"Jangan so enggak butuh! Lihatlah kontrakan kecil, pengap dan bahkan kamar mandiku saja lebih besar dari pada ini,” hina Jihan seraya matanya menatap penuh jijik pada isi kontrakan Dewi.
“Dewi bantu Mbak ikhlas, Mbak sudah Dewi anggap kakak sendiri, jadi...”“Alah, munafik! Sudahlah aku pergi aku tunggu kamu di kantor awas jangan telat!” Jihan menyela perkataan Dewi lalu ia pergi meninggalkan Dewi yang masih bergeming merasa terkejut untuk ke sekian kalinya.“Ya Tuhan! Mbak, Dewi benar-benar tidak mengenalimu lagi,” gumam Dewi seiring kepergian Jihan dari kontrakan Dewi.Dua puluh menit kemudian Jihan sampai di kantor tempat ia kerja. Semua pasang mata menatap ke arah Jihan dengan tatapan yang berbeda-beda. Ada yang menatap genit, menatap takjub ada pula yang menatap tak percaya dengan apa yang mereka lihat.Bagaimana Jihan tak jadi pusat perhatian, jika penampilannya saja sungguh ada di luar zonanya, terlihat begitu cantik mewWaktu berjalan begitu sangat cepat. Dari detik ke menit, dari menit ke jam, dari jam ke sehari, dari sehari ke seminggu dari seminggu ke sebulan. Sungguh berjalan begitu sangat cepat dan tak terasa.Sama halnya seperti kehidupan baru Jihan, kini tak terasa sudah hampir dua bulan lamanya ia meninggalkan rumah Danu dan meninggalkan kedua anaknya. Jihan benar-benar sudah hidup bebas, ia layaknya seorang wanita lajang yang sama sekali tidak punya beban tanggung jawab. Padahal, anaknya ia terlantarkan, status pernikahan yang tidak jelas. Bahkan selama dua bulan itu Danu tak pernah mencari Jihan.Pernah, dua minggu lalu. Secara tidak sengaja Jihan bertemu dengan Danu. Dan saat itu Danu sedang mengantar Firna cek kandungan yang saat ini memasuki bulan ke lima. Pertemuan itu, sungguh seperti pertemuan dua orang yang tidak saling mengenal. Tidak bertegur sapa melainkan diam, berpura-pura tak melihat ataupun berpura-pura tak saling mengenal.Kehidupan rumah tangga yang retak, sama sekali tidak
Keadaan Rafli semakin hari semakin parah, oleh karena itu Danu membawa Rafli ke rumah sakit. Berharap dokter mampu memberi yang terbaik untuk anak bungsunya itu. Menurut keterangan dokter, setelah melakukan cek laboratorium dapat disimpulkan jika Rafli mengalami kanker darah atau orang menyebutnya Leukemia.Bak di sambar petir di siang hari. Danu begitu terkejut dan tak percaya jika sang anak harus mengalami penyakit yang mematikan ini. Danu tak menyangka karena Rafli selalu terlihat sehat-sehat saja belum pernah menunjukkan gejala-gejala Leukemia.“Dok, tolong periksa kembali anak saya. Enggak mungkin ia terkena penyakit itu,” Danu terus memohon agar dokter melakukan cek laboratorium sekali lagi.“Tim kami tidak mungkin salah memberikan diagnosa tanpa ada bukti dari hasil laboratorium ini. Kita mungkin tidak akan menyadari gejala-gejala awal kanker darah di tubuh. Sebab gejalanya memang sangat sering kita rasakan sendiri, misalnya hilang nafsu makan, berat bad
“Bunda, Rafli rindu, tetap bersama Rafli, ya, Rafli mau tidur di pangkuan Bunda, Rafli mau dipeluk Bunda,” suara Rafli terdengar begitu jelas di telinga Jihan.Jihan terus memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri. Mencari sumber suara Rafli.“Rafli! Kamu di mana, Nak?" teriak Jihan.“Bunda, Rafli di sini.”Jihan langsung menoleh ke belakang, netranya melihat sosok anak bungsunya—Rafli. Ia memakai baju serba putih, kulitnya yang putih semakin putih bersih, bercahaya. Jihan meneteskan air mata, perlahan Jihan berjalan mendekat ke arah Rafli yang sedang tersenyum padanya.“Bunda, Rafli rindu, Rafli mau dipeluk Bunda, Rafli juga mau tidur sambil diceritain dongeng si kancil,” ujar Rafli dengan air mata yang luruh.“Anakku,” gumam Jihan seraya terus berjalan mendekat ke arah Rafli.Namun, semakin didekati sosok Rafli semakin menjauh. Bahkan perlahan tubuh Rafli semakin memudar. Dan perlahan lenyap tak terlihat lagi. Tangan Jihan ingin menggapai tangan Rafli, tapi, tidak bisa. Jihan menjerit h
