Flashback Setahun Lalu
Buru-buru aku menuruni anak tangga dengan hati yang sangat gelisah. Tanpa kusadari, keringat mulai membasahi pelipis dan rambut lurus pendek seleherku. Sepanjang perjalanan menuju kamar utama yang berada di depan, hanya ketakutan saja yang kentara menyelimuti jiwa.
Ya Allah, tolong aku. Jangan sampai rumah tanggaku bubar. Apalagi bila Nadia yang menjadi dalangnya. Aku tak ikhlas dunia akhirat!
Sampai di depan pintu kayu bercat abu-abu gelap tersebut, aku pun langsung membuka kenop stainless. Kaget sekali, ternyata terkunci dari dalam. Siapa yang tak mencelos dadanya bila mendapati keadaan seperti ini?
“Mas! Mas Hendra!” Aku memekik sambil menggedor-gedor pintu. Sekali, dua kali, masih saja tak ada jawaban.
Aku makin dirundung galau. Rasa takut kehilangan begitu kental menghantui. Nadia, kamu tidak mungkin menjadi duri dalam daging, kan? Kamu sahabat terbaikku, Nad! Ucapan Eva pasti tidak benar.
“Mas Hendra, buka pintunya!” kataku. Tangan ini tiada hentinya memukuli daun pintu. Sampai terasa cukup nyeri. Mungkin, sudah sepuluh kali aku memanggil suamiku dari sini. Ngapain dia di dalam sana? Kenapa tak kunjung membuka pintu.
Terdengar derap langkah yang mendekat. Emosiku sudah memuncak rasanya. Mungkin, sebentar lagi bakal meledak.
“Kenapa, sih, Ri?” Suamiku muncul dari balik pintu. Wujudnya kusut masai. Kedua matanya pun sembab menatapku.
Mungkin dia hanya berkamuflase, pikirku. Tanpa banyak bicara, aku pun menorobos masuk. Kuperhatikan sekeliling, tak ada siapa-siapa di kamar ini selain Mas Hendra.
Tak mau berpuas diri, aku memeriksa kolong tempat tidur. Siapa tahu di sanalah Nadia disembunyikan.
“Kamu cari apa, Ri?” tanya Mas Hendra dengan suara serak. Lelaki itu mendekat ke arahku. Namun, sosoknya malah kuabaikan.
Kolong tempat tidur kosong. Aku tak menyerah. Segera aku berdiri dari jongkok, kemudian bergerak ke lemari pakaian yang memiliki empat pintu. Lemari berbahan jati dengan ukir-ukiran berbuentuk bunga tersebut kubuka satu per satu pintunya. Sama nihil. Tak ada Nadia di sana.
“Riri, kamu ini kenapa?” Mas Hendra bertanya dengan nada tinggi. Aku langsung balik badan dan menatapnya sekilas. Pria yang mengenakan kaus olahraga lengan panjang dan celana training hitam itu tampak keheranan sekaligus agak kesal.
Aku masih bungkam. Berlari ke menuju pojok kiri sebelah depan sejurus dengan pintu. Ada toilet di sana, keberadaannya membelakangi ranjang tidur kami. Tanganku sontak membuka kenop pintu berbahan plastik PVC warna biru tersebut, dan … tak ada apa pun di sana.
“Ke mana kamu sembunyikan Nadia, Mas!” pekikku ke arah Mas Hendra sambil terengah-engah.
Pria itu membeliak kedua matanya. Menatapku dengan muka yang terkejut. Dia berjalan maju dan semakin dekat kepadaku.
“Riri, apa yang kamu bicarakan?” Nada suara Mas Hendra terdengar sangat merasa tak bersalah. Apakah dia benar-benar tidak tahu atau malah belaga pilon?
“Nadia! Di mana dia?!” Aku membentak suamiku. Cukup keras nada bicara ini. Sampai-sampai Mas Hendra seperti terkejut dengan sikapku yang sangat tak biasa tersebut.
“Nadia? Mana aku tahu, Ri! Kamu kan, tahu, aku lagi sakit. Dari tadi aku di kamar saja. Makan bubur pun aku di kamar.”
Alisku mencelat. Dada ini makin berdegup kencang. Nyaris aku memuntahkan semua kekesalan dan kecurigaan, tetapi sekuat tenaga kutahan.
“Apa? Jadi, Nadia sempat ke kamar untuk menyuapkanmu bubur segala?” tanyaku jengkel.
“Menyuapkan? Oh, Riri. Apa yang kamu pikirkan? Nadia hanya mengantar sampai depan pintu saja. Mana mungkin dia masuk ke sini, bahkan menyuapkanku segala. Ri, apa kamu sedang menuduhku berbuat yang tidak-tidak?” Mas Hendra meremas pelan kedua bahuku. Pria itu menatap dengan ekspresi kecewa.
