"Kenapa diam saja? Kamu nggak denger mami bicara?" Ibu mertua kembali membuka suara yang kali ini sangat melengking.
"Nggak gitu, Mam. Mas Abryal cuma salah paham, gak ada yang aku sembunyikan."
"Bohong!" Ibu mertua langsung melayangkan tamparan di pipi kanan ini, lalu menyeretku ke belakang rumah dekat kebun.
Entah sejak kapan ibu mertua merencanakan semua ini karena sudah tersedia tali tambang yang cukup panjang. Aku diikat pada batang pohon mangga yang tidak terlalu tinggi, tetapi seperti angker. Memberontak pun tidak bisa, aku hanya mengandalkan suara untuk berteriak.
Namun, semua percuma seolah penghuni rumah ini tidak memiliki telinga. Gadis tadi pun mungkin enggan memunculkan batang hidungnya. Aku pasrah, menitikkan air mata memikirkan hal-hal yang mungkin saja terjadi esok atau lusa.
"Mami nggak bakal ngelepasin kamu kalau nggak jujur!"
"Please, Mami. Aku bersumpah sebelum kami menikah, aku masih perawan."
"Tadi malam kamu ngapain aja? Abryal kan ke rumah sakit."
"Itu ...." Aku menarik napas panjang, lalu membuangnya kasar. Memutar otak mencari alasan. Apa yang harus aku katakan? Tidak mungkin jujur sekalipun ibu mertua adalah orang tua Mas Daran sendiri.
Dilema. Aku menundukkan kepala karena takut pikiran terbaca olehnya. Semoga saja waktu cepat berlalu, aku harap segera mati saja daripada harus menderita seperti ini. Menyusul orang tua berharap kelak bersatu di tempat paling baik. Pada kehidupan selanjutnya, akankah takdir berpihak padaku?
Sampai pukul dua siang, aku semakin lemas karena rasa lapar mendera. Apalagi matahari begitu menyengat kulit. Apakah tidak ada yang mau menolong aku dari kematian? Tangan dan kaki kian gemetar, bibir pun mulai mengering.
Pernikahan yang kusangka adalah lembaran baru menuju kebahagiaan ternyata seperti lembah kematian. Mas Abryal tidak sepenuhnya salah karena dia adalah bawahan terutama dalam keadaan darurat. Lalu apa?
Aku bingung. Apa tidak ada jalan keluar?
"Kamu masih belum mau jujur?" Ibu mertua kembali setelah meninggalkan aku di sini selama berjam-jam.
"Jujur apa, Mam? Kenapa Mami nggak percaya sama aku?"
"Itu karena ...." Ibu mertua mendengkus kesal seperti ada yang berusaha dia sembunyikan.
Aku menunggu jawaban, tetapi wanita paruh baya itu memilih diam. Tatapan kami saling beradu, aku menemukan gurat kebencian di sana. Ada apa? Selain karena menjadi korban, apa aku memiliki kesalahan?
"Mas Abryal ke mana, Mam?"
"Bukan urusan kamu!" Ibu mertua kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Aku kembali sendirian.
Beruntung karena pohon mangga ini sedikit rindang atau wajahku akan terbakar, lalu menghitam. Namun, satu yang membuat aku penasaran adalah apa sikap ibu mertua akan seperti ini andai saja ada noda di malam pertamaku dengan Mas Abryal atau akan tetap sama?
Teringat suara di dalam kamar beliau saat aku sedang menuju kamar Mas Abryal. Apa jangan-jangan itu suaranya? Kalau Mas Abryal tidak cinta, kenapa harus melamar? Apa ada dendam di balik hubungan kami?
Seribu pertanyaan di dalam benak tidak berhasil menemukan jawaban. Satu jam lalu aku berkhayal, menganggap diriku ini memiliki sihir untuk kemudian pergi dari sini. Ah, entahlah. Aku semakin bimbang dan hidup seperti orang gila.
"Megy!"
Aku menoleh ke sumber suara, Mas Daran berdiri di sana dengan kedua tangan terkepal kuat. Matanya menyalak tajam. Apa dia ikut menyimpan dendam dan ingin menghajarku sampai kehilangan nyawa?
