Share

Sumpah Ibu Mertua

Kedua telingaku mendengar suara deru langkah mendekatiku. Ingin menoleh, tapi rasanya tak sanggup. Aku masih tak percaya kalau Mas Prabu tega menamparku, apalagi di depan Ibu Mertua yang jelas-jelas sangat membenciku.

"Akan kubuat Prabu segera menceraikan mu!" bisik Ibu Mertua di telinga kananku. Tubuhku kembali tersentak. Tamparan dari tangan kekar itu belum sembuh, Ibu kembali menaburkan garam di luka hatiku.

Perih, itulah yang ku rasakan saat ini. Sakit tak berdarah, itulah sebutannya. Kuhembuskan nafas berat berharap sesak di dada sedikit berkurang.

"Kenapa Ibu melakukan itu? Kenapa Ibu sepertinya sangat membenciku, Bu? Apa salahku?" Tawa Ibu menggelegar memenuhi isi ruangan. 

"Kau menikah dengan putraku. Itu kesalahan fatal buatmu, Syifa. Dan akan ku manfaatkan badai yang sedang menerjang rumah tanggamu untuk membuat Prabu segera menceraikan mu!" ancam Ibu mertua menatapku dengan nyalang.

Aku terpaku mendengar kalimat Ibu Mertua. 

Ibu berjalan memutariku. Aku berdiri mematung. "Kau tahu, sebenarnya aku pernah mengalami hal sepertimu. Kita sama, hamil enam minggu diusia pernikahan empat minggu. Persis sepertimu." Ibu berhenti tepat didepanku.

"Jadi sebenarnya Ibu tahu dan pernah mengalaminya?" Ibu mertua menagngguk dengan bibir tersenyum sungging. Aku mendelik.

Ternyata benar dugaanku. Ibu sebenarnya tahu soal itu, tapi ia bersandiwara untuk membenarkan ucapan Mas Prabu.

"Kenapa Ibu melakukan itu?" ucapku dengan nada suara parau. Kutahan sekuat tenaga agar suara tangisan tak keluar dari bibirku.

"Kau masih mempertanyakan itu, Syifa? Coba kau pikir sendiri!" ucapnya dengan berlalu pergi. 

"Tunggu, Bu!" Aku mencekal pergelangan tangan Ibu.

Ibu menatapku dengan sorot mata menantang.

"Kenapa Ibu sengaja ingin memisahkan calon anakku dengan ayah nya, Bu? Kenapa Ibu sepertinya begitu membenci calon cucu Ibu? Bahkan calon cucu Ibu masih ada dirahim, tapi Ibu sudah memperlihatkan ketidak sukaan Ibu." 

"Karena anak itu akan terlahir dari rahim mu. Aku tak sudi menerima anak dari pemilik rahim yang dia sendiri saja tak tahu siapa orang tuanya. Sekalipun dia cucu kandungku! Kamu ingat baik-baik, Syifa. Akan kubuat Prabu segera menceraikanmu, bagaimanapun caranya!" 

Jleb.

Ucapan Ibu bagaikan palu godam yang menghantam kepalaku.

Aku menatap sayu kearah Ibu. "Bu, ku mohon, jangan lakukan itu. Bagaimana jika putri Ibu, Mayang, akan mendapatkan perlakuan yang sama dari mertuanya, kelak?"

"Hey ... kau benar-benar tak tahu diri! Lihat! Kau dan Mayang, putriku, jauh berbeda. Mayang sudah jelas asal usulnya, sedangkan kamu? Dimana orang tuamu saja kamu tak tahu. Dan lagi, Mayang itu perempuan berpendidikan, beda sekali denganmu. Kau hanya lulusan SMP, Syifa! Kau hanya lulusan SMP. Sedangkan Mayang? Putriku itu sebentar lagi menjadi seorang sarjana! S A R J A N A!" cicit Ibu yang membuat luka dihati semakin menganga.

"Ck, bisa-bisanya kau menyamakan dirimu dengan putriku." Ibu tersenyum mengejek.

"Bukan begitu, Bu. Syifa sadar, Syifa dan juga Mayang jauh berbeda. Tapi apa Ibu yakin, kalau perbuatan Ibu tak akan terbalaskan pada diri Mayang dikemudian hari?"

Mata Ibu mendelik.

"Kamu menyumpahi Mayang bernasib sama denganmu? Hey ... Mayang perempuan berpendidikan, tak akan ada yang berani menyia-nyiakan dirinya. Apalagi ia juga cantik, Ibu yakin suami dan juga keluarganya akan menerimanya dengan senang hati. Mereka pasti bangga punya menantu seperti Mayang. Kalau kamu? Apa yang bisa dibanggakan dari kamu? Malu, iya!"

Tanganku terkepal dengan kuat. Meskipun telinga ini sudah kebal mendengar hinaan yang terlontar dari Ibu, tapi mendengarnya kembali dengan hati yang sedang bergemuruh, membuat emosi seketika meledak. 

