Eva berjalan menuju ke rumah Rendra dengan membawa beberapa buku untuk belajar bersama. Tak henti-henti ia tersenyum saat membayangkan bahwa dirinya sudah menjadi pacar dari Rendra. 'Apa aku mimpi? Aku pacaran dengan musuhku sendiri' Sesampai di pintu rumah Rendra, ia melihat pintu rumah Rendra yang tidak tertutup. "Kok pintunya ke buka." Eva memegang besi pembuka pintu. "Tuan Muda, fokus selesaikan sekolah dulu. Saya akan membantu Anda untuk mencari keberadaannya. Kakak Tuan Muda itu orang yang kuat. Saya yakin dia baik-baik saja. Minggu depan saya akan kembali ke malang lagi," ujar Pati. Saat Eva mendengar pembicaraan Rendra dan Pati, ia langsung masuk dan menghampiri Rendra. "Kakak? Kau punya seorang Kakak, Ren?" tanya Eva. Sontak Rendra terkejut melihat Eva yang muncul tiba-tiba di depanya. Rendra berdiri dari tempat duduknya. "Eva. Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Rendra. "Pintunya enggak ditutup. Aku pikir rumahmu ke malingan. Tapi, aku malah dengar suaramu dengan Mas P
Eva berjalan menuju ke rumah Rendra dengan membawa beberapa buku untuk belajar bersama. Tak henti-henti ia tersenyum saat membayangkan bahwa dirinya sudah menjadi pacar dari Rendra. 'Apa aku mimpi? Aku pacaran dengan musuhku sendiri' Sesampai di pintu rumah Rendra, ia melihat pintu rumah Rendra yang tidak tertutup. "Kok pintunya ke buka." Eva memegang besi pembuka pintu. "Tuan Muda, fokus selesaikan sekolah dulu. Saya akan membantu Anda untuk mencari keberadaannya. Kakak Tuan Muda itu orang yang kuat. Saya yakin dia baik-baik saja. Minggu depan saya akan kembali ke malang lagi," ujar Pati. Saat Eva mendengar pembicaraan Rendra dan Pati, ia langsung masuk dan menghampiri Rendra. "Kakak? Kau punya seorang Kakak, Ren?" tanya Eva. Sontak Rendra terkejut melihat Eva yang muncul tiba-tiba di depanya. Rendra berdiri dari tempat duduknya. "Eva. Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Rendra. "Pintunya enggak ditutup. Aku pikir rumahmu ke malingan. Tapi, aku malah dengar suaramu dengan Mas P
Para siswa-siswi SMA 1 Angkasa Jakarta berbaris di halaman sekolah dengan rapi dan tertib. Lima guru laki-laki dan wanita sedang menduduki meja di atas podium. Tepat pada hari senin, pihak sekolah akan mengumumkan juara umum siswa berprestasi pada semester satu tahun 2014. Pihak sekolah juga sudah menyiapkan penghargaan berupa piala dan sertifikat.Kepala sekolah menaiki podium untuk memberikan nasihat kepada para siswa-siswi agar terus meningkatkan prestasi dan mematuhi aturan sekolah. Lalu, di lanjutkan oleh salah satu guru laki-laki bernama Anton yang akan mengumumkan nama siswa tersebut. "Kali ini pasti dia lagi," ujar salah satu siswi berkacamata di barisan terakhir dengan raut wajah cemberut. "Eva! Eva! Eva!" seru siswa-siswi serentak. "Semua siswa diharapkan tenang. Bapak akan mengumumkan salah satu nama murid yang akan menerima penghargaan pada semester ini," ujar Pak Anton menggunakan mikrofon berdiri di atas mimbar podium. Lalu, Pak Anton membuka lembar kertas yang terlipa
Malam pun tiba, tepatnya pukul 19:00, dan Eva berkali-kali menelpon Jeremi, tapi tak ada jawaban. Eva mondar-mandir di dalam kamarnya dengan perasaan marah. 'BUUKH!'Eva melempar ponselnya ke dinding kamar sampai hancur. Suasana keheningan malam di rumahnya semakin terasa. Tidak orang tua di rumah karena sibuk kerja membuat Eva semakin stres."Aaaakkk! Jeremi sialan!" cibir Eva sangat murka. Air matanya jatuh dan merenungkan sejenak pikirannya sambil duduk di atas ranjang kasurnya. "Dan, apa yang ku harapkan di rumah ini. Hancur semuanya." Ia mengambil tas dan pergi meninggalkan rumah orang tuanya.*** Keesokan paginya. Eva yang masih tertidur pulas dalam keadaan terlentang, tidak merasa terganggu dengan suara kicauan burung Beo yang tergantung di atas balkon kamar yang ia tempati, dan yang pasti bukan rumah orang taunya. Rumah putih bertingkat dua nomor 51, kompleks mekar. Eva terlihat begitu polos saat tertidur. Wajahnya yang cantik menutup tingkah emosionalnya yang begitu membar
