Suasana ruang tamu bercat putih dengan berbagai hiasan dinding itu, terasa menegangkan. Mengingat empat orang dewasa di sana sedang terlibat perdebatan yang sedari tadi belum menemukan jalan keluar.
“Sudah, ceraikan saja Tari kalau dia tidak mau menerima Ajeng!”
Tari menatap wanita tua di depannya dengan sendu. Masih jelas di ingatannya, dulu wanita itu sangat menerima kehadirannya dengan baik. Menyayanginya, membanggakannya di depan semua orang. Namun, ketika usia pernikahannya memasuki tahun ketiga, ibu mertuanya mulai berubah.
Apa yang dilakukannya selalu salah di mata wanita itu. Bahkan mertuanya juga suka membandingkan dirinya dengan wanita lain.
Semua itu terjadi hanya karena dia tidak bisa memberi sesuatu yang diinginkan wanita paruh baya itu. Lalu dengan tega wanita itu menyakiti hatinya berulang kali.
“Ma, jangan begitu. Aku yakin Tari pasti mau menerima Ajeng. Iya, ‘kan?”
Dipta memandang istrinya penuh harap. Pria itu sadar jika meminta Tari bertahan, dia akan terlihat sebagai pria egois. Karena wanita mana yang mau bertahan saat suaminya berkhianat? Namun, dia juga tidak bisa melepaskan wanita yang masih dicintainya itu. Wanita yang menemaninya dari bawah, meski kesalahan fatal telah dia lakukan.
Tari memandang datar pada pria yang sudah sepuluh tahun ini menemaninya. Pria yang dia puja, seseorang yang dia hormati. Rasanya Tari masih sulit percaya, sang suami tega menghancurkan hatinya dengan cara yang paling menyakitkan. Membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Kenangan saat pria itu memintanya pada orang tuanya, awal pernikahan mereka, kebahagian di awal pernikahan, perjalanan penuh suka duka yang pernah mereka alami saat ini berputar di kepalanya. Menciptakan gelombang rasa sakit yang luar biasa. Hingga sulit sekali baginya untuk bernapas.
“Maaf, Mas. Aku enggak bisa. Lebih baik kita berpisah seperti kata mama,” jawab Tari setenang mungkin. Dia mencoba kuat, tidak ingin menunjukkan kehancurannya saat ini. Sadar jika menunjukkan kesedihan, orang-orang itu pasti akan bahagia dan dia tidak mau itu terjadi!
Ini bukan masalah dia mau atau tidak dimadu, tapi ini tentang bagaimana sang suami telah mengkhianatinya dengan bermain api bersama sahabatnya. Dalam bayangannya, dia tahu akan hancur jika memilih untuk bertahan.
“Jangan bercanda, Tari! Kamu bisa apa tanpa aku!” bentak pria itu. “Tak ada perpisahan di antara kita!”
Dipta berdiri. Emosi tergambar jelas di wajah rupawan itu. Tangannya meraih lengan Tari yang akan pergi menjauh. Tidak! Tari harus tetap bersamanya!
Ketika dia memutuskan untuk memberitahu rahasia besarnya pada Tari, pria itu yakin sang istri akan memaafkannya. Namun, dia tidak menyangka wanitanya memilih untuk berpisah, mengingat bagaimana wanita lembut itu sangat mencintainya. Ini diluar perkiraannya.
“Sudahlah, Mas. Kalau Tari mau berpisah, kamu turuti aja.”
“Diam kamu, Ajeng!”
Wanita bertubuh sintal itu terkesiap mendengar bentakan Dipta, kemudian menatap Tari dengan tajam. Ajeng merasa kesal, hanya karena wanita yang tidak lebih cantik darinya, ayah dari anaknya itu berani membentak dirinya.
“Jangan membentak ibu dari anakmu, hanya demi mempertahankan seseorang yang tak bisa memberimu keturunan.”
Kalimat yang diucapkan dengan nada dingin itu, sukses membuat Tari merasa begitu hancur. Rasa sakit mengetahui sang suami telah berselingkuh, kini bertambah parah ketika sang mertua dengan jelas mengungkap alasan dibalik perbuatan Dipta.
Bukannya selama ini Tari tidak pernah berusaha. Segala hal telah dilakukan wanita berlesung pipit itu. Melakukan saran orang-orang terdekat, berbagai jenis makanan yang dipercaya membuat orang subur dia konsumsi. Minuman herbal yang pahit, semua itu sudah pernah dicobanya.
Tari juga sudah memeriksakan diri ke beberapa dokter dan semuanya mengatakan tidak ada yang salah pada dirinya. Dia sehat dan subur.