Langkahnya semakin panjang mengikis jarak di antara kami. Aku menunduk menghindari tatapan mata Mas Daran. Napasnya yang hangat menyapu wajah, aku semakin gamang. Apalagi dalam keadaan terikat seperti ini, sulit mengelak jika tangannya melayang di udara.
"Tatap mataku!" Mas Daran memegang daguku, kemudian mengangkat wajah ini sehingga pandangan mata kami bertemu dalam satu titik yang sama.
"Mas, ada apa? Aku punya salah?"
"Ya!" pungkasnya cepat.
Aku semakin ketakutan, kedua kaki gemetaran di bawah sana. Kesalahan apa lagi yang aku lakukan? Apa mungkin ibu mertua mengarang cerita sehingga amarah Mas Daran terpancing sebelum tahu kebenarannya? Aku khawatir Kania ikut campur dan menghasut Mas Daran agar melenyapkan aku dari dunia ini.
"Mas, tolong jangan hukum aku. Lepas, Mas. Mungkin sebaiknya aku pergi saja dari sini," lirihku memberi tatapan memohon pada Mas Daran.
Lelaki berkulit sawo itu membuang pandangan, kemudian melepas cengkraman tangannya. Sekarang apa yang dia pikirkan tentang aku? Mungkinkah merencanakan pembunuhan atau justru ingin mengungkap kebenaran?
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sini, Megy."
"Tapi, Mas–"
"Bodoh!" bentak Mas Daran tepat di depan wajahku. Air mata mungkin telah mengering sehingga tidak ada yang menetes di pipi. "Kamu bodoh karena diam diperlakukan seperti ini. Kenapa tidak melawan? Jangan melakukan sesuatu yang tidak kamu sukai, Megy!"
"Mas Daran ...?"
Bagaimana aku bisa melawan, sedangkan orang yang membuat aku terlihat menyedihkan seperti ini adalah ibu mereka? Jika melawan, mungkin siksaannya akan semakin berat dan aku tidak punya tempat berteduh selain di sini.
Detik selanjutnya, Mas Daran melepas tali yang melilit ini. Kaki terlalu lemah untuk menopang berat badan sehingga aku jatuh dalam pelukannya. Cukup lama dan aku merasa sedikit tenang. Bukan cinta, mungkin karena di rumah ini seperti bergerak melawan aku.
"Tenang, jangan menangis lagi. Sekarang balik ke kamar, kamu harus istirahat. Lupakan kejadian tadi." Mas Daran mengangkat aku ala bridal style. Beberapa pelayan yang melihat hanya bisa diam.
Aku menutup mata karena merasa malu. Itu berlangsung lama sampai aku merasakan Mas Daran membaringkan aku dengan sangat pelan di tempat tidur. Setelahnya, dia menutupi tubuh ini dengan selimut.
Mas Daran keluar sebentar, lalu kembali ke kamar. Aku jadi salah tingkah karena kami adalah saudara ipar. Kejadian malam itu tiba-tiba mengusik perhatian. Bagaimana jika Mas Daran menyimpan dendam atau memanfaatkan aku suatu hari nanti dengan ancaman membeberkan aib kami?
Lima menit kemudian, seorang asisten rumah tangga masuk membawa nampan berisi nasi dengan banyak lauk dan juga segelas air putih. Dia meletakkannya di nakas tanpa berani membuka suara. Mas Daran sendiri acuh tak acuh, dia mengambil piring itu lantas menyuapi dengan telaten.
Aku merasa tinggal dengan sosok ayah. Mas Daran ternyata baik dan mungkin malam itu dia memang tidak menyadarinya. Mungkin setelah ini kami bisa menjadi teman. Bagaimana tidak, jika suami sendiri pun lebih mementingkan orang lain daripada aku. Terlebih ada masalah dalam rumah tangga kami.
"Gak usah senyum-senyum. Makan sampai habis, setelah itu istirahat. Kalau ada apa-apa kabarin aku. Ibu atau Kania nggak berhak buat nyiksa kamu, Meg. Jangan mau dipandang remeh sama mereka." Mas Daran meletakan piring itu dan memintaku melanjutkan sendiri. Matanya bergerak cepat ke segala arah dan menemukan ponsel di laci nakas.
"Kenapa, Mas?"
"Save nomor aku. Kalau ada apa-apa tinggal nelfon. Bagaimana pun, masalah ada karena aku. Jadi, aku harus tanggungjawab, Adik Ipar!"
