Part 4
Kembali ke LaptopDan ... Angel, wanita yang sudah aku anggap layaknya saudara sendiri rupanya bagaikan ular berkepala dua. Jika tahu akan seperti ini, mungkin aku tidak akan merekomendasikannya.Rasa empatiku pada Angel ternyata disalahgunakan. Aku terpaksa merekomendasikan Angel sebagai pengisi lowongan kerja di kantor Mas Arfan. Terlebih Mas Arfan memang membutuhkan sekretaris, dikarenakan sekretaris sebelumnya sudah resign pasca lahiran.Mahkota yang seharusnya disuguhkan di malam pertama pasca ijab kabul, akan tetapi Angel menyerahkannya sebelum ada ikatan suci. Wanita yang mempunyai dua lesung pipi itu hampit depresi, sempat kehilangan semangat dalam menjalani hidup, mengurung diri berbulan-bulan karena ditinggalkan calon suaminya.Atas dasar itulah aku merekomendasikan Angel, agar wanita yang bertalenta itu punya semangat hidup. Namun ... nyatanya sekarang dia salah satu pisau belati yang menusukku dari belakang.Pergelutan Mas Arfan dan Angel di hotel tadi masih menari di pelupuk mataku, membuat rongga dadaku terasa sempit hingga sulit bernapas. Aku masih tidak menyangka jika Mas Arfan sejahat itu. Padahal dulu dia begitu memuja dan memujiku, bahkan mulut manisnya itu pernah berujar ...."Mas, apa niatmu menikahiku sudah karena Lillahi Ta'ala setelah kamu tahu segala kekurangan yang ada pada diriku?" tanyaku penuh keraguan dengan menatap dalam kedua netra pria berkacamata itu. Alunan musik pilu senantiasa masuk di sanubariku. Aku dan Mas Arfan janjian untuk makan malam bersama di sebuah restoran yang tak jauh dari kantorku."Kenapa kamu nanya seperti itu, Lani? Kamu meragukan keyakinan, Mas? Kita sudah lamaran, tetapi kamu masih ragu tampaknya?" Dia membalas tatapanku dengan sendu."Iya, karena kkurangan yang ada pada diriku ini sangat berhubungan dengan penopang hasratmu nanti Aku mengangguk pelan, "memang ada terbesit keraguan di hatiku padamu, maaf." ujarku lalu menunduk."Lan ... Lani ... tataplah kedua mataku! Kita akan melengkapi satu sama lain. Dan ... kamu tahu aku pun punya kekurangan. Janjiku akan selalu setia padamu sampai kapanpun.""Mbak ... Mbak ...." panggilan seseorang membuyarkan lamunanku."Iya, Mbak.""Mau pesan apa?" tanya sang pelayan sopan."Kwetiau siram seafoodnya satu, air mineral biasa satu, dan jus mangganya satu.""Oke, ada lagi, Mbak?""Tidak, itu saja."Sebelum pulang ke rumah, aku memutuskan untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Ada kafe yang tak jauh dari apotek tempat aku menebus obat yang diresep oleh dr. Kimmi.Menetralkan emosi dan pikiranku yang belum stabil, untung masih ada kewarasan yang tersisa. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depan mertua, ipar, bahkan mas Arfan. Lagian, aku juga sudah mulai terbiasa menghadapi mulut kasar mertua dan ipar."Lan, menurut mama kamu menyerah saja deh sama pernikahan ini. Lebih baik kamu tinggalin Arfan, biar dia bisa menikah lagi," ucap mama ketika aku baru pulang dari kerja. Mas Arfan sedang pergi ke luar kota karena ada urusan kantor.'Ma, kenapa mama ngomong seperti itu?" tanyaku heran sembari berjalan mendekati mama."Kamu itu keguguran terus, sedangkan mama pengen nimang cucu!" sergah mama.Bentakan mama membuat aku terkesiap, ini kali pertama dia membentakku di saat usia pernikahan baru menginjak dua tahun."Kenapa harus itu pilihannya, Ma? Aku tidak akan menyerah begitu saja. Anggap saja kehamilan kemarin-kemarin ini belum rezekiku dan Mas Arfan," jawabku lirih. Ruang tamu menjadi saksi perbincanganku dengan mama."Itu bukan belum rezeki, Lani! Kamu-nya saja yang tidak ditakdirkan untuk punya anak. Lagian penyakit kamu itu sudah kronis. Percuma juga kamu berharap, lebih baik kamu berpisah dengan Arfan!" bentak mama dengan mata menyalang sempurna. Sorot matanya begitu tajam, sebenci itukah dia padaku?"Ma ... jangan berkata seperti itu lagi. Pernikahanku dengan Mas Arfan masih seumur jagung. Aku akan lakukan supaya bisa hamil lagi dan berharap kandunganku bertahan hingga lahiran." Aku bersimpuh di hadapan mama, akan tepis kasar oleh mama."Jangan terlalu banyak berharap, Laniara. Setahun yang lalu pasca keguguran yang pertama kamu juga berkata demikian. Tapi, nyatanya apa? Tidak terbukti, 