Aku lemas sendiri. Terhenyak sesaat. Malu seketika.
“Ri, kamu yang membawa Nadia ke sini. Kamu juga yang ketakutan sendiri.” Mas Hendra mendecak kesal. Dia menggelengkan kepala, tanda tak percaya dengan apa yang dilihatnya hari ini.
“Kamu bukan seperti Riri yang kukenal. Pasti ada omongan yang membuatmu terhasut, bukan?”
Dadaku sontak berdesir hebat. Mas Hendra bahkan bisa mengendus sedalam ini. Dia tahu betul dengan sosokku seperti apa.
“Ah, tidak. Jangan mengada-ada. Mana ada yang menghasutku! Ini murni firasatku, Mas!”
“Kamu berbohong, Ri. Matamu terlihat jelas. Siapa orangnya? Katakan? Ini jelas fitnah!” Mas Hendra mencengkeram lenganku agak keras. Cepat kutepis dan aku berusaha untuk menghindar darinya.
Saat kaki ini melangkah, pintu kamar kami tiba-tiba diketuk dari luar. Aku sudah deg-degan. Jangan-jangan … itu Nadia?
Ketika kenop kubuka dan daun pintu mulai kutarik pelan, betapa kagetnya saat melihat sosok Nadia di depanku tengah bercucuran air mata.
“Ri … kalian bertengkar karenaku?” Tangan putih wanita itu gemetar. Bibir merah penuhnya pun demikian. Nadia tertunduk sambil menangis pilu.
“T-tidak, Nad. A-aku ….”
“Suara kalian terdengar, Ri. Tadi aku ke halaman samping memetik tanaman roselamu. Ribut-ribut itu kedengaran hingga ke tempatku memetik.”
Aku merasa begitu tak enak hati. Bagaimana tidak, Nadia pasti bisa mendengar jelas suara pertengkaran kami, sebab pekarangan samping ini lokasinya pas bersebelahan dengan kamar. Sial sekali! Kenapa aku tidak terpikir bahwa dia sedang berada di halaman atau tempat lain? Mengapa pikiranku malah bernegatif ria dan menduga bahwa Nadia sedang bermesraan dengan Mas Hendra di kamar? Ah, aku memang ceroboh!
“M-maafkan aku, Nad. B-bukan maksud—”
“Sepertinya keberadaanku di sini sangat membuatmu terganggu. Aku dan Alexa akan pulang hari ini juga.” Nadia menangis semakin kencang dan berlari ke arah belakang. Aku hanya bisa diam membeku sambil menatap punggung perempuan berdaster lengan pendek warna hijau daun tersebut.
“Berdosa sekali kamu, Ri. Kamu sudah melukai hati sahabatmu sendiri. Kamu juga membuatku sangat kecewa karena telah mencurigaiku secara berlebihan. Kamu benar-benar melukai banyak perasaan orang hari ini.”
Flashback Setahun Lalu Ucapan Mas Hendra bagai sebuah tamparan keras di pipi. Sempat terhenyak beberapa saat, aku lalu menyadari suatu hal, bahwa aku haruslah meminta maaf sebab telah menyinggung Nadia. Bergegas diriku keluar kamar, berjalan ke arah tangga menuju lantai dua yang berada di belakang. Napas ini sampai tersengal sebab terlalu cepat melangkah. Ketika aku tiba di depan kamar yang ditempati Nadia, betapa terbelalaknya mata ini. Janda muda itu telah mengemasi semua isi lemarinya. Memindahkan pakaian-pakaian ke dalam koper besar yang dia bawa. Terdengar isak tangis dari bibir Nadia. Perempuan yang mengikat rambut lurusnya ke atas tersebut tampak begitu hancur. Sebagai seorang sahabat karibnya, aku merasa tel
##BAGIAN 7POV NADIA “Kamu harus segera bertindak.” Ucapan setajam silet itu telah membuat sekujur tubuh ini gemetar. Meskipun hanya via telepon, tetapi aku bisa merasakan betul betapa menyeramkannya perintah tersebut. Hati nuraniku belum sepenuhnya mati. Otak ini masih bisa berpikir jernih, walaupun hanya 20% saja. Dan celakanya, 20% tersebut adalah rasa keberatan akan perintah yang benar-benar di luar batas wajar barusan. “T-tapi—” “Oh, kamu menolak? Ya, sudah. Sebaiknya kita akhiri saja semua ini.” Napasku ter
