Share

Titik awal derita dan perjuangan

Bagai tersambar petir di siang bolong. Sheila merasa hatinya seperti dihujam dengan ribuan jarum. Kata 'PERNIKAHAN KARENA DENDAM' membuat Sheila sedikit paham tentang alur dari jalan kehidupannya kelak. Kaisar menikahinya karena alasan dendam. 

"Apa mungkin? Aku dengan tak sengaja sudah menabrak calon mempelai Kaisar hingga tewas, seperti di novel-novel yang sering kubaca?" batin Sheila.

Sepertinya otak Sheila sudah tercemar dengan kisah-kisah para tuan muda. 

“Tuan, apa maksudmu?“ tanya Sheila bingung. 

“Dengar! Meskipun sekarang kau adalah istriku, tapi statusmu di rumah ini sama dengan pembantu. Jangan pernah berpikir untuk menjadi seorang putri, karena disini kau hanyalah upik abu,” sentak Kaisar. 

"Tuan, aku tidak ...."

 Plakk ....

Sebuah tamparan dari Kaisar mendarat sempurna di pipi. Sheila hingga meninggalkan jejak kemerahan. Rasa panas dan perih mendera wajah dan juga hatinya. Ini adalah pertama kali bagi Sheila diperlakukan dengan begitu buruk. 

“Kau adalah penyebab utama kematian orang tuaku. Aku akan menuntut balas penderitaan yang dilalui orang-orang tercintaku dengan cara membuatmu hidup segan, mati tak mau. Sheila Arthana nikmati sisa hidupmu yang penuh dengan segala penderitaan.“ 

Kaisar berjalan keluar dari gudang tersebut, kemudian kembali lagi dengan membawa sapu, kemoceng dan berbagai alat kebersihan lainnya. Pria itu melemparkan benda-benda yang dibawanya kearah Sheila. 

Sangat kejam! 

“Bersihkan tempat ini! mulai sekarang dan seterusnya, kau akan menikmati sisa hidupmu disini," kata Kaisar, kemudian berlalu pergi tanpa mengindahkan tatapan para penjaga dan maid yang sedang berlalu lalang menjalankan pekerjaannya.

Setelah kepergian Kaisar, Sheila menatap benda-benda yang ada di dalam gudang dengan menghela napas panjang. Seumur hidup, Sheila bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di gudang mansion atau bahkan apartemen miliknya apalagi membersihkan. Dia bahkan tidak tau seperti apa cara menggunakan sapu dan kawan-kawannya. 

“Kenapa nasibku seperti ini? Seperti kisah Cinderella di buku dongeng yang sering dibacakan daddy ketika aku hendak tidur. Ah sudahlah. Badanku sakit semua, jika aku tidak segera membereskan kapal pecah ini. Maka malam ini aku akan tidur bersama kecoa dan kawan-kawannya."

Sheila mulai merapikan tatanan benda tersebut. Menyusun beberapa barang yang bisa digunakan dan membuang yang sudah buruk. 

"Ini benar-benar terlihat seperti tempat pembuangan barang bekas," rutuk Sheila. 

Walaupun barang bekas, setidaknya masih ada rasa nyaman ketika digunakan. Untung saja ada beberapa penjaga yang membantunya mengangkat barang yang tak diperlukan. Jika tidak, maka bisa dipastikan pekerjaan Sheila akan selesai besok pagi. 

"Terimakasih, sudah membantuku," ucap Sheila pada penjaga itu. 

"Sama-sama, Nyonya. Saya harap anda bisa meluluhkan Tuan Kaisar," kata penjaga itu.

"Haha, meluluhkan apanya? Yang ada aku yang akan mati kehabisan napas. Aku merasa, dengan tinggal bersamanya hidupku tidak akan lama lagi," gurau gadis malang itu. 

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, kala Sheila akhirnya selesai membersihkan kamar barunya. Kamar pemberian Kaisar, yang lebih mirip disebut dengan kandang ayam. 

Tubuhnya terasa sangat pegal, sendi-sendinya pun terasa ngilu. 

Sheila ingat, jika dirinya belum makan nasi sama sekali. 

Berjalan keluar hendak mencari dapur, Sheila berpapasan dengan Kaisar yang sudah tampan dengan pakaian cassualnya. Pria itu membawa sebuah nampan berisi makanan sederhana. 

“Kau mau kemana?“ tegur Kaisar. 

“Aku lapar, ingin mengambil makanan,“ jawab Sheila. 

“Tidak perlu repot-repot. Aku sudah membawakanmu makanan spesial."

Pria itu menggandeng tangan istrinya dengan kasar menuju ke dalam kamar

"Makanlah!“

 Prang ....

“Apa yang kau lakukan,“ pekik Sheila kaget. 

Bagaimana tidak? 

Pria itu meminta Sheila makan dengan cara tak manusiawi. Yaitu, melempar piring dengan kasar hingga makanan di dalamnya tumpah dan tercecer di lantai. 

"Pungut makanan itu, karena itu jatah makan malammu."

Kaisar mendorong tubuh istrinya ke arah lantai tepat disamping makanan yang ia lemparkan tadi. Menjambak rambut Sheila yang panjang terurai dengan sekuat tenaga hingga membuat si pemilik rambut kesakitan. 

"Tuan, ini sakit," berontak Sheila. 

"Diam," sentak Kaisar. 

Pria itu memungut makanan dengan tangannya dan menjejalkan makanan itu kedalam mulut Sheila. 

