Hari minggu...Setelah kekalutanku semalam, akhirnya aku pergi. Pergi ke tempat yang membuatku nyaman. Makam ibu dan juga Maura. Padahal seharusnya hari ini aku pindah ke kontrakan yang baru. Namun urung kuniatkan, perasaan dilema kembali menyelimuti hati. Apakah aku harus tetap bekerja di kantornya Mas Beno? Atau resign saja? Aku tak mau gejolak hatiku mempengaruhi segalanya.Sesampainya disana, aku melihat pemandangan yang tak biasa. Ada seseorang di samping pusara anakku. Aku mendekatinya dan tak percaya. Dia menoleh dan cukup terkejut melihat kedatanganku. "Mas Rendy? Apa yang kamu lakukan disini?" tanyaku.Dia tersenyum, sambil mengusap embun di sudut matanya."Aku kangen sama Maura, dia terlalu cepat meninggalkan kita," ungkapnya yang membuatku tak mengerti.Aku menghela nafas dalam-dalam. Andai saja dulu kau tak meninggalkanku, mungkin ... Ah sudahlah aku tak ingin mengingat masa lalu, memang sudah takdirnya begini. "San, kamu lagi libur kerja?" tanyanya."Iya mas, aku sempa
Setelah memilih kebaya untuk hari pernikahan nanti, Mas Rendy mengantarku ke rumah perempuan. Sebelumnya kami ke kontrakan baru, bahwa aku tidak jadi pindah, alias dibatalkan. Uang yang sudah masuk untuk membayar kontrakan hanya dikembalikan separuh. Tidak apalah, beruntung aku ambil yang bayar bulanan bukan tahunan."Aku pulang dulu ya, tadi juga aku udah sempat mengurus berkas-berkas pernikahan kita, seperti yang ayah dan ibu mau, kita menikah 1 bulanan lagi. Kamu gak keberatan, kan?""Gak mas, terserah kamu saja.""Besok insyaallah aku mau nyari tempat tinggal baru, nanti kalau udah dapat, kamu langsung pindah saja kesana, dan gak usah bekerja lagi, biar aku yang nanggung biaya hidupmu," tukas Mas Rendy lagi, penuh dengan semangat."Ya sudah, aku pulang dulu ya... Assalamualaikum...""Iya, waalaikum salam... Hati-hati dijalan, mas."Setelah Mas Rendy berlalu, seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik, rupanya ada Bunda Aini dan juga Rania di belakangku. "Apa bunda gak salah dengar?
Mas Rendy mulai mengerjapkan matanya secara perlahan. Setelah 3 hari tak sadarkan diri, akhirnya Mas Rendy mulai membukakan matanya lagi. Aku tersenyum melihatnya."Alhamdulillah, kamu sadar, mas..."Mas Rendy menoleh kearahku dengan keadaan lemah."Santi, kau ada disini?" tanyanya dengan suara begitu pelan.Aku mengangguk. "Tunggu mas, kamu jangan banyak bergerak. Biar aku panggilkan suster dulu," sahutku saat dia ingin bangun dari posisi tidurnya.Kemudian aku memencet bel untuk memanggil perawat yang bertugas. Tak berselang lama, perawat itu datang dan memeriksa kondisi Mas Rendy. Senyuman merekah dari bibir perawat itu."Alhamdulilkah, kondisi mas'nya mulai membaik. Kami akan panggilkan dokter yang menangani pasien dulu ya," tukas perawat itu dengan ramah.Kami mengangguk. Rasanya sangat bersyukur mendengar keadaan Mas Rendy mulai membaik.3 hari kemudian...Dokter dan perawat itu kembali datang memeriksa kondisi pasien. Iapun bertanya-tanya kecil tentang keluhan yang dirasakan ole
Hari HPagi itu di kediaman Pak Darmawan, para tetangga dan kerabat sudah ramai berkumpul mengunjungi di hari pernikahan kami. Beberapa yang lain terlihat sibuk memasak di dapur. Saat ini aku masih berada di dalam kamar, Bu Devina tengah merias wajahku dengan make-up yang natural. Kebaya pengantin berwarna putih dan kain batik membalut tubuhku untuk hari spesialku ini.Bapakku dan istrinya ternyata datang bersama dengan Rania dan juga Mas Beno. Alhamdulillah, akhirnya mereka semua bisa berkumpul kembali dan berbahagia. Bunda Aini serta beberapa pengurus rumah perempuan pun ikut datang meramaikan acara kami.Aku disandingkan bersama Mas Rendy. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum tulus. "Kau sangat cantik," bisiknya sesaat sebelum pak penghulu itu datang.Aku pun tersenyum mendengar kata pujiannya. Dia pintar menggodaku rupanya.Tak lama, Pak penghulu hadir, dia yang menjadi wali nikahku berhubung bapakku tidak bisa apa-apa.Hatiku makin bergembira ketika Mas Rendy dengan lancar menguca