Mas Daran keluar dari kamar ini setelah menepuk pucuk kepalaku beberapa menit. Katanya itu ibarat sebuah mantra yang bisa membuat kita merasa lebih baik. Ya, aku mengakui meskipun luka di hati masih terasa.Perempuan mana yang tidak terluka diperlakukan demikian buruknya oleh mertua. Mas Abryal pun nampak acuh tak acuh lagi. Tidak ada pesan yang dia kirim untuk menjelaskan keberadaannya. Padahal saat kami masih pacaran dulu, dia kerap marah jika aku keluar rumah tanpa mengabarinya.Kembali teringat ketika ijab qabul diiringi teriakan 'sah' dari para saksi menggema di rumah besar ini. Air mata sejuk jatuh membasahi pipi. Aku selalu mendambakan malam pertama yang indah untuk kemudian melanjutkan mimpi bersama pasangan, saling menguatkan dalam keadaan apa pun."Megumi."Aku yang sedang meneguk air sedikit terkejut dengan kedatangan Kania. Dia bersama seorang pelayan yang langsung menerobos masuk kamar dan mengambil piring yang sudah kosong itu.Kania sendiri tinggal di kamar. Kami belum
"Lihat mereka, Pi. Daran sangat peduli pada Jalang itu. Apa mungkin rumor tentang mereka benar?""Jalang? Rumor? Kamu ini bicara apa, Abryal? Papi nggak pernah mengajarimu merendahkan perempuan apalagi istri kamu!" bentak ayah mertua semakin merah.Aku sendiri memilih menunduk, tetap di tempat karena tidak bisa melangkahkan kaki sekadar memberi jarak dengan Mas Daran. Ternyata memang ada rumor tentang kami berdua. Seharusnya Mas Daran memilih cuek untuk mematahkan prasangka mereka dan bukan malah menolongku.Pernikahan yang baru seumur jagung aku sangka akan dipenuhi dengan bunga-bunga cinta karena sikap romantis dari suami. Apakah dosa mengimpikan hal itu sebelum pernikahan sehingga Tuhan memberiku hukuman seberat ini?"Papi tanyakan saja sama Daran. Dia kan anak kesayangan Papi!"Ayah mertua semakin marah, dia menggertakkan gigi dengan wajah merah padam. Ibu mertua langsung menenangkannya sebisa mungkin. Aku semakin ketakutan, gemetar tidak karuan karena tahu bahwa masalah besar aka
"Benar, Om. Aku jadi saksi. Tante Yuni mengamuk membenarkan tuduhan Abryal, lalu diikat di pohon. Aku mau menolong, tetapi Tante Yuni marah dan mengancam aku diusir kalau berani mengadu. Untungnya Mas Daran datang di waktu yang tepat sebelum Megy pingsan." Kania memberi jeda, tersenyum manis sebelum akhirnya melanjutkan, "Aku menelepon Mas Daran untuk segera pulang, makanya dia tahu Megumi ada di belakang rumah, Om.""Bohong!" pungkas ibu mertua cepat menatap kami secara bergantian. "Sebenarnya mami dijebak. Kania bilang kalau Megumi itu punya hubungan dengan Daran, jadi Kania menyarankan agar mami menghukum Megumi untuk mencari bukti dan benar, Daran datang menolongnya!""Tante Yuni yakin?""Kania, jangan menyudutkan Mami! Niat Mami itu baik karena mau membuka kedok mereka dan sudah terbukti, kan? Bahkan dengan gatalnya minta digendong." Mas Abryal kembali membuka suara seperti tidak ingin ibu mertua disalahkan.Aku tidak tahu bagaimana keputusan akhir karena ayah membawa istrinya me
"Nggak mungkin, Meg. Kamu jangan hamil dulu!""Semoga enggak, sih, Mas. Tapi gimana kalau seandainya emang beneran hamil?"Mas Daran mengusap kasar wajahnya. Siapa yang tidak akan frustrasi? Apalagi suamiku seorang perawat, tentu mudah mengetahui siapa ayah biologis dalam kandunganku ini. Lantas haruskah jujur pada keluarga, kemudian menikah dengan dia?Oh, ini berat. Mas Daran sendiri sudah memutuskan untuk hidup melajang. Dia memang yang merenggut kehormatanku pertama kali, tetapi setelah tidur dengan Mas Abryal juga, apa dia akan mempertimbangkan atau justru menolak kasar?Aku perempuan dan di mana-mana dalam kasus yang sama, kamilah yang paling dirugikan. Mas Daran bisa menyangkal untuk sesaat jika mau saat suatu hari nanti kebenaran terungkap. Lagi pula jika dia menikah dengan perempuan lain, mungkin istrinya tidak akan curiga.Mas Daran menatap lekat padaku, sejurus kemudian aku memalingkan pandangan ke luar jendela karena berhasil di buat salah tingkah. "Kamu keberatan kalau ..
