Share

Bab 2. Perkataan Adelia

Adelia menidurkan anaknya yang umurnya sudah jalan 2 Tahun. Sekarang pukul 20.45 tetapi tidak ada tanda-tanda kepulangan Fathur. Sejak kepergiannya tadi sore pria itu tidak lagi mengabarinya dan mungkin malam ini Fathur tidak akan pulang ke rumah. Memandangi Luna-anaknya dalam waktu yang cukup lama kini Adelia mulai meninggalkan kamar setelah memastikan anaknya sudah tertidur lelap.

Wanita itu duduk di sofa. Pandangannya kosong, Adelia terlalu bingung berada di dalam pernikahan yang seperti ini. Dulu menikah dengan Fathur adalah kebahagiannya sebab ia yakin suaminya itu akan jadi sosok kepala rumah tangga yang baik. Karena selama berpacaran dengan Fathur 4 Tahun lamanya pria itu tidak pernah berprilaku jelek padanya. Namun sekarang Adelia menertawai nasibnya yang harus terjebak pernikahan seperti ini dengan Fathur.

Harusnya dulu Adelia tidak perlu yakin hanya karena sikap pria itu yang terlihat baik. Ia lupa kalau di dalam pernikahan akan banyak yang ia hadapi dan Adelia melupakan satu hal bahwa hati akan dengan mudahnya berubah. Ketika itu terjadi, ia yang kini terluka karena hatinya Fathur bukan lagi untuknya. Hampir 1 jam duduk dan melamun di ruang tengah sendirian. Adelia memilih mengunci pintu rumah karena merasa suaminya itu tidak akan pulang dan ia kembali ke kamar di mana anaknya berada.

“Semalam kemana, mas?”

Tidak ada jawaban apa pun dari Fathur. Adelia baru saja menyelesaikan tugas memasak makan siang. Bersamaan dengan itu suaminya datang lalu tanpa menyapa Adelia pria itu langsung duduk di sofa. Kepalanya bersandar di sandaran sofa, matanya juga terpejam dan saat ini yang Adelia lihat dari Fathur sepertinya pria itu tidak tidur semalaman. Beberapa menit Fathur tidak membuka suaranya. Adelia memilih kembali ke dapur dan menata hasil masakkannya di meja makan.

Sekecewa apa pun ia terhadap suaminya. Adelia akan mencoba memperlakukan Fathur dengan baik. Selain karena berharap Fathur akan sadar dan luluh, ia juga tidak boleh melupakan tugasnya sebagai seorang istri dan seorang ibu. Makanan sudah tertara di atas meja. Begitupun dengan Fathur yang sudah membuka matanya, senyum tipis Adelia coba lukis di bibirnya.

“Makan dulu, mas.”

Perkataannya bagai angin lalu untuk Fathur. Pria itu malah bangkit dan berlalu ke dalam kamar tanpa menatap Adelia. Wanita itu menghela napasnya mencoba tidak ambil pusing sikap suaminya. Adelia sudah sakit dan tidak seharusnya ia kembali melukai hatinya dengan sengaja. Fathur sudah dewasa dan harusnya pria itu tahu harus bersikap seperti apa saat melakukan kesalahan.

“Bisa aku bicara sama kamu?” tanya Adelia.

Setelah mengurus makan siang anaknya. Adelia menghampiri Fathur yang baru saja selesai mandi dan kini duduk di samping halaman rumah. Anaknya ia letakkan di karpet ruang tengah dengan mainannya yang masih terlihat dalam pengawasannya. Adelia duduk di kursi kosong samping Fathur. Suaminya itu hanya sibuk bermain ponsel bahkan tidak menanggapi kalimat sebelumnya dari Adelia.

“Kamu enggak ke kantor?”

“Enggak.”

“Aku mau bicara--,”

“Bicara saja, aku juga sudah tau kemana arah pembicaraan kamu,” celetuk Fathur.

Adelia mencoba setenang mungkin agar tidak emosi. Ia takut pembahasan ini akan kembali membuatnya bertengkar dengan Fathur.

“Aku cuma minta kamu tinggalin perempuan itu, mas. Aku kasih kamu kesempatan bukan untuk di sia-siakan seperti ini.”

“Apa hadirnya aku dan Luna enggak cukup buat kamu?”

Fathur meletakkan ponselnya di meja kecil yang berada di tengah-tengah keduanya. Ia hanya memandang lurus ke depan, tidak membawa pandangannya ke arah Adelia.”Jangan bawa-bawa Luna,” kata Fathur.

“Aku lakuin ini hanya untuk kesenangan aku.”

“Itu gila, mas. Luna akan semakin dewasa nantinya. Apa kamu tega melihat anak kamu sedih karena kelakuan Papanya?”

“Aku akan tetap sayang sama Luna."

Adelia menggeleng tidak habis pikir. Entah jalan pikiran Fathur kemana, tapi Adelia sangat dibuat geleng-geleng kepala dengan pria itu. Mengapa seolah Fathur sulit melepaskan selingkuhannya dan terkesan ingin terus mempertahankan hubungan itu.