'kan?" cecar mama sembari berkacak pinggang di hadapanku."Tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah yang berkehendak, Ma. Aku akan berhenti bekerja, supaya bisa fokus untuk program hamil dan segera memberikan mama cucu.""Resign!" mama terpekik seakan tidak menyangka aku akan mengatakan hal demikian. "Kalau kamu resign siapa yang akan bayar cicilan mobil Arfan, uang semester Ayudia, dan belanja bulanan Mama! Kamu tahu 'kan, Arfan hanya pegawai biasa, mana mungkin bisa mencukupi seluruh kebutuhan di rumah ini."Tenang saja, Ma. Aku akan mencarikan pekerjaan yang baru untuk Mas Arfan dengan gaji yang lebih banyak dari posisi sekarang," jawabku antusias. Wajah garang tadi perlahan mulai berubah sedikit manis walau samar."Ya sudah, kamu boleh resign asal Arfan dapat dulu pekerjaan yang lebih baik dan gajinya lebih gede!" Mama berlalu meninggalkanku dan masuk ke dalam kamarnya."Mbak ... Mbak ..." Kembali aku terkejut dalam lamunan seperti ada yang memanggil dan memukul pelan pundakku."Silakan dinikmati, Mbak. Jangan lupa dihabisin, Mbak terlihat begitu pucat," ujar Mbak pelayan dengan tersenyum. Aku mengangguk.Cukup selama ini aku diam, bahkan seperti baik-baik saja ketika Mas Arfan pulang dari kerja. Cukup selama ini obat yang diresepkan dr. Kimmi menjadi teman untukku melewati pergantian malam setiap harinya. Aku pikir dulu selepas resign akan bisa fokus untuk program hamil demi menyenangkan dan memenuhi keinginan mertua. Nyatanya tidak, aku malah dijadikan babu di rumah sendiri.Hari ini dan seterusnya kalian tidak akan melihat Laniara yang dulu lagi. Laniara yang sering ditindas tanpa membalas. Laniara yang sering disiksa secara bathin atau pun fisik. Kalian harus membayar semua pengorbanan yang kulakukan selama ini!Hari ini aku akan menghargai diri sendiri, sudah cukup bukan selama ini aku menerima tingkah mertua dan iparku. Namun, sebuah pengkhianatan yang dilakukan Mas Arfan tidak ada kesempatan kedua bagiku. Semuanya terlihat nyata, dia membersamai perempuan yang sangat kukenal. Perlakuan senonohnya sama saja dia merendahkan harga diriku dan keluargaku. Bukankah selama ini keluarga ku sudah cukup lapang dada menerima dia apa adanya.Kesakitan apapun itu selain pengkhianatan masih bisa aku toleransi, tapi tidak untuk yang ini. Maaf, aku bukan istri yang akan mau dibersamai ketika lelaki yang ku anggap setia sudah membersamai perempuan lain. Aku bukan makhluk Allah yang akan berusaha menerima pengkhianatan itu. Sejatinya bukan aku yang menghancurkannya tapi dialah yang membuat semua yang dibina menjadi hancur lebur, aku hanya menarik diri dan tentunya akan menyelamatkan diri.Aku hanya ingin Allah meridhoi langkah yang diambil kedepannya. Aku hanya ingin Allah mempermudah rasa sakit tiada tara ini kedepannya. Aku hanya ingin Allah memberikan skenario terindah kedepannya. Aku hanya ingin Allah menguatkan apapun yang terjadi di depan nanti. Aku hanya ingin Allah menguatkan keluarga terutama papa dan mama. Sosok yang secara tidak langsung akan kecewa dengan apa yang terjadi di rumah tanggaku. Aku hanya ingin Allah melindungi mereka dari mulut jahat di luar sana. Dan, aku hanya ingin Allah mengajari semua agar bisa berdamai dengan keadaan apapun di depan nanti.Duh, aduh nggak tahu banget nih mertua. Aaaiiiiissshhh 🤧PERCERAIAN YANG TERINDAHPart 5Aku mengatur napas setelah memarkir mobil di dalam garasi rumah yang kubeli sebelum menikah dengan Mas Arfan. Sederhana dan tidak begitu luas, akan tetapi ada rasa kebanggaan padaku di usia masih muda sudah diberikan kemampuan oleh Allah untuk berteduh.Alhamdulillah, aku sudah sedikit lebih tenang setelah mengonsumsi obat selepas makan tadi. Dadaku sudah tidak terasa sesak lagi, detak jantungku sudah terasa normal lagi. Selain obat, sepanjang jalan pulang tadi aku selalu beristighfar, agar semakin damai."Assalamu'alaikum.""Heh! Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang? Tuh, rapikan meja makan! Gara-gara kamu terlambat pulang kami harus memesan makan online," sergah mama dengan mata yang menyalang sempurna ketika pintu utama terbuka lebar. Bukannya menjawab salamku terlebih dahulu. Namun, ini memang kebiasaan mama yang sudah bertahun-tahun.