Eva, Cici, Raisa, dan Rena berjalan di atas koridor sekolah menuju ruangan. Kehadiran mereka di sekolah membuat semua siswa-siswi bersemangat. Kata Kak Yen, "Hari ini Sindi masuk ke sekolah." Eva tersenyum sinis. "Belum jera juga itu anak."Saat mereka hampir tiba di ruangan, tiba-tiba seorang siswi meminta pertolongan kepada Eva. "Kak Eva! Kak Rena! Tolong kami!" teriak siswi itu sambil berlari menghampiri Eva. Eva, Cici, Raisa, dan Rena memalingkan badan ke arah siswi itu. "Ada apa?" tanya Eva. "Tolong kami, kak. Temanku dibuli sama Kak Sindi!" ucap siswi itu kesal. "lagi-lagi Sindi buat ulah." Rena sangat kesal mendengar Sindi kembali memukul para siswa. Eva menatap ketiga sahabatnya itu seraya saling mengangguk dan pergi menghampiri siswa yang kena bulian oleh siswa-siswi nakal. *** Seorang siswi berkacamata besar mendapatkan memar di wajahnya akibat kena pukul. "Berlutut bodoh!" bentak seorang siswi berwajah judes terlihat begitu angkuh. Siswa itu berlutut tepat di had
"Apa lagi sekarang? Hah? Kamu pukul dia?" tanya Jeremi dengan nada menuduh."Je. A-aku ...," "Diam! Aku tidak mau mendengar penjelasan bodoh kamu itu. Sudah kedua kalinya kamu pukul Sindi. Kenapa nggak sekalian jadi petinju, hah?" Jeremi memarahi Eva di depan teman-temannya. Walaupun Eva bersalah sudah memukul Sindi, tapi ia memiliki alasan kuat untuk memberi pengajaran pada siswa seperti Sindi. Tapi, Jeremi tidak mau mendengar apa pun alasan itu. "Mereka yang pukul Sindi, Je. Mereka juga menghajar kami!" sahut teman Sindi mengadu pada Jeremi agar Eva semakin terpojok."Kamu baik-baik saja, Sin?" tanya Jeremi memeriksa luka di bagian wajah Sindi. "Wajah dan tanganku sangat sakit, Je. Tolong bawa kau ke rumah sakit. Aku sudah nggak kuat," keluh Sindi sambil menangis untuk menarik perhatian Jeremi. "Drama! Jangan percaya sama dia, Je!" kata Eva geram melihat tingkah Sindi yang selalu saja bersandiwara di depan kekasihnya itu. Ia menarik lengan Jeremi untuk pergi bersamanya. "Lepask
Keesokan harinya, pihak sekolah mengadakan rapat untuk menyelesaikan permasalah Eva dan Sindi. Permasalahan Eva dan Sindi harus dihadiri kedua orang yang bersangkutan. Namun, karena Sindi dalam proses pengobatan, Sindi diwakili oleh kedua orang tuanya yang memang wajib hadir di dalam rapat tersebut. Pihak sekolah, orang tua Sindi, dan pihak kepolisian sudah berada di ruangan. Di sisi lain, Pak Erik masih memaksa Eva memasuki ruang rapat agar permasalahannya cepat selesai. Namun, Eva malah menolaknya dan berusaha melepaskan tangannya yang diseret Pak Erik menuju ruangan. "Eva, cepat! Aku tak ada waktu mengurus hal sepele ini lagi. Cepat, jalan!" marah Pak Erik terus menarik tangannya hingga ke depan pintu ruangan yang tertutup. "Eva nggak mau!" tolak Eva melepaskan tangannya. "Masuk, sekarang juga!" suruh Erik memelototi.Eva memajukan bibir bawahnya, lalu menunduk. Ia takut saat Pak Erik dalam keadaan marah. Tidak ada yang bisa membantah perkataannya jika sudah memberikan tatapan s
Setelah menyelesaikan permasalahan Eva di sekolah. Erik mengajak Eva ke sebuah kafe untuk menghilang rasa kesalnya atas keputusan pihak sekolah terhadap dirinya. Erik dan Eva menuju ke sebuah kafe dimaksud. Eva hanya terdiam di dalam mobil sembari menatap ke arah luar sembari menyandarkan diri pada kaca mobil. "Eva?" panggil Erik lembut membujuknya. Eva hanya terdiam tak menjawab panggilan Erik. Erik ingin mencoba menasihati Eva, bahwa keputusan kepala sekolah sudah sangat bijak. "Kamu harus terima hukuman dari kepala sekolah, Ev. Kamu nggak boleh mengeluh seperti itu. Dengarin Paman, oke. Ini demi kebaikan kamu," jelas Erik. "Nggak harus semua prestasi Eva juga di cabut. Eva nggak mau kembalikan penghargaan itu. Eva nggak mau!" tolak Eva kesal. "Tapi itu hukuman yang harus kamu terima. Patuhi aturannya, dan jangan membantah!" tegas Erik agar Eva mengerti. Eva terdiam kesal. Lalu, memindahkan tatapanya dari Erik. *** Rendra hanya bisa memakan sepotong roti dan segelas air put