Dulu dia pernah mengajak Dipta untuk program bayi tabung, tapi sang suami menolak dengan berbagai macam alasan. Parahnya, ketika berita itu sampai di telinga sang mertua, dia dimarahi habis-habisan. Dia dituduh ingin menghamburkan uang suaminya.
“Untuk kali ini saja, aku mohon mama jangan ikut campur dalam urusan rumah tanggaku.” Dipta menekan suaranya, meski rasanya ingin melepaskan amarah pada sang ibu.
“Jangan bodoh Dipta. Jika Tari memilih pergi, biarkan saja.”
Ajeng melirik sinis pada Tari. Senyum penuh kemenangan tergambar di bibir yang dipoles warna merah itu, melihat bagaimana ibu Dipta membelanya.
“Dipta tak akan membiarkan Tari pergi, Ma.”
Tari memandang takjub pada pria di sampingnya. “Sungguh egois!” batinnya.
Melepaskan cengkeraman Dipta di lengannya, Tari mengedarkan pandangan, sesaat dia terpaku melihat foto pernikahannya dengan sang suami yang terbingkai indah. Dalam foto itu tergambar jelas bagaimana bahagianya mereka dulu, seakan mereka mampu melewati semua hal buruk yang terjadi dimasa depan. Namun, nyatanya pikiran Tari salah. Dia hancur!
Menghela napas dalam, Tari kembali menatap kembali ketiga orang yang tengah memandangnya tajam. Kemudian senyum tipis dia berikan kepada sang suami. Untuk terakhir kali dia akan mencoba peruntungannya. “Kalau kamu enggak mau aku pergi. Maka kamu harus memilih, Mas.”
Kedua wanita yang berada di ruangan yang sama dengan Tari itu memelototkan mata. Sedangkan Dipta menatap tidak percaya pada sang istri. Mereka seakan tidak menyangka Tari bisa mengeluarkan kalimat seperti itu.
“Jadi, silakan kamu tentukan, Mas. Aku atau Ajeng?”
“Kamu mengancamku?!” geram Dipta.
“Aku bukan mengancam, tapi aku memberi pilihan.”
Dipta memandang sang istri dengan tajam. Egonya terusik saat wanita yang dia tahu sangat penurut kini berani menggertaknya.
Sebuah senyum sinis tergambar di bibir Dipta. “Baiklah kalau itu maumu.” Dadanya bergemuruh hebat kala melihat raut tenang Tari, ada rasa tidak rela untuk melepaskan wanita itu. Namun, harga dirinya seolah terinjak karena sang istri berani melawannya. Maka dengan keyakinan penuh, dia mengatakan, “Batari Andriani mulai hari ini aku menceraikanmu.”
Meskipun Tari sudah menebak siapa pilihan sang suami. Namun, dia tidak bisa memungkiri rasa sesak yang terasa begitu menyakitkan. Oksigen di sekelilingnya seolah menipis hingga menimbulkan rasa sesak. “Baik, Mas. Aku akan pergi.”
“Kamu pasti akan menyesal Tari!” Dipta menyeringai, semata-mata untuk menutupi keraguan hatinya.
“Kita lihat nanti, Mas. Aku atau kamu yang akan menyesal,” jawab Tari setenang mungkin.
Lalu dengan langkah tegap, wanita itu berjalan menjauhi ruang tamu tanpa memedulikan reaksi ketiga orang di belakangnya. Kamar adalah tujuan utamanya, tempat di mana dia bisa mengeluarkan segala rasa yang terpendam.
Maka begitu sampai dalam kamar bercat putih itu, Tari langsung menyandarkan tubuhnya pada tembok. Pertahanan yang sedari tadi coba dia bangun, akhirnya roboh. Mengakibatkan kakinya tidak mampu lagi menopang tubuh, dia jatuh terduduk bersamaan dengan air mata yang mengalir deras.
“Ya Allah ....” Tari menyebut berkali-kali Sang Pencipta. Berharap dengan itu dia mampu kembali untuk bangkit.
