Di dalam kamar yang sunyi, Ayla duduk di depan laptopnya, jemarinya menari di atas keyboard, mencurahkan perasaannya melalui kata-kata. Kamar itu adalah tempat favoritnya—ruang yang memberikan kenyamanan dan pelarian dari kehidupan yang sepi dan rumit. Dalam dunia novelnya, Ayla menemukan kebebasan dan kekuatan yang tak pernah ia rasakan di kehidupan nyata.
Namun, saat pikirannya masih tenggelam dalam cerita yang sedang ia tulis, bunyi bel rumah yang keras dan berulang memecahkan keheningan. Ayla menghentikan tulisannya sejenak, menoleh ke arah jendela. Siapa yang datang pagi-pagi begini?
Tiba-tiba, suara Ratna dan Nadya terdengar samar dari bawah. Jantung Ayla berdetak cepat. Mertuanya dan Nadya? pikirnya, panik. Mereka tidak pernah datang tanpa pemberitahuan, dan kedatangan mereka jarang membawa kabar baik.
Dengan cepat, Ayla menekan tombol untuk mematikan laptopnya, khawatir jika mereka mengetahui tentang kehidupan rahasianya sebagai penulis. Ia menutup laptop dan berdiri dengan tergesa, berusaha menenangkan dirinya.
Ayla melangkah cepat keluar dari kamar, meninggalkan dunia yang ia ciptakan melalui tulisan. Ketika ia sampai di ruang tamu, ia melihat Ratna dan Nadya sudah duduk di sofa, wajah mereka menunjukkan ketidaknyamanan yang khas—seolah-olah mereka tidak ingin berada di sini, tetapi mereka datang karena sesuatu yang penting.
“Selamat pagi, Ma, Nadya,” sapa Ayla dengan senyum kecil yang dipaksakan, berharap bisa menyembunyikan rasa tegang yang muncul di dadanya. Ia duduk di kursi yang berhadapan dengan mereka, berusaha menjaga ketenangan. “Maaf, aku baru turun.”
Ratna meliriknya sebentar sebelum berbicara. “Kami nggak masalah menunggu,” jawabnya dengan nada dingin, sambil melirik sekilas ke sekitar rumah seakan sedang menilai keadaan di dalamnya. Nadya, seperti biasa, duduk dengan tubuhnya bersandar malas di sofa, seolah tak ingin berada di sana.
Ayla merasa jantungnya semakin berdebar saat duduk di hadapan Ratna dan Nadya. Ruangan yang tadinya terasa nyaman kini dipenuhi ketegangan. Sebelum Ayla sempat menanyakan maksud kedatangan mereka, mata tajam Ratna langsung mengarah ke tumpukan paket yang ada di sudut ruang tamu.
“Apa itu semua?” tanya Ratna dengan nada yang terkesan menyindir, menatap paket-paket yang baru saja datang beberapa hari lalu. “Apakah kamu menghabiskan uang Raka lagi untuk hal-hal yang nggak penting?”
Ayla menghela napas dalam hati, mencoba menahan gejolak emosi yang mulai menguar. Selalu begini, pikirnya. Setiap kali ada barang baru di rumah, selalu dianggap sebagai bentuk pemborosan. Ia harus selalu membela diri, meskipun sebagian besar yang ia beli adalah kebutuhan rumah tangga.
“Semua itu adalah peralatan rumah tangga, Ma,” jawab Ayla dengan nada tenang, meski hatinya gelisah. “Piring, gelas, dan beberapa barang lain yang kami butuhkan. Rumah ini kan harus dirawat dan dijaga kebutuhannya.”
Ratna menatapnya dengan pandangan skeptis, seolah tidak percaya dengan penjelasan Ayla. “Kebutuhan rumah tangga?” ujarnya dingin. “Piring? Gelas? Setiap kali kami datang, selalu ada yang baru. Raka sudah bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan rumah, dan kamu terus-terusan menghabiskan uangnya untuk barang-barang yang nggak jelas.”
Nadya yang duduk di sebelahnya tertawa kecil, menambahkan komentar dengan sinis, “Iya, Kak Raka memang kaya, tapi kamu tahu kan, Ayla, bukan berarti bisa seenaknya. Aku heran kenapa selalu ada paket yang datang ke rumah ini.”