PoV Arfan"Mas, gimana di rumah? Laniara marah nggak?" tiba-tiba Angel menghampiriku yang tengah berjalan di lobi. Mengiringi jalanku di sisi sebelah kanan, jaraknya pun sangat dekat."Sssttttt ... nanti saja bahasnya. Kamu nggak liat karyawan pada liatin. Aku nggak mau memancing kecurigaan mereka. Jaga sikap, Ngel!" ujarku berbisik sembari terus berjalan tanpa menoleh ke Angel. Kondisi lobi kantor memang agak ramai, ya, wajar saja karena sudah menunjukkan pukul setengah delapan lewat ketika mataku tertuju pada sebuah jam besar yang menempel di dinding lobi."Ih ... kamu nyebelin deh, Mas," gerutu Angel lalu terdengar hentakan kakinya. Namun, tak kuhiraukan daripada mengundang segudang tanda tanya para pasang mata. Dia tertinggal di belakang karena aku berjalan dengan cepat.Aku pun sedikit heran mengapa para karyawan di lobi menatap aneh padaku. Hmm ... atau mungkin mereka terkesima melihat ketampananku, tapi aku tak mengacuhkan makanya mereka sakit hati. Ah ... bisa jadi. Ya iyalah,
PoV Angel"Halo, Vita. Gimana, tawaran perihal kemarin? Lumayan lho, buat nambah uang saku kamu." tawarku saat telepon tersambung pada Vita. Aku memang tidak suka basa-basi untuk urusan kerjasama. Kalau tidak sesuai yang nggak masalah. Dan, aku bukan tipe pengemis bantuan.Beda di saat aku meminta direkomendasikan sama Laniara, sebenernya posisi Sekretaris bukan pekerjaannya yang kusukai, akan tetapi demi memiliki seseorang, aku akan melakukan apapun."Iya, aku mau. Tapi kalau nanti aku berhasil jangan lupa kasih lebih!" pinta Vita dari seberang sana."Beres mah kalau urusan itu. Jadi, gimana? Mau 'kan?" tanyaku memastikan."Nanti kalau Laniara curiga gimana? 'Kan semenjak dia resign aku nggak ada lagi komunikasi sama dia, Ngel.""Nggak bakalan curiga mah dia, walaupun secara otak dia pintar. Namun, Laniara itu secara bathin dia bodoh karena terlalu positif thingking pada semua orang. Percaya deh, sama aku. Nggak bakalan ketahuan kok.""Ya sudah, aku coba dulu. Nanti jam berapaan kamu
PoV Arfan"Pak, tolong beri saya kesempatan. Bukan saya yang menggodanya, Pak. Angel sendiri yang menyerahkan diri pada saya, Pak!" sahutku penuh mengiba, kuatur sedemikian rupa dengan bersuara lirih. Tak peduli dianggap lelaki seperti apa, yang jelas, aku tidak ingin kehilangan jabatan sebagai Manager. Aku bertekuk lutut, berharap diberi kepercayaan lagi. Dan Pak Sanjaya menarik semua ucapannya."Mas! Kamu apa-apaan, sih. Kita ngelakuin atas dasar suka sama suka. Kamu saja yang lemah iman!" bentak Angel. Kutatap dia dengan tatapan nanar, lalu menyunggingkan ujung bibir ini padanya."Diam! 'Kan memang begitu adanya, kamu yang duluan menggoda saya, Angel!" telunjukku mengudara pada perempuan yang sudah menangis penuh isakan itu. Air matanya begitu deras membasahi pipi. Baru kali ini aku melihatnya menangis, akan tetapi sedikit pun aku tak luluh. Lebih baik kehilangan Angel, ketimbang kehilangan popuritasku.'Pak, saya mohon beribu mohon, Pak. Tolong beri lagi kesempatan pada saya. Kura