Keringat deras membasahi kening Tari ketika bangun dari tidurnya. Seketika wanita berlesung pipit itu mengedarkan pandangannya. Hatinya terasa lega mengetahui kalau sekarang dia berada di kamar masa kecilnya. “Ternyata hanya mimpi,” gumamnya.Sudah lebih dari setahun kejadian di mana Dipta menceraikannya, tapi dia masih saja sering memimpikan kejadian saat pria itu mengucapkan talak padanya.Potongan peristiwa lalu yang kini berputar di otaknya, lagi-lagi menimbulkan rasa sesak yang menyakitkan di dada.Sakit itu belum pergi.Luka hatinya belum sepenuhnya menghilang.“Astaghfirullah ... astaghfirullah,” lirihnya sembari mengusap wajahnya yang berkeringat. Berharap dengan itu dia kembali merasakan ketenangan.Setelah beberapa menit, Tari memutuskan untuk bangkit. Dia ingin mengadukan semua yang dirasakannya kepada Sang Maha Kuasa. Hal yang selama ini selalu dia lakukan untuk memperoleh kedamaian.Memangnya siapa lagi yang bisa memberi kita ketenangan, jika bukan Sang Pencipta?*** “Se
Pemandangan hijau di kanan dan kiri, tidak hanya membawa kesejukan di mata bulat wanita berlesung pipit itu. Hatinya pun terasa begitu damai menikmati keindahan yang ada di kampung halamannya. Sesuatu yang sudah lama tidak dia rasakan.Belum lagi, sapaan orang-orang yang akan pergi ke sawah. Menambah kadar bahagia yang dia rasakan. Keramahan yang selalu bisa menular, hingga menciptakan sebuah senyuman.“Bapak sudah bicara dengan ibumu, agar membatalkan rencananya.”Tari menoleh kepada cinta pertamanya, yang saat ini sedang mengantarnya berangkat ke sekolah. Setelah tadi menitipkan motor terlebih dahulu ke rumah sang paman, yang kebetulan terletak tidak jauh dari tempatnya mengajar.Empat bulan setelah kembali ke sini, dia ditawari pekerjaan. Sebagai guru di sebuah PAUD yang tentu saja dia terima dengan senang hati. Dia bersyukur dengan bekerja, bisa sedikit mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit yang terkadang masih menghantui. Pun ingatan tentang mantan suaminya yang perlahan terki
“Ya Allah, Ica. Dari tadi mbak nyariin kamu.”Tari melihat perempuan yang mungkin lebih muda dengannya, menatap Ica dengan khawatir. Kemudian wanita berhijab panjang itu menautkan alis, karena merasa pernah bertemu dengan wanita yang disebut Ica dengan Mbak Lastri. Namun, sebelum Tari mendapatkan ingatannya. Sosok itu menoleh, lalu memekik kaget.“Ya Allah, Mbak Tari. Samean Mbak Tari, ‘kan?” tanyanya semringah.Wanita yang ditanya itu hanya diam. Masih berpikir keras, siapa wanita berkulit sawo matang di hadapannya. Samar-samar dia mulai mengingatnya, tapi lagi-lagi wanita di depannya lebih dulu bersuara.“Ini aku Lastri, tetangga samean dulu. Inget, ndak?”Mata dengan bulu lentik itu membeliak, ketika kalimat itu berhasil membuat ingatannya kembali. Adik kelas sekaligus tetangganya ini memang sudah berubah. Tampak lebih modis dari kebanyakan gadis desa di sini. “Ya Allah, Maaf, ya, aku sempet lupa.”Kedua wanita itu lantas berpelukan erat, saling melepas rindu.“Mbak Lastri kenal t
“Mama sudah melamar wanita untukmu!”Hampir saja ponsel di genggaman Abi terjatuh, mendengar ucapan wanita di seberang sana. Bagaimana mungkin, mamanya melamar seseorang tanpa bilang dulu padanya?Ini yang mau menikah dia atau mamanya?“Kenapa mama enggak tanya dulu sama, Abi?” seruan protes langsung terlontar dari mulut Abi. “Salah kamu sendiri, dari dulu disuruh cari istri enggak mau. Ya udah mama inisiatif mencarikan istri untukmu.”Abi terperangah mendengar jawaban wanita yang dicintainya itu. “Tapi enggak gitu juga, Ma!” Menikah bukan sesuatu yang main-main, tidak bisa 'kan asal pilih orang untuk dijadikan pasangan seumur hidup?Nada frustrasi terdengar jelas dari suara Abi. Pria itu merasa sangat kesal, tapi dia tidak mungkin membentak sang mama. Jadi sebisa mungkin dia mencoba menahan emosi yang sudah di ubun-ubun.“Terus mama harus bagaimana? Mama sudah tua Abi, tidak mungkin terus-terusan bolak balik dari rumah ke rumahmu, untuk memastikan kamu dan cucu mama hidup dengan bai