Ayla mencoba tetap tenang. Ia tahu setiap kata yang ia ucapkan akan selalu dinilai salah di mata mereka. “Aku pastikan semua yang dibeli memang untuk kebutuhan rumah, Nadya. Rumah ini besar, banyak yang harus diperbaiki dan diperbarui. Aku cuma berusaha membuat semuanya lebih baik.”
Namun, Ratna tidak mengurangi sindirannya. “Lebih baik? Atau kamu cuma cari alasan untuk membelanjakan uang Raka? Jangan pikir kami nggak tahu akal bulusmu ya.”
Kata-kata itu menusuk Ayla, namun ia tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat panjang dengan mereka. Ini bukan pertama kalinya ia dituduh menghabiskan uang Raka, dan setiap kali ia menjelaskan, tanggapan yang ia terima selalu sama: ketidakpercayaan.
Ayla menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi yang terus membesar. “Aku cuma berusaha merawat rumah ini, Ma. Itu saja.”
Ratna menghela napas, seolah lelah dengan penjelasan Ayla. “Baiklah. Tapi ingat, Raka bekerja keras untuk semuanya. Jangan sampai kamu membuatnya lebih terbebani dengan hal-hal yang nggak penting.”
Ayla hanya bisa mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa hancur. Setiap usahanya untuk menjalankan tugas sebagai istri selalu dianggap salah. Tidak ada yang ia lakukan yang tampak cukup di mata keluarga Raka.
“Kami mau berbelanja, Ayla. Kamu ikut dengan kami.”
Ayla tidak terkejut mendengar ajakan itu. Ia sudah tahu apa artinya ketika Ratna dan Nadya mengajaknya berbelanja. Ini bukan ajakan untuk menikmati waktu bersama, melainkan sebuah kesempatan bagi mereka untuk memanfaatkannya.
“Ya, Ma,” jawab Ayla pelan, berusaha menjaga senyumnya meski hatinya ingin menolak.
Nadya, yang dari tadi terlihat bosan, langsung tersenyum lebar. “Akhirnya! Aku sudah lama pengen ke butik baru di pusat kota. Kamu harus lihat, Ayla. Mereka punya koleksi baju baru yang keren. Oh, tapi kamu nggak akan pakai baju-baju semahal itu, kan?” tawa sinis Nadya kembali terdengar, seolah sengaja mempermalukan Ayla.
Ayla menahan diri untuk tidak bereaksi. Ia sudah terbiasa dengan ejekan Nadya. Satu hal lagi yang sudah Ayla ketahui dengan pasti adalah mereka tidak hanya mengajaknya berbelanja. Ratna dan Nadya membutuhkan sesuatu darinya—lebih tepatnya, mereka membutuhkan kartu black card yang diberikan oleh Raka untuk Ayla.
Semenjak Pak Aditya menyita kartu kredit mereka berdua akibat pemborosan yang berlebihan, Ratna dan Nadya tak lagi bisa bebas berbelanja seperti biasanya. Mereka tahu bahwa satu-satunya cara untuk tetap bisa memanjakan diri adalah dengan menggunakan kartu black card milik Ayla. Kartu itu diberikan Raka kepada Ayla sebagai bentuk tanggung jawab untuk mengurus keperluan rumah tangga, tetapi keluarga Raka selalu berhasil memanfaatkannya untuk kepentingan mereka sendiri.
“Jangan lupa bawa kartu itu, Ayla,” tambah Ratna, kali ini nada suaranya tidak lagi bernada sindiran, tetapi perintah yang jelas. “Kartu yang Raka berikan padamu. Kami akan membutuhkan itu.”
Ayla merasakan beban berat di dadanya, tetapi ia hanya bisa mengangguk. Di satu sisi, ia tahu tidak ada pilihan lain. Menolak hanya akan memperburuk hubungan mereka yang sudah dingin. Di sisi lain, ia tahu betul bahwa saat mereka berbelanja, dirinya tak lebih dari sekadar 'kacung' yang disuruh-suruh. Tidak ada pembicaraan hangat, tidak ada perhatian, hanya penugasan tanpa henti.