"Dek, mas di PHK," ucapnya lesu. Dia duduk di sofa sembari melepaskan sepatunya. Wajahnya tertunduk dengan kedua telapak tangan menutup wajahnya. Sesekali terdengar deru nafasnya yang begitu berat dan penat. Kulihat ia merentangkan tangannya di punggung sofa, lalu kembali mengembuskan nafas panjang."Dek, kenapa kamu diam saja?" tanyanya menolehku.Aku masih bungkam. Entah apa yang harus kukatakan, akupun tidak tahu."Sebenarnya bukan di PHK, tapi PT bangkrut jadi semua karyawan dirumahkan tanpa pesangon apapun," jelasnya lagi tanpa kuminta. Ia kembali menggerakkan tubuh, memijat pelipisnya perlahan. Terlihat jelas kalau dia benar-benar pusing dengan masalah ini.Aku menatapnya datar. 'Yess, rasain kamu mas!' batinku bersorak. Bukannya aku sedih tapi aku malah senang suamiku di-PHK, jadi tak ada yang dia sombongkan lagi. Malas aku berdebat dengannya. Dia tak pernah memberiku nafkah bila
Setelah semalaman tidurku tak nyenyak, mataku sudah seperti mata panda, kantung hitam di bawah mata tampak begitu kentara. Apalagi, hampir semalam air mata terus saja jatuh berderai, membuat kedua mata ini begitu sembab. Pagi-pagi sekali aku sudah keluar untuk membeli sarapan bubur untuk anakku. Suami? Biarkan saja, bukankah dia punya banyak uang? Biar dia beli sendiri. Aku masih dongkol karenanya. Karena sikapnya yang begitu tega kepada kami. Aku baru mengalami sendiri, jadi beginilah rasanya dikhianati? Sakit sekali, sangat sakit.Kulirik jam yang bertengger di dinding, waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Meski di luar sana sudah terang, tapi jam segini dia belum bangun, aku sudah membangunkannya tiap subuh, namun hanya makian yang kudapat. Ah, ternyata perjuangan menjadi istrimu terlalu berat. Melebihi beratnya rindu Dilan pada kekasihnya.Setelah menyuapi anakku sarapan, aku kembali melakukan aktivitasku sebagai ibu rumah t
"Dari mana saja mas, jam segini baru pulang?" tanyaku saat membukakan pintu untuknya. Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Dia berangkat dari tadi siang, kemana saja dia? Tak berpikirkah kalau istrinya khawatir?"Bukan urusanmu," jawabnya ketus."Oh kalau bukan urusanku, harusnya gak usah pulang sekalian!” sahutku lagi. Aku benar-benar kesal dengan sikap Mas Rendy yang seenaknya sendiri."Lho kok gitu? Menyesal aku pulang!""Kamu pergi sampai gak inget anak istri nungguin di rumah, yang khawatir nungguin kamu!”"Di rumah juga mau ngapain? liat mukamu yang jelek itu?"Deg! Ya Allah, segitu tak berharganya kah aku di matanya? Baiklah, aku takkan terpuruk lagi. Berpisah? Belum saatnya. Aku akan membuatmu menyesal karena telah menyia-nyiakan aku. Lihat saja nanti. Akan kuatur waktu yang tepat untuk menggugat cerai. Kau pikir aku hanya ist
Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan pintu terdengar nyaring, diiringi suara salam dari luar."Assalamualaikum ...""Waalaikum salam ..."Aku bergegas membuka pintu. Aku takjub ternyata yang datang adalah ibu mertuaku."Bu ..." sapaku sembari menyalaminya, mencium punggung tangannya dengan takdzim."Kamu sehat, Nak?" tanya ibu mertuaku dengan lembut."Alhamdulillah sehat. Mari masuk, Bu.”"Iya, Nak," jawab ibu sambil tersenyum.Ibu memasuki rumah. Sofia berlari menyambut neneknya dan mereka saling berpelukan. Begitu dekat keduanya karena ibu mertuaku sangat menyayangi Sofia. Kalian bisa lihat bukan? Ibu mertuaku sangat baik terhadap kami, tapi tidak dengan anaknya."Lho kamu gak kerja, Nak?" tanya ibu saat melihat mas Rendy malas-malasan di depan tv.Mas Rendy terlonjak