Danu terlihat frustrasi, sebab semua PMI, Bank darah dan rumah sakit terdekat sudah ia datangi. Tapi, hasilnya tetap sama. Tidak ada. Ia bingung harus mencari ke mana lagi, meski Danu ayah kandungnya setelah di cek ternyata darahnya tidak cocok. Hanya darah Jihan yang sama dengan Rafli O plus.Namun, Danu saja tidak tahu di mana keberadaan Jihan. Wanita yang masih berstatus istrinya itu. Nomornya tidak aktif, mendatangi ke Kantor tempat Jihan kerja tapi tidak ada, katanya sedang ambil cuti.“Jihan, kamu ke mana? Anakmu sangat membutuhkan kamu! Aku bahkan rela melanggar sesuatu yang pantang bagiku. Tapi, demi Rafli aku rela melakukan apa pun.”Danu terduduk lemas di lobi kantor di mana Jihan kerja. Ia tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Ia ingin Rafli selamat, ia ingin Rafli kembali seperti dulu lagi.Di tengah kefrustrasian Danu, sebab tak kunjung menemukan Jihan ditambah stok darah habis yang secara bersamaan tidak ada. Bagi Danu ini serasa sebuah karma yang langsung dibayar ko
Sudah dua hari Danu mencari Jihan. Namun, bukan untuk meminta Jihan kembali melainkan hanya untuk mendapatkan darahnya. Sepertinya sudah tak ada lagi cinta di hati Danu untuk Jihan. Hatinya sudah tertutup karena telah tergantikan oleh sosok Firna. Dua hari itu juga, ibu serta ibu mertuanya terus saja menanyakan keberadaan Jihan. Tapi, Danu selalu mencari alasan atau mengalihkan pembicaraan keduanya.Seperti saat ini, ketika Danu baru pulang kerja ia sudah di sambut oleh tatapan menakutkan dari dua orang yang sama-sama ia sebut Ibu.“Assalamu’alaikum, Bu.” Danu menyalimi kedua orang yang berharga baginya.“Wa’alaikumsalam,” jawab serempak Rita dan Ningsih.“Ibu mau kamu jujur, Danu. Ke mana Jihan? Apa kalian ada masalah?” tanya Rita begitu tiba-tiba.“Iya, Nak, Ibu juga mau tahu ke mana Jihan? Kenapa ia tak ada, anaknya di rawat enggak mungkin ‘kan ia tak datang, enggak mungkin ‘kan jika ia tak peduli,” sambung Ningsih.Danu menat
“Ibu....”“Jangan panggil aku Ibu! Aku tidak merasa melahirkan anak egois sepertimu. Anak yang tidak pernah menghargai istrinya sendiri.”“Tapi, Bu.”“Jangan panggil aku ibu!” sentak Rita kembali.Danu begitu terkejut dengan perkataan ibunya itu. Sungguh apa yang Danu pikirkan kini menjadi kenyataan. Jika ibunya tahu dirinya menikah lagi ia pasti akan marah besar dan sekarang terjadi.Danu hanya bisa menatap nanar kepergian Rita dan ibu mertuanya. Hingga tubuh keduanya hilang di balik pintu.Danu menjambak rambutnya dengan begitu kasar. Sungguh ini bukanlah yang ia inginkan, kemarahan sang ibu membuat dirinya harus berpikir, memutar otaknya mencari cara agar sang ibu mau menerima semua keputusan yang telah dia ambil.Di luar kamar rawat Rafli, Rita langsung menangis dengan kedua tangan yang ia letakkan di mulutnya untuk menahan agar tidak ada suara yang terdengar. Jika tadi saat di dalam Rita yang menenangkan Ningsih, se
Sekitar jam lima sore dokter Frans datang. Ia ingin mengecek keadaan Rafli. Ada mimik tak mengenakan dari wajah dokter Frans. Membuat Danu ikut gelisah.“Tuan Danu mari ikut saya ke ruangan,” titah dokter Frans setelah selesai memeriksa Rafli.“Nak, tunggu, ya. Ayah pergi sama dokter. Kamu sama suster dulu, ya.”“Iya, Ayah.”“Pintar,” puji Danu lalu mengelus sayang kepalanya.Danu pun pergi menuju ruangan dokter Frans. Ia begitu takut dengan apa yang akan dokter Frans katakan. Ia tak mau mendengar berita buruk yang bisa membuat dirinya down dan kehilangan semangat.Sampai di ruangan dokter Frans, Danu dipersilakan duduk dengan beribu perasaan yang tidak bisa ia jelaskan.“Begini, Tuan,” Dokter Frans memulai berbicara lalu terdiam kembali.“Iya, Dok. Katakanlah jangan membuat saya penasaran.”“Apa Tuan sudah siap? Siap mendengar apa pun yang saya katakan, baik ataupun buruk mengenai kondisi terkini putra
Setelah melihat angka yang fantastis yang ia habiskan untuk berlibur. Jihan sama sekali tidak menyesal. Ia malah bangga dengan begitu geng sosialitanya tetap akan memuja dan mengagumi dirinya. Meski dalam hati kecilnya, ia begitu capek harus menjadi orang lain terus.Rasa lelah batin dan lahirnya sama sekali tidak ia hiraukan. Yang terpenting ia senang karena terus mendapat pujian dari orang lain. Bahkan rasa khawatirnya pada kedua anaknya lenyap seketika, setelah mendapat pujian dari geng sosialitanya. Sepertinya Jihan memang jadi haus akan pujian dan sanjungan dari orang lain.Tepat pukul tujuh pagi. Jihan berangkat ke perusahaan tempat ia kerja. Sekitar dua puluh menit perjalanan menggunakan taksi online ia sampai di Kantor. Di kantor Jihan merasa mendapatkan tatapan aneh dari para karyawan. Sekilas tatapan mereka menunjukkan tatapan tidak percaya.Jihan tentu merasa risi, sebab biasanya jika dirinya lewat maka ia akan mendapatkan tatapan dipuja, serta tatapan penuh kekaguman. Ji