“Sholat dulu. Tadi juga handphone-mu bunyi terus. Ibu angkat, eh, nggak ada suara,” “Ibu bangunkan kamu, apii nggak bangun-bangun. Ya sudah, ibu angkat saja.”Sang ibu juga menyampaikan kabar pada Alya jika saat Alya terlelap dalam mimpinya itu dering ponsel terus berdering dan Alya yang tak kunjung membuka matanya. Alya yang baru saja bangkitt dari atas kasurr sederhana, yang tentu tidak senyaman kasur yang ada di apartemen Evan itu menghentikan langkahnya. Menatap penuh tanya lewat sorot mata pada sang ibu, sebelum akhirnya dia membuka suara. “Telepon?” tanya Alay memastikan setelah beberapa detik terdiam. “Iya. Pak Evan, kalau tidak salah, nama di kontaknya.”Nafas yang semula bisa keluar masuk dengan begitu bebas, kembali tercekat. Debaran di jantung semakin berdetak tak karuan. Buka sedang jatuh cinta. Lebih tepatnya pikiran Alya yang ke mana-mana. Sebab apa yang membuat Evan menghubunginya. “Teman kerja kamu mungkin, Nak.”“Eh, iya Buk. Mungkin ada sesuatu yang mau ditanya
Langkah Evan terhenti, kemarahannya pun masih meluap-luap seiring dengan merahnya senja yang menghias di ujung Cakrawala dunia.Dia terdiam sesaat, ketika mendapati sang istri sudah berada tepat di depan pintu apartemennya. Memang pria itu sebelumnya mencari informasi tentang keadaan yang terjadi pada diri Alya saat di kantor. Dan yang dia dapatkan dari sang dokter jika Alya sudah kembali ke rumah untuk beristirahat atas perintah yang diberikan dokter perusahaan. Ana, kekasih Evan yang mendapati kehadiran wanita yang tak asing baginya itu pun memicingkan mata kepada Evan, sang kekasih.Melihat keberadaan wanita lain tepat di depan Apartemen kekasihnya itu membuat wanita yang sedang berusaha membujuk Evan untuk menerimanya kembali itu seolah mendapatkan celah.“Hon, buat apa dia ke sini?” tanya Alya dengan ekor mata memicing curiga ke arah Evan.“Bukan siapa-siapa. Kamu keluarlah dari sini! Tak ada lagi yang harus dibicarakan di antara kita. Dan aku tegaskan lagi kepadamu bahwa kita
Jantung Alya berdegup dengan begitu kencang. Bukan karena dia sedang jatuh cinta atau apapun itu. Melainkan karena Alya yang sedang cemas dengan apa yang hendak Alya lakukan. Meski berat untuk melangkah, tetapi Alya terus berusaha melanjutkan langkah kaki menuju di mana Evan menghilang dari pandangannya. Begitu pelan, bahkan saat lengan mungilnya itu memutar handle pintu kamar tidur Evan. Alya semakin merasakan debar jantungnya itu berpacu dengan begitu kencang. Meski ragu dia tetap melanjutkan langkah membuka lebar dan masuk ke dalam kamar suaminya. Alya dapat melihat punggung tegap yang berdiri itu menghadap jendela besar yang menunjukkan pemandangan kota yang ada di sana. Alya sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun pada Evann yang ada di sana. Langkah kakinya lebih memilih menuju di mana kamar mandi berada. Alya menyiapkan segala keperluan yang Evan pinta padanya tadi. Setelah semuanya siap, dia pun keluar berganti untuk menyiapkan pakaian ganti pria itu. Setelah sem
Alya membiarkan Jerry membawa Evan masuk ke dalam kamar pria yang sedang mabuk tak berdaya tersebut. Sedang Alay mengikuti langkah mereka dari belakang tubuh pria yang sama-sama gagah itu. Hanya saja, Jerry terlihat lebih kurus dari sang suami tapi Alya sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun sejak mengirinng kedua pria itu. Sepertinya, Jerry yang mengaku sebagai teman Evan itu sudah sangat tahu dimana kamar suaminya itu berada. Sebab, tanpa Alya kasih tahu pun pria itu sudah melangkah menuju ke kamar sang suami. “Biar aku buka pintunya dulu,” kata Alya, dia mempercepat langkahnya demi bisa membukakan pintu kamar Evan dan memudahkan teman suaminya itu membawa tubuh besar Evan masuk ke dalam.Jerry menunggu sejenak, sebelum akhirnya pria itu benar-benar membawa masuk Evan ke dalam menuju ke ranjang pria tersebut.“Bangke, berat banget sih badan lo. Sialan!” Umpat pria itu setelah berhasil melempar tubuh kekar sang teman.Alya terdiam, dia sama sekali tidak menanggapi umpatan yan
