rumah saja, lumayan dekat sih. Rumah Delia, punya halaman depan yang luas, dan mobil langsung di masukkan garasi, jadi seandainya Mas Satrio lewat, tak akan tahu jika aku di sana.

Feeling seorang istri itu memang kadang tak pernah salah. Saat melintas, kulihat Mas Satrio dan Karen sedang bermain bersama anaknya Rury di teras, tapi tak mobilnya tak ada di sana. Aku meminta Delia mempercepat laju motornya, agar tak ketahuan, takutnya, Mas Satrio ingat dengan baju yang kupakai ini.

"Tuh, kan Del, apa kubilang, Mas Satrio pasti nongkrong di sini. Tapi kok mobilnya nggak ada sih? " tanyaku pada Delia.

"Mungkin sedang dibawa si janda gatel itu, dia kan seneng banget gitu pamer barang yang bukan miliknya. Eh aku baru tahu kalau si Satrio itu sering ke sini. Nanti malam akan kusuruh adikku menyelidikinya, kebetulan teman adikku itu, rumahnya persis di depan rumahnya si Karen.

Kalau sampai dia tidur di sana, biar kulaporkan saja pada Pak Rt, biar diarak keliling kampung sekalian. Eh kita sudah sampai nih, Rur."

Delia membelokkan motornya ke rumah khas pedesaan, dan langsung mengajakku masuk ke dalam. Yang punya rumah itu, adalah sepasang orang tua bernama Pak Darto dan Bu Sumi. Sebenarnya rumah itu adalah rumah anaknya, namun kini telah bercerai, dan anak tersebut sekarang bekerja di luar negeri.

"Kami tahu sendiri kan Del, Pakde Darto ini sedang sakit dan butuh banyak obat. Sedangkan Mas Yanto itu sampai sekarang ini masih di Jakarta, dan belum mendapat penjelasan kapan terbang ke Jepangnya. Jadi ya sudah, Yanto menyuruh menjual rumah itu saja, untuk biaya operasi Pakde Darto. Tapi rumah itu sudah dikasih uang muka sama Rury lo Del, katanya mau dilunasi seminggu lagi," ucap Bu Sumi sambil trrsenyum.

Kembali, Delia menceritakan semuanya pada wanita yang ternyata masih punya hubungan darah denganya itu. Dan dia juga mengataka niatku ke sini.

"Kasihan Bude, suaminya sudah enam bulan selingkuh sama si Karen itu, dan sudah banyak di porotin olehnya. Jadi biarkan sekarang kurangangan pembayarannya di kasih sama si Rury, kan uang yang dipakai juga uang  Rury, Bude," ucap Delia setelah penjelasan panjang lebarnya.

"Gimana ya, Del. Bude juga kasihan sama temanmu ini, tapi apa nanti nggak ngamuk-ngamuk tuh si Karen dan keluarganya. Kamu tahu sendiri kan, kalau mereka itu mulutnya besar banget dan suka melakukan kekerasan. Bude itu takut Del," jawab Bude Sumi yang orangnya memang terlihat sangat kalem itu.

"Jangan khawatir, Bude. Saya ini benar dan dia di posisi yang salah, kalau dia macam-macam, biar nanti polisi yang maju. Insyaallah tidak akan terjadi hal semacam itu," ucapku sambil tersenyum.

"Bener banget itu Bude. Nanti kalau dia macam-macam, biar kulaporkan segala kebusukan keluarga mereka ke Pak Lurah, biar sekalian di usir mereka dari kampung ini. Sebenarnya banyak loh warga yang geram dengan kelakuaan mereka ittu, tukang pembuat onar, malu-maluin kampung kita saja.

Mereka kan janji akan bayar kekurangannya setelah tanggal 20, jadi mulai tanggal dua puluh nanti, Bude dan Pakde tinggal di rumahku saja dulu. Yakin deh mereka nggak akan berani macam-macam. Setelah pernikahan itu, mungkin mereka nggak akan beraani berbuat ulah lagi di kampung ini. Eh itu kalau mereka masih punya malu sih, hehehe," timpal Delia.

Bude Sumi kemudian meminta waktu untuk berembuk dengan Pakde Darto, dan memang seharusnya begitu, suami istri itu harus musyawarah saat mau mengambil keputusan. Patut di contoh sekali, meski suaminya sedang sakit, namun Bude tetap meminta pendapatnya. Mungkin juga karena sikap Pakde Darto dulu yang setia dan nggak pernah macam-macam lah, yang membuat Bude Sumi sangat menghormati suaminya itu.

Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya Bude pun kembali menemui kami di ruang tamu. Jeda waktu tadi kugunakan untuk menelepon Bik Nurma lagi, siapa tahu Rangga rewel, namun alhamdulillah dia tak rewel sama sekali.

"Ya sudah Bude ngikut saja kalau begitu, soalnya dua hari lagi, Pakdemu itu harus kontrol dan cuci darah lagi, jadi butuh uang banyak. Pakde juga memperbolehkan kok, katanya kasihan temannya Delia, gitu. Kamu yang sabar ya Nduk, insyaallah setelah ini hidup kamu dan anakmu akan lebih bahagia.  Allah itu ternyata sayang sekali kepadamu, buktinya Dia menunjukkan kepadamu siapa suamimu sebenarnya, sebelum terlambat."

Aku sangat  bahagia dengan keputusan itu, langsung saja aku membayar sejumlah uang itu, dan Bude memberikan sertifikat rumah itu. Rencananya setelah semua ini selesai, aku akan membalik namanya menjadi namaku. Lumayan kan tadi aku dapat uang dua ratus dari Mas Johan, masih sisa sih untuk membayar kekurangan rumah ini.

Ada sedikit bingung di hatiku, tadi Delia bilang ingin mengajak warga menggrebek Mas Satrio dan Karen. Tapi aku takut hal itu malah akan merusak rencanaku nantinya. Menurut kalian bagaimana teman-teman?

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Idahamidah
bagus ni cerita inspiratif ...
goodnovel comment avatar
Iwan Setiawan
sebaiknya jangan dulu di gerebek tunggu tgl main nya
goodnovel comment avatar
Risa Riskia00
jangan digrebek dulu dech, tunggu tgl main ruri membalas, dan tolong min, dicek nama nya, bagus ceritanya aq suka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status