“Baik, Ma,” jawab Ayla akhirnya. “Aku bawa kartunya.” Suaranya tenang, meski hatinya merasakan luka yang tak pernah sembuh.
“Bagus,” balas Ratna dengan datar. “Ayo, kita berangkat. Jangan buang waktu.”
Ayla tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ini bukan pertama kalinya, dan mungkin bukan yang terakhir. Ia akan ikut, membawa beban—baik fisik maupun emosi—dan tidak ada yang akan melihat atau peduli dengan apa yang dirasakannya.
Setelah meninggalkan rumah, Ayla mengikuti langkah cepat Ratna dan Nadya menuju pusat perbelanjaan paling mewah di kota. Jalan-jalan di antara etalase butik-butik ternama selalu membawa aura yang penuh kemewahan, tetapi bagi Ayla, itu hanya berarti satu hal: ia akan menjadi pembawa barang-barang belanjaan yang tak ada habisnya.Mereka pertama-tama memasuki butik mewah dengan kaca yang berkilau, di mana setiap gaun dan aksesori berharga jutaan rupiah dipajang seolah-olah itu adalah karya seni. Nadya segera berjalan cepat menuju deretan baju bermerek, memilih-milih gaun yang menurutnya akan cocok untuk berbagai acara yang mungkin tidak pernah benar-benar ia hadiri.“Ayla, bawa ini,” perintah Nadya sambil menyerahkan beberapa baju mewah ke tangan Ayla. Belum sempat Ayla mengatur baju-baju yang sudah diambil, Nadya kembali menyerahkan tas tangan berwarna emas yang berkilau. “Pasti kalau pakai ini aku cantik sekali, kan?” Nadya tertawa kecil.Ayla hanya mengangguk, mencoba memasang senyum
Sepulangnya dari berbelanja dan makan siang bersama Ratna dan Nadya, tubuh Ayla terasa begitu lelah. Begitu sampai di rumah, Ayla langsung menuju kamar mandi, berharap segarnya air bisa sedikit menghilangkan rasa lelah dan tegang yang menumpuk sepanjang hari.Setelah mandi, Ayla merasa sedikit lebih baik. Ia mengenakan pakaian santai dan memutuskan untuk duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri dengan membaca buku. Setiap halaman yang ia baca terasa seperti pelarian sejenak dari kenyataan hidupnya yang monoton dan penuh tekanan.Namun, belum lama ia tenggelam dalam bacaan, ponselnya berdering. Ayla menoleh ke arah ponselnya, merasa sedikit heran. Ia jarang sekali menerima telepon di malam hari kecuali dari keluarganya.Dengan sedikit ragu, Ayla mengangkat telepon dan mendekatkannya ke telinga. “Halo?”“Ayla! Ini aku, editor dari platform novel onlinemu. Maaf mengganggu di malam hari, tapi aku harus menyampaikan sesuatu yang sangat penting,” suara akrab editor itu terdengar penuh
Suasana kantor Raka pagi itu sangat sibuk. Di setiap sudut ruangan, para karyawan tampak berlarian, membawa berkas dan laporan, sementara suara ketukan keyboard mengisi udara. Kantor yang terletak di lantai atas gedung tinggi itu memiliki jendela besar yang memberikan pemandangan menakjubkan ke arah kota. Namun, pemandangan itu tampak jauh dari perhatian Raka yang saat ini terfokus pada pekerjaan di mejanya.Di dalam ruangannya yang rapi dan modern, Raka duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dengan tumpukan berkas dan laptop yang selalu menyala. Dengan mata serius, ia membaca laporan dari tim pemasaran. Angka-angka dan grafik memenuhi pikirannya, dan ia mencatat beberapa poin penting yang perlu dibahas dalam rapat nanti. Setiap kali ia menemukan masalah dalam laporan, kerutan di dahi Raka semakin dalam, menunjukkan betapa beratnya beban yang ia pikul sebagai CEO perusahaan ritel yang diwariskan oleh ayahnya.Raka menghela napas panjang dan memijat pelipisnya, berusaha mengusir ra