“Buka mulutmu, Jalang kecil,“ sentak Kaisar.

"Buka mulutmu, Jalang kecil," sentak Kaisar karena gadis itu menolak dan tak kunjung membuka mulutnya. 

Kaisar mencengkram kedua pipi Sheila dan memaksa agar mulut itu terbuka. Menyuapkan makanan tersebut dengan sekali sentak.

Kaisar tersenyum puas. 

Gadis ini sudah mulai merasakan neraka yang dia buat hingga Sheila menangis dalam diam. 

“Bagaimana? Enak?” Kaisar terbahak iblis kala Sheila tersedak makanan itu hingga wajahnya memerah.

Sheila terbatuk-batuk setelah menelan makanan itu, rasa asin bak lautan garam benar-benar menyakiti tenggorokannya. Menengok kearah nasi yang berada di lantai, Sheila menyadari jika Kaisar sengaja memberinya makan hanya dengan nasi garam dengan lauk telur rasa air laut. Semua makanan yang Kaisar hidangkan didominasi dengan rasa asin yang menyengat. 

Mungkin sedikit merasa iba melihat istrinya susah menelan makanan, Kaisar akhirnya memberikan segelas susu yang dibawanya pada Sheila. Gadis itu pun mengambil minuman itu tanpa rasa curiga dan menenggaknya. 

Byurr ....

Susu tersebut kembali disemburkan oleh Sheila kearah Kaisar hingga membuat pria itu basah kuyup oleh susu. 

Plakkk ....

Lagi, Kaisar dengan sangat ringan mengangkat tangannya pada Sheila. Kembali meninggalkan jejak merah tangannya dipipi gadis malang itu. 

Isakan lirih mulai terdengar. Sheila sudah berusaha menahan tangisnya sejak tadi, akan tetapi semua pertahanannya runtuh oleh kekejian Kaisar. 

“Tuan, tapi minuman ini sangat asin,“ kata Sheila mengiba. 

“Apa kau pikir aku akan peduli, ha? Habiskan semua makanan ini. Jika tidak, aku tidak akan pernah membiarkanmu mendapatkan makanan selama satu hari penuh," ancam Kaisar. 

Dengan sangat terpaksa, Sheila akhirnya menghabiskan apa yang diberikan Kaisar. 

Tersenyum getir, Sheila akhirnya memahami arti dari sebuah mimpi di mana orang tuanya meminta Sheila untuk menerima semua yang akan terjadi. Meminta gadis itu untuk berbuat baik kepada semua orang, meskipun kebaikan Sheila sendiri tak dihargai. 

Dengan ini, Sheila menjadi sedikit tertantang untuk meluluhkan hati beku Kaisar, seperti yang dikatakan penjaga tadi. 

Sheila berjanji pada dirinya sendiri, jika apa pun yang terjadi dikemudian hari, Sheila tidak akan pernah membenci Kaisar meskipun dia akan memperlakukannya seperti seekor hewan. 

Makanan yang diberikan Kaisar akhirnya habis tak tersisa. Meskipun rasanya benar-benar membuat mual, tapi gadis itu lebih memilih menghabiskannya daripada membuat Kaisar marah. 

Sheila menatap pria yang kini sedang berdiri di hadapannya dengan tersenyum. 

“Aku sudah menghabiskannya, Tuan," kata Sheila. 

Entah mengapa, melihat Sheila menghabiskan makanan itu membuatnya benar-benar marah. Niatan awal, Kaisar memberi Sheila makanan asin itu supaya gadis itu menolak dan enggan untuk makan. Maka dengan begitu, dirinya punya alasan untuk menyiksa, bukan. Namun, semua harapan itu pupus karena ternyata Sheila mau menghabiskan makanan itu. 

Kaisar berbalik dan berjalan menuju mansion. Ia memilih untuk menghindari gadis menyebalkan itu sambil memikirkan siksaan apa yang akan dia berikan lagi pada gadisnya, besok pagi.

Setelah kepergian Kaisar, Sheila menangis tergugu dengan menekuk kaki. Seperti rusa yang kehilangan tanduknya, gadis itu benar-benar terlihat malang. Perutnya terasa seperti ditusuk ribuan pisau, kepalanya berdenyut luar biasa, hingga perlahan-lahan pandangannya pun menjadi kabur. 

Mencoba meraba ke arah samping, Sheila mencari tas kecil miliknya yang tadi Kaisar bawa dari apartemen miliknya. Gadis itu menemukan sebuah botol obat yang biasa Raya berikan pada Sheila selama empat tahun terakhir. 

Dengan sedikit sisa susu rasa air laut itu, Sheila akhirnya bisa meminum obatnya tanpa tersangkut di tenggorokan. Gadis itu akhirnya bisa bernapas lega dan berbaring menunggu obatnya bereaksi. 

Tiga puluh menit setelah meminum obat, napas Sheila mulai teratur dan rasa sakitnya pun perlahan-lahan memudar. Matanya yang sudah dapat melihat dengan jelas itu memandang langit-langit kamar dengan pemikiran yang sudah melanglang buana. 

“Apapun yang terjadi hari ini, mungkin tidak sebanding dengan penderitaan yang tuan itu jalani di masa lalu hingga dia benar-benar membenciku. Namun, bukankah aku berhak tau tentang alasan dia menyebutku sebagai alasan kematian orang tuanya?“

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status