Karena mengetahui Morgan yang mencium keningnya, sekujur tubuh Ayra pun bergetar. Ia merasa sangat takut, karena ternyata seperti inilah rasanya ketika Morgan mengecupnya dengan lembut. Sangat berbeda rasanya ketika ia mendapatkan sentuhan dari Ilham.“Dia ... beneran cium gue? Kita udah jadi suami istri sekarang?” batin Ayra dengan mata yang mendelik, masih kaget dengan keadaan mereka saat ini.Tepuk tangan dan sorakan para saksi membuat Morgan menghentikan kecupan lembutnya pada kening Ayra. Ia menatap dalam Ayra, sampai membuat Ayra berbinar karena apa yang ia lakukan.Ayra paham, tatapan Morgan seakan meminta izin padanya untuk mencium bibirnya. Namun, Morgan juga paham bahwa Ayra mungkin saja tidak akan mengizinkannya untuk melakukannya. Semua itu berlangsung cukup lama, sampai membuat pendeta berdeham karenanya.“Kalian boleh saling mencium, kok!” goda Ayah Ayra, membuat wajah keduanya seketika memerah karena malu.Karena sudah mendapatkan persetujuan dari Ayah Ayra, Morgan pun
Morgan menuju ke arah kamar Ayra. Walau dengan berat hati, ia mencoba membuka pintu dan ternyata tidak terkunci. Hal itu membuatnya bingung, karena Ayra yang tidak mengunci pintu kamarnya setelah melarikan diri tadi.“Aku kira pintunya dikunci,” batin Morgan, yang mulai memasuki kamar Ayra yang bernuansa merah muda.Terlihat banyak sekali pajangan pada dinding, termasuk figura dan beberapa polaroid membentuk gambar hati. Banyak sekali foto kebersamaan Ayra dengan seorang pria, yang sepertinya sangat tidak asing bagi Morgan.Morgan menyipitkan matanya ketika memandangi foto tersebut. “Itu ... bukannya pria yang waktu itu menjemput Ayra di sekolah? Gak nyangka, ternyata mereka pacaran,” batinnya, yang tidak menyangka akan hal itu.Sama sekali tidak terlihat keberadaan Ayra, sampai membuat Morgan semakin penasaran dengan pajangan yang berada di dinding tersebut. Satu per satu polaroid ia pandangi, dengan berbagai gaya foto yang terlihat cukup bagus untuk photo genic.“Ternyata mereka san
Morgan berusaha menghindar dari serangan bantal dan guling yang Ayra lakukan. Namun, ternyata kekuatan Ayra cukup kuat, sehingga ia kewalahan sendiri menghadapinya.“Sudah cukup, Ayra!” ucap Morgan, yang terkena lemparan bantal tersebut.Lemparan kedua masih kena, tetapi Morgan berusaha menahan kesabarannya.“Ayra ....”“Ayra sudah cuk—” Morgan terdiam, karena lemparan keempat yang Ayra lakukan ternyata tepat mengenai wajahnya. “ ... kup,” sambungnya, setelah terkena lemparan tersebut.Ayra memandangnya dengan sinis, saking kesalnya ia dengan apa yang Morgan lakukan padanya. Setelah puas melempari Morgan, kini Ayra kembali menyembunyikan tubuhnya di dalam selimut, menyisakan wajahnya saja.Karena merasa sudah terkena imbasnya, Morgan pun hanya bisa menggelengkan kecil kepalanya sambil menghela napasnya dengan panjang. Karena kejadian ini, ia malah berharap pernikahan ini tidak sampai terjadi.“Kenapa pernikahan ini terjadi, ya? Aku menyesal sekarang,” batin Morgan, yang baru mengawali
Sementara itu di dalam kamar mandi, Morgan membuka shower yang sengaja ia alirkan mengenai sekujur tubuhnya yang panas. Lekuk dada Ayra yang menggiurkan, ternyata cukup membuat pikiran Morgan berantakan sejenak.“Ah ... dia terlalu seksi untuk seukuran anak SMA,” batin Morgan, dengan tangan yang ia sibakkan pada rambutnya yang sudah basah terkena percikan air shower.Sebisa mungkin Morgan menahan dirinya untuk tidak melampiaskan hasratnya.Setelah beberapa saat, Morgan pun keluar dari kamar mandi. Dengan hanya mengenakan handuk yang ia lilitkan pada pinggangnya, Morgan melangkah tanpa ragu.Sejak tadi, Ayra masih saja berpikir macam-macam dengan keadaan yang ada. Karena pikiran itu, ia masih saja berada di dalam selimut yang membungkus sekujur tubuhnya.Mendengar suara pintu kamar mandi yang dibuka, Ayra pun spontan menoleh, sehingga Morgan juga ikut menoleh ke arahnya.“Ah!” teriak Ayra, ketika ia sadar bahwa Morgan berdiri di hadapannya dengan tanpa mengenakan busana.Saking terkeju