Senyum Ratna semakin lebar saat ia melihat Laras, seolah ingin memamerkan sosoknya kepada dunia. “Kamu tahu nggak, Laras, banyak yang bilang kamu adalah gadis idaman. Raka pasti senang kalau kalian kembali bersama.”Sementara itu, Raka hanya mengangkat bahu, terlihat acuh tak acuh. “Masa lalu adalah masa lalu, Ma. Sekarang aku cuma ingin fokus kerja,” jawabnya dengan nada datar, seolah mengabaikan harapan ibunya dan Laras.Mendengar respon itu, Ratna tampak kecewa, tetapi Laras tidak kehilangan semangatnya. Dia melanjutkan pembicaraan dengan antusias, berusaha menghidupkan suasana yang tegang.“Raka, kamu serius? Kamu nggak merasa sedikit pun nostalgia?” Laras bertanya dengan nada menggoda, mencoba menciptakan suasana yang lebih hangat. “Kita pernah bahagia, kan?”Tetapi Raka hanya menggelengkan kepala, kembali fokus pada makanannya. “Hanya karena kita punya masa lalu nggak berarti kita harus kembali ke sana.”Suasana di meja makan terasa semakin akrab ketika Ratna tiba-tiba mengeluar
Sementara di restoran yang sama, di sudut yang lebih tenang, Ayla duduk berhadapan dengan Rania dan Bima. Mulanya, Ayla berpikir Bima adalah pria berumur lebih dari empat puluh tahun lebih. Namun, ternyata tidak demikian. Bima adalah sosok yang menonjol di antara kerumunan, dengan perawakan tinggi dan tubuh yang atletis. Wajahnya dihiasi dengan rahang tegas dan dagu yang kuat, memberikan kesan karismatik. Matanya yang tajam dan bersemangat berwarna cokelat gelap, seolah selalu menyimpan rencana dan ambisi.Ia mengenakan setelan jas navy yang dipadukan dengan kemeja putih bersih dan dasi berwarna senada. Pakaian yang terawat rapi itu memberikan kesan profesional sekaligus modis. Bima kelihatannya selalu tampil percaya diri; senyumnya yang lebar dan hangat membuat orang merasa nyaman di sekitarnya, namun ada nuansa ketegasan dalam cara ia berbicara dan bergerak. “Ayla, aku senang kamu memutuskan untuk bertemu dengan Bima. Ini adalah langkah besar untuk karier menulismu,” ucap Rania, pe
Ayla berjalan menuju area parkir dengan Bima dan Rania setelah pertemuan yang penuh semangat di restoran. Udara sore terasa menyegarkan, tetapi saat langkahnya mendekati mobil, dia mendapati Raka berdiri di dekat pintu keluar, bersama Ratna dan Laras. Jantungnya berdegup kencang, dan ketegangan langsung mengisi udara.“Raka!” Ratna memanggil anaknya dengan suara ceria, tetapi ada nada yang tajam di balik senyumannya. “Lihat siapa yang baru saja keluar dari restoran itu!”Raka menoleh, dan ekspresinya berubah seketika saat melihat Ayla. “Ayla?” tanyanya, seolah-olah terkejut melihatnya di sana.“Raka,” Ayla menjawab, berusaha menunjukkan senyum meski hatinya bergetar. “Kamu disini juga?”Ratna tidak memberi kesempatan untuk Ayla berbicara lebih jauh. “Berani sekali kamu, Ayla! Apa kamu nggak malu pergi dengan pria lain saat suamimu sedang berjuang mencari nafkah?” tuduhnya, nada suaranya penuh kebencian.Ayla merasa jantungnya tercekat mendengar tuduhan itu. “Ibu, itu nggak benar! Bima
Malam itu, setelah perdebatan yang menyakitkan dengan Raka, Ayla duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke dinding berwarna pastel yang dulunya terasa menenangkan. Namun sekarang, dinding itu seolah menjadi pengingat akan semua kesedihan dan kesepian yang mengisi hidupnya. Hatinya terasa berat, dipenuhi dengan keraguan dan ketidakpastian.Apakah ini benar-benar pernikahan? pikirnya, mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri. Sejak hari pernikahan mereka, hubungan ini seolah terjalin tanpa ada kedalaman yang diharapkan. Mereka tidak pernah berbagi momen intim selayaknya suami istri dan Ayla merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang monoton, tanpa cinta dan perhatian yang seharusnya ada antara suami dan istri.Ayla merasakan air mata mulai menggenang di sudut matanya. Semua usaha yang dilakukannya untuk mendekatkan diri pada Raka seolah sirna. Ayla mengenang bagaimana ia selalu berusaha menciptakan suasana yang hangat di rumah, memasak hidangan spesial, dan menyiapkan