Kuangkat telunjuk tepat didepan wajah Ibu. "Tutup mulutmu, Bu! Ibu tak perlu mengatakan berulang kali bagaimana latar belakangku. Syifa tahu, Syifa sadar diri, siapa diri Syifa." Raut wajah Ibu semakin terlihat bengis dan menantang. Ibu menepis tanganku.

"Apa yang membuat Ibu yakin kalau Mayang akan seberuntung dengan angan-angan mu, Bu? Bukankah hukum tabur tuai tetap berlaku? Bagaimana jika kelak Mayang merasakan hal yang sama sepertiku? Bahkan bisa jauh lebih buruk." Ucapanku membuat wajah Ibu semakin terlihat meradang. Terdengar giginya bergemelatuk.

"Dasar menantu kurang ajar! Rasakan ini!"

"Ugh." Kucekal pergelangan tangan Ibu sebelum menyentuh kulit wajahku. Sedikit kupelintir hingga Ibu terlihat meringis kesakitan.

'Maafkan aku, Bu, kalau Syifa menyakiti Ibu. Syifa hanya ingin melindungi diri Syifa. Sepertinya batas kesabaran Syifa telah terlewati. Syifa sudah tak mampu memaklumi tindakan Ibu,' batinku.

Pandangan kami saling beradu. Segera kulepas pergelangan tangan Ibu dengan sedikit menghentakkan nya, hingga membuat tubuh wanita paruh baya sedikit terhuyung.

Aku segera berlalu dari hadapan Ibu Mertua. Aku melangkah menuju kamar dengan diiringi sumpah serapah yang keluar dari mulut Ibu Mertua.

"Dengarkan sumpahku, Syifa! Sampai kapanpun aku tak akan menerima anakmu. Meskipun kelak aku tak mendapatkan cucu sekalipun." Aku menghentikan gerakan tanganku saat ingin membuka handle pintu.

Jlegarrr.

Suara petir saling bersahutan. Seolah-olah memberikan jawaban atas sumpah yang keluar dari mulut wanita yang bergelar Ibu.

"Lihatlah, Bu! Sepertinya alam pun juga mendengar sumpah Ibu." Wajah Ibu memucat. Gerakan Ibu terlihat seperti orang yang dilanda kegelisahan.

Aku tersenyum sungging. 

Kubuka daun pintu, hingga memperlihatkan sosok lelaki yang bergelar suamiku sedang duduk di tepi ranjang, dengan kedua tangan menangkup kepalanya.

Kuhela nafas panjang, berharap emosi yang sempat memuncak, bisa sedikit redam. Aku melangkah. Mendengar suara langkahku, Mas Prabu langsung menatapku.

Saat langkah semakin mendekat, Mas Prabu beranjak dan berjalan melewatiku.

Entahlah, mau kemana dia. Biarlah, aku tak peduli. Hati ini masih sakit mengingat Mas Prabu yang tega menamparku. Tapi, sakit itu tak ada apa-apanya dibandingkan saat Mas Prabu tak mengakui darah dagingnya. 

Untunglah, malam ini Mayang sedang tak ada di rumah. Jika ia disini, ia pasti akan ikut mengeroyokku bersama Ibu Mertua. Memang, keluarga suamiku tak ada yang menyukaiku.

*******

Hari semakin larut, jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ingin kupejamkan mata ini, ingin ku istirahatkan pikiran ini dari masalah yang begitu pelik, tapi kedua netra ini tak kunjung terpejam.

Mas Prabu juga tak kunjung kembali. Mungkin ia akan bermalam di kamar lain. Biarlah, toh aku tak peduli.

Kusandarkan tubuhku di kepala ranjang. Pikiran ini berkelana jauh entah kemana-mana. Kemungkinan terburuk terus berkelebatan di kepalaku. 

Entahlah apa yang akan terjadi dengan biduk rumah tangga yang baru saja kubangun ini.

"Apa yang harus ku lakukan Tuhan?" lirihku. 

Kepala ini terasa begitu pening. Masalah rumah tanggaku terasa begitu pelik. Ucapan Ibu Mertua tak hentinya menggema di kedua telingaku, saat ia mengatakan akan bertekad untuk memisahkan aku dengan Mas Prabu.

Jika Ibu berhasil menghasut Mas Prabu, selanjutnya apa yang harus kulakukan? Akan kubawa kemana tubuh ini? Aku tak punya rumah. Selama ini aku hidup dengan menyewa sepetak kamar kos.

"Aarrggghhh." Aku mencengkeram rambutku. 

Berkali-kali aku mencoba mengehembuskan nafas panjang, berharap sesak di dada semakin berkurang. Tapi usahaku sia-sia.

Apakah kehidupan rumah tanggaku akan hancur begitu saja? 

'Kkrruuukkk.'

Kupegang perutku yang sedang berdemo untuk meminta hak nya. Gara-gara terlalu memikirkan masalah rumah tanggaku, hingga membuatku lupa untuk makan malam.

Aku beringsut dari ranjang dari ranjang. Dengan langkah gontai menuju dapur.

"Kamu tenang aja, Sayang. Besok pagi-pagi akan Tante jemput bareng Prabu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status