Setelah mendengar cerita Nesa pada Ketiga karyawati lainnya. Jihan yang merasa jarang diperlakukan romantis oleh Danu, merasa sedih. Hingga muncul pertanyaan-pertanyaan jika Danu memang tidaklah mencintai dirinya. Jihan sadar betul bagaimana keadaannya dulu, sebelum mengenal Danu lalu diperistri olehnya.Pesanan Jihan sudah diantar dan tersaji di depannya. Ia tidak langsung memakannya. Jihan malah membawa sarapannya ke meja di mana Nesa dan ketiga karyawati duduk.“Boleh gabung?” tanya Jihan memastikan.Nesa dan ketiga karyawati menoleh ke sumber suara.“Eh, Bu, Jihan. Boleh, Bu, silakan,” titah Nesa begitu hormat karena status pekerjaan mereka memang berada di bawah Jihan.“Terima kasih, ya,” balas Jihan lalu duduk di satu meja yang sama dengan Nesa.Semua karyawan dan karyawati di mana Jihan kerja, hampir mengenali sosok Jihan. Ia sangat humble, murah senyum sehingga banyak yang menyukainya. Menyukai kepribadiannya, serta bangga akan prestasi yang diraih olehnya. Membuat semua dibua
“Bagaimana Mas? Apa Jihan mau?” tanya Firna setelah Danu mengakhiri teleponnya lebih tepatnya setelah Jihan mematikan secara sepihak telepon darinya.Danu menjambak kasar rambutnya, lalu menatap Firna dan menggelengkan kepala.“Kita tetap harus paksa, Mas. Aku ingin bicara empat mata dengan Jihan,” pinta Firna pada Danu.“Mas akan atur waktu biar kamu bisa bertemu Jihan. Mas percaya sama kamu, kamu pasti bisa membuat ia mengerti dan menerima pernikahan kita.”“Iya.”Firna bernama lengkap Firnasari. Ia sebenarnya cinta pertama Danu saat mereka sama-sama duduk di bangku SMA. Saat itu, Danu kelas tiga dan Firna kelas satu. Lalu setelah sekian tahun berpisah, di acara yang sama-sama mereka datangi pertemuan pun kembali terulang.Meski sudah lama tak bertemu, tapi, rasa cinta yang dahulu pernah ada kini kembali muncul, kembali hadir di hati mereka. Dengan alasan masih saling mencintai Danu dan Firna mengikat hubungan mereka dengan seb
“Jihan?!”Danu begitu marah karena Jihan mulai melawan dirinya. Jihan tetap pergi tanpa mendengar perkataan Danu yang sudah mulai naik darah. Jihan membuka pintu kamarnya lalu secara bersamaan, Raisa dan Rafli masuk setelah tadi dibawa Mona ke halaman belakang.Raisa dan Rafli yang melihat bundanya akan pergi, langsung berlari dan memegangi tangan Jihan.“Bunda mau ke mana? Jangan pergi, Bunda,” rengek Raisa dan juga Rafli.Jihan hanya bisa memejamkan matanya, mencoba agar tidak terpengaruh oleh rengek kan kedua anaknya. Jihan bukannya tidak sayang pada kedua anaknya. Namun, ia merasa tidak pantas untuk kedua anaknya. Jihan lebih memilih agar kedua anaknya itu tetap bersama ayah mereka.Tangis Raisa dan Rafli semakin tak bisa terkondisikan lagi. Mereka terus saja menarik tangan Jihan, berharap, bundanya itu tidak pergi, berharap sang bunda tetap bersama mereka.“Bunda, Raisa mohon jangan pergi! Raisa sayang Bunda.” Raisa semakin
Dewi menuntun Jihan untuk menepi. Sebab posisi mereka berada di tengah-tengah pintu masuk bus, tentunya mereka menghalangi para penumpang yang akan masuk. Tak jarang cacian para calon penumpang terdengar, membuat hati Jihan semakin direndup kesedihan.“Mau naik apa enggak? Jangan menghalangi jalan, dong!”“Iya, maaf. Pak, Bu. Kami tidak jadi naik, kami akan menepi,” ucap Dewi menenangkan para calon penumpang bus yang merasa risi dengan kehadiran Jihan dan Dewi yang menghalangi jalan.Kini, Jihan dan Dewi sudah menjauh dari bus. Mereka terduduk di trotoar terminal, dengan Jihan yang masih menangis. Dewi hanya bisa menenangkan tanpa ikut campur terlalu jauh. Kecuali, jika Jihan sendiri yang memulainya.Di tengah isakannya, Jihan mengangkat kepalanya. Lalu menatap ke arah Dewi.“Wi, coba kamu katakan apa kekurangan aku di matamu?” tanya Jihan pada Dewi dengan berderai air mata, sejurus kemudian menyekanya dengan kasar.“Maksud Mbak apa?”“Menurutmu, apa kekuranganku? Apa aku kurang canti