Sembari mencuci peralatan makan Tari teringat kembali kejadian tadi, yang sampai saat ini masih terasa seperti mimpi baginya."Kalian nikah secara agama dulu saja sekarang. Daripada nunggu tiga bulan lagi, kelamaan itu. Iya, 'kan, Pa?" tanya Mama Abi kepada sang suami, yang dibalas anggukan setuju.Semua terjadi begitu cepat, ketika seorang kerabat mereka mengusulkan untuk memanggil seorang ustadz di kampungnya. Tari bahkan belum sempat mencerna apa yang terjadi. Saat tiba-tiba saja Abi menjabat tangan ayahnya untuk mengucapkan ijab qabul.Saat semua keluarga menyalaminya untuk mengucapkan selamat, wanita itu masih menampilkan ekspresi kebingungan. Begitu juga ketika matanya memandang seseorang yang baru saja sah menjadi suaminya. Dia juga melihat raut kebingungan yang sama.Panggilan dari sang ibu menghentikan lamunan Tari."Itu dilanjut besok saja, kamu istirahat sekarang. Nak Abi juga sudah ke kamar tadi, Ica sudah tidur soalnya."Mendengar ibunya menyebut nama Ica, membuat Tari te
"Itu apa, Tante?"Tari tersenyum mendengar pertanyaan Ica yang duduk di belakang. Sejak meninggalkan rumahnya, si gadis selalu bertanya semua hal yang menarik perhatiannya. Wanita itu bersyukur dengan adanya Ica suasana di mobil tidak terlalu canggung."Rumah eyang, masih jauh apa nggak?""Sebentar lagi, Sayang," jawab Tari dengan sabar. Sepertinya gadis cantik itu tidak sabar untuk segera bertemu kakek neneknya.Lelaki yang tengah fokus menyetir itu, melirik ke samping ketika suara lembut mampir ke telinganya. Suara yang tadi membangunkannya untuk sholat subuh. Sesuatu yang entah kapan terakhir dilakukan, akhirnya tadi pagi dilakukan kembali. Tanpa dia sadari senyum kecil terbit di bibirnya, ketika mengingat kejadian tadi pagi."Itu rumah eyang." Ica berseru penuh semangat.Setelah sang ayah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, gadis itu meminta agar pintu mobil segera dibuka. Setelah keinginannya dikabulkan, Ica langsung berlari. Meninggalkan papa dan juga ibu barunya, yang saling
Selamat membaca."Tidurlah! Bereskan pakaianmu besok saja!" perintah Abi pada istrinya.Tanpa mengatakan apapun Tari menuruti perintah suaminya, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Suaminya tidur tanpa selimut, adalah pemandangan pertama yang dia lihat ketika keluar dari kamar mandi. Tari menghela napas lega, setidaknya mereka tidak perlu berada dalam situasi yang canggung. Meskipun semalam dia berusaha bersikap tenang, tapi sebenarnya itu adalah cara agar ia bisa menutupi kegugupannya.Berpikir beberapa saat, Tari beranjak dari tempatnya menuju ranjang. Setelah itu dengan hati-hati dia tutupi tubuh suaminya dengan selimut. Dia pandangi sebentar wajah suaminya, sebelum berlalu ke sisi lain untuk tidur. Wanita itu menghela napas sebentar lalu berdoa semoga diberi kekuatan untuk menjalani hari esok.***Dari lima menit yang lalu, wanita yang masih menggunakan mukena putihnya, berusaha untuk membangunkan sang suami. Meski yang hasil yang didapatnya masih nihil, lelaki i
"Siapa kamu?" tanya wanita itu setelah duduk di sebelah Arkan. Entah mengapa dia begitu kesal, melihat senyum tulus perempuan yang duduk di samping Ica."Ini Tante Tari," jawab Ica."Tante Tari? Siapa?" tanya wanita berambut coklat itu karena jawaban Ica belum menghilangkan rasa penasarannya."Ya, Tante Tari."Wanita itu berdecak kesal. "Maksudku, Tante Tari itu siapa? Kok bisa ada disini?" "Saya Tari, istri Mas Abi," tegas Tari. Karena tidak ada tanda-tanda sang suami akan menjawab pertanyaan itu.Suara batuk Abi yang tersedak makanan, membuat Tari mengalihkan pandangan pada sang suami. Dengan cekatan dia mengambil air minum, lalu diberikan pada sang suami. Tanpa mengindahkan si wanita asing yang kaget dengan ucapannya, dan juga Arkan yang tanpa sadar tersenyum menyaksikan adegan di depannya."Kamu nggak papa, Mas? Hati-hati kalau minum, pelan-pelan saja."'Gara-gara siapa aku tersedak seperti ini,' gerutu Abi dalam hati. Dia tidak habis pikir, bagaimana wanita ini tidak terintimida