"Bagaimana bisa terjadi hal yang memalukan seperti ini, hah? Seorang guru, tapi tidak berpendidikan! Berkelakuan layaknya binatang!" bentak Darmawan, Ayah dari gadis bernama Ayra. Suasana di ruang pertemuan sekolah ini sangatlah mencekam. Kedua orang tua Ayra tidak terima dengan perlakuan tak senonoh seorang guru, yang bertugas di sekolah tempat Ayra menimba ilmu. Sudah ada kepala sekolah, wakil kepala sekolah, kedua orang tua Ayra, Morgan dan juga Ayra di sana. Mereka mengadili perilaku Morgan yang tak senonoh, yang dilakukan terhadap putri mereka. Morgan memandang bingung ke arah mereka, karena kejadian ini tidak seperti yang mereka pikirkan. "Maaf Tuan Darmawan, kejadian ini bukan seperti yang Anda pikirkan. Ini semua murni kesalahpahaman saja," ujar Morgan, yang berusaha berkilah di hadapan mereka. "Alah, mana ada maling yang mengaku mencuri?" sambar Ibu Viona, yang tak lain adalah Ibu dari Ayra. Melihat suasana yang sangat menegangkan, kepala dan juga wakil kepala sekolah b
Morgan menghela napas panjang.Bersama Ayra, dia keluar dari ruang sidang sekolah. Pria itu sungguh lelah dan hanya ingin segera kembali ke apartemen yang ia tempati. "Saya harus kembali ke rumah," ujar Morgan kepada Ayra tiba-tiba.Bukannya menjawab, Ayra malah terduduk lemas karena harus menerima permasalahan serumit ini. Morgan yang semula ingin cepat kembali ke apartemennya, menjadi iba ketika melihat Ayra yang sepertinya sangat hancur. "Kenapa semuanya terjadi sih? Kenapa malah jadi seperti ini?" gumam Ayra dengan tangisan yang sudah pecah. Morgan kembali menghela napasnya. Diulurkan tangannya ke arah Ayra, sehingga membuat gadis itu menghentikan tangisnya."Semua akan baik-baik saja," ucap Morgan.Bukannya senang, Ayra menjadi kesal mendengarnya. Perempuan itu lantas menepis tangan Morgan yang ada pada bahunya. "Apanya yang akan baik-baik aja, Pak? Kita mau dinikahin, atau Bapak akan masuk penjara. Apa itu yang namanya baik-baik aja? Gak ada yang akan baik-baik aja!" bentak
Keesokan harinya, Morgan berangkat ke sekolah seperti biasa. Diabaikannya tatapan menyelidik para guru di koridor sekolah dan terus melangkah ke arah kelas yang akan diajar.Hanya saja, langkahnya tiba-tiba terhenti, ketika ia tak sengaja melihat seorang murid yang berada di rooftop gedung seberang. Matanya mendelik, tatkala ia menyadari bahwa murid tersebut adalah Ayra. "Ayra? Mau ngapain dia?" gumam Morgan, yang masih penasaran dengan apa yang akan Ayra lakukan di atas rooftop. Dengan setengah sadar, Morgan melangkah naik ke tangga untuk segera menyusul Ayra. Ia merasa ada yang aneh dengan gelagat Ayra. Langkahnya ia percepat, karena ia tidak ingin terjadi sesuatu dengan Ayra. Sampai akhirnya ia pun sudah sampai di atas rooftop. Setelah membuka paksa pintu yang sedikit sulit dibuka, pandangan Morgan pun tertuju pada Ayra yang sudah naik ke pembatas rooftop dengan membelakanginya. Morgan mendelik. "Astaga, Ayra! Kamu ngapain di situ?" pekiknya. Ayra menoleh untuk memastikan or
Suasana menjadi sangat tegang, karena Lidya yang tidak biasanya mendengar Morgan yang meminta bantuannya seperti ini. "Umm ... ada apa ya, Pak? Apa yang Pak Morgan inginkan?" tanya Lidya penasaran. "Saya ingin memeriksa rekaman CCTV di depan ruang penyimpanan peralatan olahraga. Saya ingin melihat di jam sebelum pulang sekolah," ujar Morgan tanpa basa-basi, membuat Lidya mengangguk kecil mendengarnya. Dengan cekatan, Lidya segera menuju ke arah tempat duduknya. Ia pun duduk, kemudian memeriksa rekaman tersebut pada monitor kontrol miliknya. "Ini Pak," ucap Lidya. Morgan memandangi layar monitor dengan sangat berhati-hati. Setelah Ayra masuk ke dalam ruangan tersebut, tidak ada siapa pun di sana yang melintas di area tersebut. Morgan semakin menajamkan matanya, kalau saja ada seseorang yang melewatinya di sana. Namun, ketika Morgan datang membawa sapu di tangannya, tidak ada orang lain sebelum dan setelah kedatangannya. Dengan kata lain, tidak ada saksi yang bisa membuktikan tenta