PoV Nina"Abis nelfonan sama siapa, Ma? Kok, senyum-senyum gitu?" tiba-tiba Ayudia masuk ke kamarku. Ya, lagian mana mungkin menantuku itu yang berani masuk ke dalam kamar ini."Ssssssttt ... jangan keras-keras nanyanya. Nanti kedengaran sama Laniara. Tutup pintunya! Ini nih, abis nelfonan sama si Angel-lah. Siapa lagi," sahutku sembari senyum-senyum menatap layar ponselku.Setelah menutup pintu Ayu pun berjalan mendekatiku, kini suaranya pun tidak sekeras tadi, "Angel? Bahas apaan kok sampai senyum-senyum gitu, Ma?" tanya Ayudia penasaran. Aku beranjak, lalu berdiri di depan meja riasku. Kini kami berhadapan."Ya ... seperti biasa lah, Yu. Mama basa-basi kapan diajakin shopping sama si Angel," jawabku semringah. Tentunya, diotakku sudah ada rentetan barang yang akan kubeli jika nanti."Yakin cuma itu aja, Ma. Mana mungkin Kak Angel mau ngasih cuma-cuma, Ma. Sebelumnya dia royal ke kita 'kan ada tujuan juga.""Ya ... apalagi kalau bukan masalah Lani. Mama cum
PoV ArfanBeberapa pasang mata mulai melihat aku dan Angel diseret oleh Pak Terno sepanjang korikor hingga kami sekarang berada di lift. Entah berapa pasang mata yang bersorak, memaki, serta mencaciku dan juga Angel.Aku malu, sungguh malu. Hanya bisa menutup kedua netra ini dengan kedua tanganku. Aku ingin bersuara untuk memohon, tapi takut Pak Terno akan melakukan hal lebih kejam dari ini. Begitu pun Angel, dia hanya terdiam, hanya isakan tangisnya yang terdengar. Lagian percuma juga dia meratapi, semua tidak akan kembali seperti semula."Seret keliling kantor Pak Terno, kapan perlu live streaming biar pada kapok pelaku penzina kayak mereka" sorak salah satu karyawan, aku tidak tahu siapa, yang jelas dia perempuan."Nanggung, sekalian aja adegan biar kami tonton rame-rame," ujar seorang pria."Hu ....""Bikin malu saja kalian.""Hoi ... ngaca dong ngaca.""Heran ya, zaman udah susah masih selingkuh-selingkuh, kayak udah banyak duit aja."Mereka
"Dimana, San? Aku udah mau jalan, nih. Video yang kukirim kemarin sudah kamu lihat, 'kan?" tanyaku lewat sambungan telfon pada Sanjaya ketika baru menghenyakkan bobot di jok mobil."Aku udah di kantor, Lan. Iya, sudah kulihat, suamimu memang b*j*ng*n ya," Sanjaya mengumpat, sepertinya dia juga geram dengan tingkah Mas Arfan. Lagian mana ada manusia waras yang tidak murka melihat tingkah dua manusia tak berakhlak itu."Ya, begitulah kurang lebihnya, San. Oke, aku jalan ya, sembari menunggu kedatanganku, silakan saja cek terlebih dahulu rekaman CCTV di ruangan Mas Arfan, San! Siapa tahu masih ada yang bisa dijadikan bukti lagi.""Siap, Lan. Masalah gampang itu mah, kalau sudah sampai di parkiran kabari aku ya!""Oke, San. Sampai ketemu nanti."Sewaktu menenangkan diri di sebuah kafe, aku kembali teringat dengan nama hotel tempat Mas Arfan dan Angel memadu kasih. Rupanya itu adalah tempat salah satu temanku semasa kuliah menjadi Manager di sana. Aku pun menghubungi
Aku berusaha membuka mata, akan tetapi rasanya lebih sulit tidak seperti biasanya. Belum lagi, kepala ini begitu terasa berat ketika aku menggerakkannya. Sekujur tubuhku seakan kaku, tak lain halnya dengan kedua kaki dan kedua tanganku. Sungguh ini tidak seperti biasanya.'Ya Allah, membuka mata saja aku belum sanggup dan sangat sulit. Bantu hamba, Ya Rabb.''Astagfirullah Al'adzim ... Astagfirullah Al'adzim ... beri hamba kekuatan lagi Ya Allah." Aku terus beristighfar di dalam hati sembari berdoa semoga Allah mengembalikan tenagaku yang entah hilang ke mana.Aku mencoba kembali membuka kedua netra ini. Perlahan aku mulai melihat sesuatu, walaupun masih samar pandanganku dengan terus beristighfar di dalam hati. Akhirnya mataku terbuka sempurna, yang kulihat pertama kali adalah sebuah televisi layar datar di gantung di dinding persis di depanku.'Aku berada di mana? Tempatnya sangat asing. Namun begitu sejuk dan nyaman.'Aku berusaha menggerakkan kedua tangan untuk meraba kasur yang k