Di balik selimut tebal berwarna abu-abu yang membuat suhu ruangan begitu dingin itu menjadi penghangat boleh balutan selimut dan pelukan hangat dari kulit yang menempel pada tubuh Alya itu mulai Mengusik alam bawah sadar wanita tersebut.Alya mulai menggeliat, dengan begitu perlahan karena kelopak matanya pun mulai terbuka. Menyeimbangkan lampu kamar yang meremang itu bersamaan dengan iris berwarna kecoklatan itu mulai membuka sempurna penuh kebingungan.“Astagfirullah!” gumam Alya dengan suara Pelannya. Tubuhnya terasa hangat dan nyaman dia pun mulai tersadar jika dirinya tidak sedang terlelap pada sebuah bantal empuk yang beberapa hari menemaninya.Dia mulai menoleh, menatap ke atas dan mendapati pria yang tak lain adalah suaminya, Evan, itu masih terlelap dengan kelopak mata yang masih tertutup rapat sempurna. “Astagfirullah, kenapa aku bisa ketiduran seperti ini diperlukan Pak Evan?” Tanya Alya pada dirinya sendiri. Detak jantungnya mulai bertalu tak karuan, saat tersadar jarak
Alya terdiam saat Evan dengan kasar menolak sarapan yang telah disiapkan olehnya. Tak hanya sampai disitu, pria itu dengan Seenaknya saja menuduh dirinya yang tidak tidak. Apa Alya terlihat memiliki niat jahat seperti itu pada suaminya?Seharusnya Evan dapat berpikir realistis, jika Alya memang memiliki melihat seperti itu kenapa tidak dilakukan olehnya sejak dulu. Dan lebih memilih meminta dirinya untuk dinikahi secara siri pada Evan yang Bahkan untuk menuntut apapun itu tidak akan bisa Alya lakukan karena memang pernikahan mereka tidak tercatat pada catatan Sipil. Dan Alya tidak bisa melakukan tuntutan apapun kepada Evan nantinya.Alya masih berdiri di tempatnya, menatap pintu yang sudah kembali rapat tertutup sejak kapan keluar dari sana.“Sabar, Al. Kamu tidak boleh terpancing amarah juga seperti suami itu,” kata Alya pan. Dia menghela nafas beratnya, sebelum akhirnya dia benar-benar meninggalkan ruang tamu itu dan berlalu menuju ke pantry untuk sarapan seorang diri.Dua piring n
Alya dan Raffi yang mendapati sikap aneh Evan itu pun terdiam. Sama-sama menatap punggung yang semakin menghilang dari arah pandangnya itu. Merasa sikap yang sedang Evan lakukan itu sangat aneh menurut keduanya.Raffi menoleh dan menatap bingung pada Alya. Segala pertanyaan itu pun berhasil muncul yang semakin membuat pria yang baru mengenal Alya itu semakin penasaran. “Pak Evan kenapa?” tanya Raffi dalam kebingungannya. Berharap dia mendapat jawaban dari Alya atas sikap yang sedang Evan tunjukkan kepadanya itu. Alya yang ditanya seperti itu oleh Raffi pun bingung. Sebab dia pun tidak tahu harus memberikan jawaban seperti apa pada Raffi atas kalimat yang pria itu tanyakan kepadanya. Tak mungkin juga Alya menjawab, karena sebenarnya dia pun bingung sebab apa yang membuat Evan bersikap seperti itu kepadanya. “Aku juga nggak tahu, Mas,” jawab Alya sekenanya.Alya tersenyum canggung kepada Raffi. Sebab, tidak jadi mengajak sarapan bersama atas masakan yang telah dia masak meski hanya
“Tuh. Pak Evan datang pagi-pagi dengan wajah tak bersahabatnya tadi. Tumben sekali dia datang bawa kotak makanan, tetapi saat masuk dan kami sapa hormat dia. Malah dia buang kotak makannya itu ke tong sampah,” kata salah satu karyawan wanita yang sebelumnya bergosip pada salah satu rekan kerjanya itu. Raffi yang mendengar kabar dari sang rekan itu pun terkejut. Pandangan matanya mengikuti ke mana arah pandangan rekan wanitanya itu menuju ke tong sampah yang tak jauh dari mereka. Apa yang mereka bilang itu ternyata benar adanya. Kotak makan yang Alya bawa sebelumnya tadi telah berada di dalam tong sampah tersebut.Raffi mendekat, tangannya pun terulur guna bisa menggapai kotak yang sempat dia pegang sebelumnya. JIka Evan membuang kotak bekal Alya dari dirinya. Lalu untuk apa pria itu justru malah membuang kotak makan yang seharusnya isinya dia nikmati bersama dengan Alya. “Pak. Buat apa diambil. Itu kan sudah dibuang oleh Pak Evan. Tadi beliau bilang jangan sampai ada yang berani me