“Kalau kamu emang gak bisa tinggalin perempuan itu, biar aku yang pergi bersama Luna. Aku gak mau nantinya anak aku menyaksikan kelakukan buruk Papanya. Jadi sebelum Luna semakin besar lebih baik aku bawa dia.”

“Apa-apaan kamu, Adelia--,”

“Tinggalin perempuan itu kalau emang kamu gak mau aku bawa Luna.”

Kalimat mutlak dari Adelia menutup percakapan sepasang suami istri itu. Adelia kembali ke ruang tengah, menggendong anaknya dan membawanya ke dalam kamar. Meninggalkan Fathur sendirian dengan pikirannya yang berkelana entah kemana. Adelia mungkin terlihat jahat memisahkan Fathur dengan Luna. Tapi jauh lebih dari itu ia tidak ingin anaknya merasakan sakit hati karena hubungan kedua orangtuanya yang tidak baik-baik saja.

...

Di jam 8 malam Adelia menyaksikan kepergian suaminya. Tanpa pamit dan bicara Fathur pergi begitu saja. Wanita itu memegangi dadanya yang sesak, perasaan kecewa dan sakit hati satu tahun lalu yang pernah ia rasakan kini kembali ia rasakan lagi. Tidak tahu suaminya itu akan kemana namun sebagian hati Adelia yakin kalau Fathur pergi menemui Karin–selingkuhan pria itu.

Di tempat lain. Seorang wanita tersenyum lebar menatap kedatangan Fathur. Begitupun dengan Fathur, pria itu ikut tersenyum tipis dan menyambut pelukan Karin.

"Lama nunggunya?"

"Lumayan," jawabnya.

Keduanya duduk saling berhadapan hanya terhalang meja bundar. Karin, wanita berumur 23 Tahun itu terus memandangi Fathur. Alisnya menyatu menatap raut wajah pria itu yang kini sangat terbaca kalau Fathur tengah bingung.

"Kamu kenapa, mas?"

"Gakpapa, sudah pesan makanan?" tanya Fathur.

"Belum, aku tunggu kamu."

Setelahnya mereka sibuk memesan menu. Fathur mencoba mengkontrol wajahnya dihadapan Karin. Ternyata perkataan Adelia perihal akan pergi membawa Luna cukup berpengaruh untuk pikirannya. Sedari tadi ia sulit berkonsentrasi. Bahkan saat keduanya sudah menyelesaikan acara makan malamnya. Fokus Fathur terbagi dan hal itu ditanggap jelas oleh Karin.

"Ada apa sih, mas?" Karin memandangi wajah Fathur, pria itu lebih banyak diam saat ini.

"Tidak ada apa-apa."

"Bohong, aku liat kamu gak kaya biasanya. Kenapa, ada masalah di kantor?"

Fathur menggeleng. Otaknya makin sesak, ditambah suasana restoran yang ramai membuatnya semakin sulit untuk fokus.

"Kenapa, mas?"

"Hubungan kita ketauan lagi."

Selama beberapa detika Karin diam. Tapi respon selanjutnya membuat Fathur menahan napasnya.

"Bagus dong. Kamu cerai aja sama istri kamu, terus kita nikah--,"

"Enggak segampang itu, Karin," kesal Fathur.

Meski ia menjalin hubungan dengan Karin di belakang Adelia. Fathur masih tetap memikirkan nasib rumah tangganya bila berakhir. Ia memiliki anak dan Fathur tidak ingin dipisahkan dengan anaknya.

"Terus kamu mau tinggalin aku lagi kaya dulu?" Fathur terdiam."Paling kamu balik lagi sama aku, mas. Istri kamu itu gak ada apa-apanya kan. Makanya kamu pilih selingkuh dari dia," lanjut Karin.

"Jaga ucapan kamu, Karin."

"Kenapa, benarkan?"

"Sudah. Kamu mau aku antar pulang atau tetap di sini, aku mau pulang," kata Fathur membuat Karin tidak suka mendengarnya.

"Loh, mas. Kamu katanya mau ke apartemen aku."

"Tidak jadi."

Karin menahan kesalnya diam-diam. Hubungan perselingkuhannya dengan Fathur sudah terjalin sejak satu tahun yang lalu. Mereka bertemu karena acara seminar perusahaan dan dari sana keduanya mulai dekat. Fathur pernah mengakhiri hubungan dengan Karin karena kehamilan Adelia. Keputusan Fathur sempat tidak diterima Karin, tetapi dengan akal busuknya Karin membiarkan Fathur kembali pada keluarganya. Memang hal itu tidak bertahan lama karena setelah Adelia melahirkan. Karin sengaja kembali mendekati Fathur. Hubungan perselingkuhan mereka kembali terjalin untuk yang kedua kalinya dan Karin merasa menang.

Tetapi sepertinya semua akan terulang lagi dan Karin tidak ingin Fathur lepas darinya.

...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status