Setelah menjelaskan beberapa sutradara dan penulis skenario, Bima menatap Ayla dengan serius. “Ngomong-ngomong, tentang perdebatan yang terjadi di restoran kemarin... aku ingin minta maaf karena menghindari perdebatan itu. Aku tahu betapa sulitnya situasi yang kamu hadapi.”Ayla terkejut mendengar pernyataan Bima. “Nggak apa-apa, Bima. Itu urusan pribadi yang rumit,” jawabnya, berusaha tidak menunjukkan betapa beratnya beban di hatinya. “Tapi memang, situasi itu cukup membuatku stres.”Bima mengangguk, menunjukkan empati. “Aku menghormati privasi kamu, tetapi aku nggak bisa menahan rasa ingin tahuku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kalau kamu merasa nyaman, aku ada di sini untuk mendengarkan.”Ayla menundukkan kepala sejenak, mengumpulkan pikirannya. Apakah aku siap membagikan ini? pikirnya, tetapi ada sesuatu dalam sikap Bima yang membuatnya merasa aman. Dia merasa bahwa dia bisa mempercayainya.“Aku dan Raka sudah menikah selama setahun, tetapi hubungan kami terasa sangat jauh. Setiap
Mira keluar dari pintu depan rumah sambil mengikat rambutnya. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang hangat membuat halaman rumah terlihat lebih hidup. Ia mengernyit kecil saat menyadari bahwa Bintang, anaknya, tidak ada di halaman seperti biasanya.“Bintang!” panggil Mira, melangkah ke arah pagar. Tidak ada jawaban.Matanya melirik ke warung kopi di sebelah kanan rumah, dan ia segera melihat sosok anaknya yang sedang duduk manis di bangku panjang. Namun yang membuat Mira terkejut bukan hanya Bintang—di sebelah anak itu duduk seorang pria muda dengan pakaian rapi, tampak sedang berbicara santai dengan beberapa pria yang sering nongkrong di warung itu.Kening Mira berkerut. Ia mempercepat langkahnya, menghampiri warung dengan rasa penasaran.“Bintang!” panggil Mira, suaranya sedikit tegas.Bintang menoleh cepat, senyumnya melebar. “Iya, Ma!”Mira menghampirinya, langsung menarik tangan anaknya dengan lembut tetapi penuh maksud. “Kamu ngapain di sini? Siapa ini?” tanyanya sambil
Begitu Ayla melangkah masuk ke halaman rumah, suara pintu depan yang terbuka menarik perhatiannya. Lina, ibunya, muncul dari dalam rumah dengan wajah penuh senyum. Di belakangnya, Mira berlari kecil menyusul, wajahnya berseri-seri saat melihat Ayla.“Ayla!” Lina memanggil sambil membuka tangannya lebar.“Ibu…” Ayla tersenyum kecil, lalu berjalan cepat mendekati ibunya. Lina langsung memeluknya erat, hangat dan penuh kasih seperti yang selalu Ayla rindukan.“Kenapa nggak bilang mau pulang?” tanya Lina setelah melepaskan pelukannya. “Kamu tiba-tiba datang aja.”“Biar surprise,” jawab Ayla sambil tertawa kecil. “Aku cuma mampir sebentar, kok.”Mira, adiknya, langsung menggantikan posisi Lina dengan pelukan yang tak kalah erat. “Kak Ayla! Udah lama banget nggak ke sini! Aku kira Kak Ayla lupa jalan pulang ke rumah,” ujarnya sambil terkekeh.“Mana mungkin aku lupa,” balas Ayla sambil mencubit ringan pipi Mira.Mira tertawa, lalu menarik tangan Ayla masuk ke dalam rumah. “Masuk dulu, dong.