"Jangan so enggak butuh! Lihatlah kontrakan kecil, pengap dan bahkan kamar mandiku saja lebih besar dari pada ini,” hina Jihan seraya matanya menatap penuh jijik pada isi kontrakan Dewi.“Dewi bantu Mbak ikhlas, Mbak sudah Dewi anggap kakak sendiri, jadi...”“Alah, munafik! Sudahlah aku pergi aku tunggu kamu di kantor awas jangan telat!” Jihan menyela perkataan Dewi lalu ia pergi meninggalkan Dewi yang masih bergeming merasa terkejut untuk ke sekian kalinya. “Ya Tuhan! Mbak, Dewi benar-benar tidak mengenalimu lagi,” gumam Dewi seiring kepergian Jihan dari kontrakan Dewi.Dua puluh menit kemudian Jihan sampai di kantor tempat ia kerja. Semua pasang mata menatap ke arah Jihan dengan tatapan yang berbeda-beda. Ada yang menatap genit, menatap takjub ada pula yang menatap tak percaya dengan apa yang mereka lihat.Bagaimana Jihan tak jadi pusat perhatian, jika penampilannya saja sungguh ada di luar zonanya, terlihat begitu cantik mew
Waktu berjalan begitu sangat cepat. Dari detik ke menit, dari menit ke jam, dari jam ke sehari, dari sehari ke seminggu dari seminggu ke sebulan. Sungguh berjalan begitu sangat cepat dan tak terasa.Sama halnya seperti kehidupan baru Jihan, kini tak terasa sudah hampir dua bulan lamanya ia meninggalkan rumah Danu dan meninggalkan kedua anaknya. Jihan benar-benar sudah hidup bebas, ia layaknya seorang wanita lajang yang sama sekali tidak punya beban tanggung jawab. Padahal, anaknya ia terlantarkan, status pernikahan yang tidak jelas. Bahkan selama dua bulan itu Danu tak pernah mencari Jihan.Pernah, dua minggu lalu. Secara tidak sengaja Jihan bertemu dengan Danu. Dan saat itu Danu sedang mengantar Firna cek kandungan yang saat ini memasuki bulan ke lima. Pertemuan itu, sungguh seperti pertemuan dua orang yang tidak saling mengenal. Tidak bertegur sapa melainkan diam, berpura-pura tak melihat ataupun berpura-pura tak saling mengenal.Kehidupan rumah tangga yang retak, sama sekali tidak
Keadaan Rafli semakin hari semakin parah, oleh karena itu Danu membawa Rafli ke rumah sakit. Berharap dokter mampu memberi yang terbaik untuk anak bungsunya itu. Menurut keterangan dokter, setelah melakukan cek laboratorium dapat disimpulkan jika Rafli mengalami kanker darah atau orang menyebutnya Leukemia.Bak di sambar petir di siang hari. Danu begitu terkejut dan tak percaya jika sang anak harus mengalami penyakit yang mematikan ini. Danu tak menyangka karena Rafli selalu terlihat sehat-sehat saja belum pernah menunjukkan gejala-gejala Leukemia.“Dok, tolong periksa kembali anak saya. Enggak mungkin ia terkena penyakit itu,” Danu terus memohon agar dokter melakukan cek laboratorium sekali lagi.“Tim kami tidak mungkin salah memberikan diagnosa tanpa ada bukti dari hasil laboratorium ini. Kita mungkin tidak akan menyadari gejala-gejala awal kanker darah di tubuh. Sebab gejalanya memang sangat sering kita rasakan sendiri, misalnya hilang nafsu makan, berat bad
“Bunda, Rafli rindu, tetap bersama Rafli, ya, Rafli mau tidur di pangkuan Bunda, Rafli mau dipeluk Bunda,” suara Rafli terdengar begitu jelas di telinga Jihan.Jihan terus memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri. Mencari sumber suara Rafli.“Rafli! Kamu di mana, Nak?" teriak Jihan.“Bunda, Rafli di sini.”Jihan langsung menoleh ke belakang, netranya melihat sosok anak bungsunya—Rafli. Ia memakai baju serba putih, kulitnya yang putih semakin putih bersih, bercahaya. Jihan meneteskan air mata, perlahan Jihan berjalan mendekat ke arah Rafli yang sedang tersenyum padanya.“Bunda, Rafli rindu, Rafli mau dipeluk Bunda, Rafli juga mau tidur sambil diceritain dongeng si kancil,” ujar Rafli dengan air mata yang luruh.“Anakku,” gumam Jihan seraya terus berjalan mendekat ke arah Rafli.Namun, semakin didekati sosok Rafli semakin menjauh. Bahkan perlahan tubuh Rafli semakin memudar. Dan perlahan lenyap tak terlihat lagi. Tangan Jihan ingin menggapai tangan Rafli, tapi, tidak bisa. Jihan menjerit h