POV NADIA “Eh, Papah,” kataku gelagapan. Obat tetes mata itu buru-buru kumasukan ke dalam saku daster. Secepat kilat tanganku bergerak. Kuharap, Mas Wahyu tak menyadarinya. “Mana kopinya? Papah udah haus, nih,” ujarnya sambil merangkul tubuhku. Pria yang aroma tubuhnya agak masam tersebut membuatku agak risih. “Ini kopinya. Mau minum di sini atau bawa ke kamar?” tanyaku sembari melepaskan rangkulannya. Jujur saja, aku sudah sangat ilfeel kepada Mas Wahyu. Pikiranku saat ini hanya tertuju kepada pria kesayanganku seorang. “Minum di meja makan sini aja. Kamu temenin aku tapi ya, Mah. Jangan ngurung diri di
HAPUS AIR MATACuplikan sebelumnya:Setibanya di ruang tamu, aku mengendap-endap sebab mendengar suara Mas Hendra tengah berbicara di teras. Untungnya, pintu depan tertutup setengah, sehingga keberadaanku tak langsung bisa disadari, kecuali pintu itu kubuka seluruhnya.“Kamu, sih! Cerobohnya bukan main! Dasar bodoh!”Terperanjat aku ketika mendengarkan kata-kata Mas Hendra dari balik pintu. Mas, benarkah firasatku?*** “Jangan sampai, perjuangan kita selama ini sia-sia karena ketololanmu!” Di balik pintu, aku berdiri dengan kedua tungkai yang gemetar. Dua telapak tanganku pun sontak basah akibat keringat dingin yang mendera. Perjuang kita selama ini? Ya Allah … apa yang tengah dibicarakan suamiku? Betulkah lawan bicaranya tersebut adal
RACUN UNTUK GUNDIK “Ah, Bunda lebay banget, Ca. Kita ke kamar yuk, Ca. Bundamu lagi drama.” Mas Hendra meraup beberapa kukis dari dalam toples, kemudian membiarkan tutupnya tergeletak begitu saja. Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab! Karena diajak sang ayah ke kamar, anak semata wayangku langsung beringsut dan mengejar Mas Hendra. Syukurlah mereka menyingkir dari dapur. Dengan begitu, aku bisa leluasa memasak tanpa harus mendengar celotehan Mas Hendra yang tiba-tiba saja membuatku sangat muak. Sayuran berupa terong ungu, bunga kol putih, buncis, dan wortel yang sempat terabaikan di bak wastafel, kini kucuci kembali di bawah air mengalir. Sambil menggosok pelan terong panjang nan gemuk tersebut, kubay
KAMU HARUS MENDERITA “Ih, Riri. Ngomongnya berat banget, sih? Alexa itu masih kecil. Masa udah diomongin kaya gitu?” Nadia protes. Suaranya manja. Wanita bertubuh langsing dengan dada yang menyembul bulat itu langsung melendot di lenganku. Sementara itu, Mas Hendra berhasil menggendong Alexa keluar. Mungkin mereka akan jalan-jalan naik mobil. Terserah saja, aku ogah peduli. “Nggak usah nempel-nempel! Aku bau bawang. Masih kucel, masih dasteran. Nggak kaya kamu. Udah necis dan kinclong kaya ubin masjid.” Kutepis Nadia. Perempuan itu terlihat bingung menatap. Dia pun tampak mau tak mau melepaskan gamitannya. “Kamu kenapa, sih, Ri? Hari ini tumben galak banget?” tanyanya dengan suara
KUREKAM BARANG BUKTI “Mas, santai! Kamu tidak perlu memburu-buruku!” Aku membentak sambil membeliakkan mata. Merasa jengkel sebab dia dengan seenaknya memerintahku. Enak saja! Kalau perlu, si gundik tak perlu diantar ke rumah sakit agar mati saja sekalian. “Riri! Apa yang ada di otakmu!” Mas Hendra yang mukanya merah dan bersimbah keringat langsut bangkit sambil menggendong tubuh Nadia. Tampak perempuan dengan wajah yang membengkak dan kemerahan tersebut mengeluarkan liur dari mulutnya. Semoga kau mati, Nad! Agar puas hatiku. “Dasar tak punya hati!” Mas Hendra marah. Dia tergopoh-gopoh dan merampas kunci mobil dari genggamanku.&nbs
CCTV “Ri.” Panggilan dari Mas Hendra membuatku yang baru saja memasukan ponsel ke saku daster, sontak menoleh. Pria itu kelihatan lelah. Pelipisnya basah karena keringat. Napasnya juga tampak terengah. “Gimana keadaan Nadia?” tanya suamiku sambil mendekat. “Dia udah mulai sadar. Manggil-manggil mas. Aku nggak tahu mas siapa yang dia maksud,” jawabku tenang. Muka Mas Hendra seketika pucat pasi. Pandangannya langsung tertuju ke tubuh Nadia yang diselimuti hingga bagian atas dada tersebut. “Mungkin … d