Ayla mengusap pipinya perlahan, mencoba menghapus sisa air mata yang masih terasa hangat. Ia menatap Bima, lalu tersenyum kecil, meski senyuman itu tampak dipaksakan. “Makasih, Bima. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kamu sekarang.”Bima tersenyum, tetapi tatapannya tetap penuh perhatian. “Nggak usah makasih, Ayla. Aku cuma nggak suka lihat kamu kayak gini. Tapi jujur, senyummu itu… masih belum sempurna. Kamu masih kelihatan nggak bahagia.”Ayla menghela napas panjang, pandangannya kembali mengarah ke bukit dan langit biru di kejauhan. “Mungkin aku nggak tahu lagi gimana rasanya bahagia. Semua udah terasa terlalu berat.”Bima menyandarkan tangannya ke pinggul, menatap Ayla dengan serius. “Oke, kalau gitu, apa yang bisa bikin kamu bahagia lagi? Apa yang kamu butuhin sekarang?”Ayla terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaan itu. Ia tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Atau…” Ayla menghela napas, suaranya melembut. “Atau keluargaku, Bintang keponakanku. Ru
Malam itu, Ayla duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar, ponselnya tergenggam erat. Di layar, bukti tiket dan reservasi hotel masih terbuka, nama-nama itu terpampang jelas: Raka Wasena Aditya dan Laras Kusuma Dewi.Jam dinding berdetak perlahan, suara itu semakin mengisi ruangan yang sepi. Di meja di depannya, secangkir teh yang telah mendingin tidak ia sentuh sama sekali. Ayla mencoba menenangkan dirinya, tetapi air mata yang menggenang di matanya tak bisa ditahan lagi. Beberapa kali ia mengusap pipinya, berharap sisa-sisa air mata itu tidak meninggalkan jejak.Pintu depan akhirnya terbuka. Raka melangkah masuk, tubuhnya terlihat lelah, tetapi matanya langsung bertemu dengan Ayla yang duduk di sofa. Ia berhenti, tatapannya berubah waspada. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang.Ayla berdiri perlahan, matanya yang merah menatap Raka dengan campuran emosi: marah, kecewa, dan luka yang mendalam. “Kamu akhirnya pulang,” ucapnya pelan, suaranya hampir bergetar.Raka melepas
Ayla membuka pintu rumah dengan cepat, langkah kakinya tergesa menuju tangga. Tas belanjaan peralatan kuliah masih tergantung di lengannya, tetapi pikirannya terusik oleh sesuatu yang tak ia duga sebelumnya: pintu kamarnya di lantai atas yang tadi terlihat terbuka dari luar.Ketika ia mencapai lantai atas, napasnya terhenti sesaat. Di dalam kamarnya, Ratna berdiri di dekat meja kerjanya, sementara Nadya dengan santai duduk di tepi tempat tidur, tangan keduanya memegang formulir pendaftaran kuliah milik Ayla."Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Ayla tajam, matanya menatap keduanya dengan penuh kecurigaan.Ratna berbalik, wajahnya penuh kemarahan. Ia mengangkat formulir pendaftaran kuliah itu seperti barang bukti. "Ini apa, Ayla?" suaranya meninggi. "Kamu mau kuliah lagi? Apa kamu pikir uang Raka itu nggak ada batasnya? Kamu akan menghabiskan uangnya untuk hal tidak penting seperti ini?"Ayla melepaskan tas belanjaannya ke lantai, tubuhnya bergetar oleh emosi. "Maaf, Ma. Tapi apa y
Langkah Raka terhenti ketika mendengar suara keras dari sudut koridor yang mengarah ke ruang kerja staf. Ia menoleh, melihat seorang pegawai senior sedang berdiri dengan wajah tegang, berbicara kepada seorang wanita muda yang menundukkan kepala. Pegawai muda itu tampak gugup, jari-jarinya mencengkeram ujung buku catatannya, dan wajahnya memerah karena malu."Lia, kamu sadar nggak seberapa besar masalah yang bisa terjadi karena ini?" tegur pegawai senior itu dengan nada tajam. "Kamu nggak boleh asal mengirimkan informasi penting ke sembarang orang!""Saya... saya benar-benar minta maaf, Pak," jawab Lia dengan suara bergetar. "Tapi saya hanya mengikuti perintah. Saya disuruh mengirimkan rincian hotel dan tiket ke istri Pak Raka."Raka mendekat, matanya menyipit. "Apa yang sedang terjadi di sini?"Kedua pegawai itu menoleh ke arahnya dengan wajah berbeda. Wajah pegawai senior menunjukkan ketakutan, sementara Lia terlihat semakin pucat.“Pak Raka,” panggil pegawai senior itu dengan nada ra
Rak-rak tinggi yang dipenuhi buku dan perlengkapan tulis memenuhi pandangan Ayla saat ia melangkah di antara lorong-lorong toko buku besar itu. Keranjang belanjanya sudah penuh dengan buku catatan, pena beraneka warna, dan beberapa buku teks yang ia rasa akan berguna untuk semester pertamanya nanti. Setiap barang yang ia masukkan ke dalam keranjang membawa semacam kegembiraan kecil, seolah-olah ia sedang membangun awal yang baru, satu barang demi satu barang.Di tengah kegiatannya memilih tas ransel baru, ponsel Ayla bergetar di saku jaketnya. Ia berhenti sejenak, menarik ponsel itu dan melihat nama tak dikenal muncul di layar. Dengan alis sedikit terangkat, ia menerima panggilan itu.“Halo?” tanyanya, sambil menyeimbangkan keranjang belanja di lengannya.“Selamat siang, Ibu Ayla,” suara seorang wanita terdengar ramah dari ujung telepon. “Saya Lia dari kantor Pak Raka. Saya hanya ingin mengonfirmasi reservasi hotel untuk perjalanan Ibu dan Pak Raka ke Medan minggu ini.”Langkah Ayla t
Ayla tiba di kantor Bima dengan langkah ringan, senyum kecil tidak pernah lepas dari wajahnya. Hari itu terasa berbeda, seolah udara di sekitarnya membawa semangat baru. Dengan tas kecil di tangan, ia menuju ruangan Bima yang terletak di ujung lorong kantor yang sibuk.Ia berhenti di depan pintu dengan plakat bertuliskan nama Bima. Menarik napas dalam-dalam, Ayla mengetuk pelan. “Bima, aku sudah di sini,” panggilnya dari luar.“Masuk saja!” jawab suara Bima dari dalam.Ayla membuka pintu, tetapi langkahnya terhenti seketika. Di atas meja kerja Bima, ada sebuket bunga berwarna cerah—mawar, dan baby’s breath yang tersusun rapi dalam vas kaca. Ia menatap bunga itu dengan mata sedikit membelalak, bingung sekaligus terkejut.Bima berdiri di belakang meja, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Selamat, Ayla,” katanya dengan nada tulus yang khas. “Aku dengar kamu sudah resmi jadi mahasiswa lagi.”Ayl
Laras masih duduk di sofa ruang kerja Raka, kedua tangannya menggenggam cangkir teh yang baru saja ia buat dari pantry kantor. Matanya memperhatikan Raka yang kembali sibuk memeriksa laporan di laptop, meskipun makanan yang ia bawa tadi baru setengah disentuh.“Raka,” panggil Laras pelan, nada suaranya seolah enggan mengganggu.Raka mengangkat wajahnya dari layar, menatap Laras yang tampak ragu untuk melanjutkan. “Ada apa, Laras?”Laras tersenyum tipis, meletakkan cangkir di meja kecil di sebelahnya. “Aku cuma kepikiran… akhir pekan nanti kamu ada rencana apa?”Raka mendesah pelan sambil menyandarkan tubuh ke kursi. “Harusnya bisa istirahat, tapi nggak. Aku ada jadwal ke Medan. Mau monitoring pasokan barang untuk supermarket di sana.”“Oh.” Laras mengangguk pelan, lalu melirik ke arah jendela sejenak sebelum kembali menatap Raka. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku ikut ke Meda