"Megy!" Teriakan itu menggema bersamaan dengan tangan aku yang dicekal kuat. Gunting direbut ketika aku membuka mata."Mas Daran?"Dia menggeleng kuat sebagai isyarat bahwa dia tidak memberi izin aku mengakhiri hidup. Dalam satu gerakan, aku sudah berada dalam pelukannya. Tentu hal ini menambah kecurigaan Mas Abryal. Aku pasrah, memejamkan mata untuk sesaat.Tidak kupedulikan hinaan Mas Abryal yang mengatai kami manusia hina. Bahkan sampai lelaki itu pergi, Mas Daran tetap pada posisinya. Untuk waktu yang lama, aku merasa damai.***Tanpa terasa, waktu berputar begitu cepat dan setiap pagi aku harus menahan mual agar keluarga suami tidak curiga. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mencoba mencari jalan keluar yang sudah pasti buntu?Selain jujur pada mereka, aku tidak akan pernah lepas dari masalah ini. Namun, Mas Daran sudah berjanji ingin membantu meskipun bukan bermaksud akan bertanggungjawab dengan menikah."Aku sudah telat sebulan hari ini, Mas. Kayaknya ... emang lagi hamil."M
"Jujur, aku tinggal di sini itu karena diusir dari rumah. Setelah wisuda, aku ketahuan hamil di luar nikah. Jadi, aku tahu betul gimana orang kalau hamil," lanjut Kania lagi karena aku terpaku memandangnya.Kalau dia pernah hamil, kenapa bapak mertua mau menampungnya di sini? Apa karena rasa kasihan? Namun, sepertinya tidak bagus jika langsung percaya begitu saja. Orang-orang di rumah ini hampir semua bermuka dua.Kembali teringat perkataan Mas Daran tentang dirinya yang seperti diberi obat perangsang malam itu. Jika memang benar, maka siapa yang menjebaknya? Apalagi di saat yang sama, parfum Mas Abryal juga dipakai Mas Daran. Apakah semua memang sebuah kebetulan?Aku memijit kening, melangkah gontai menuju tempat tidur. Andai saja Kania sudah pasti baik dan mendukung aku seperti Mas Daran, aku bisa jujur pada apa yang aku rasakan. Memendam masalah sendirian itu berat dan hanya menambah sesak di dada."Meg, minimal lakukan tes kehamilan. Kalau kamu hamil, mungkin Abryal bisa berubah.
Malam hari, aku yang baru saja keluar dari kamar mandi dikejutkan oleh keberadaan Mas Abryal, duduk di tempat tidur. Biasanya dia akan pulang saat aku sudah terlelap. Itu pun tidak akan mau masuk di kamar kami. Sekarang, entah apa tujuannya.Jantung berdegup tidak normal, aku menelan saliva selaya melebarkan langkah mengikis jarak di antara kami. Mas Abyral menoleh dengan tatapan yang sulit di artikan. Tangan kanannya bergerak menepuk sisi kanan sebagai isyarat bahwa aku diminta duduk di sana."Di sini saja, Mas." Aku menjawab ragu, lalu duduk di sofa kamar.Mas Abryal menghembuskan napas kasar, menatap dalam padaku. "Kamu istriku, Megumi. Jadi, harus menurut sama aku?""Istri?" Aku tersenyum ketus mendengarnya. Setelah apa yang dilakukan selama ini seolah menganggap aku tidak ada, dia berani menganggap istri?Sebenarnya aku memang cukup senang karena Mas Abryal mengakui aku sebagai istri sekarang. Namun, tetap saja khawatir mengingat masalah di antara kami belum menemukan titik teran
"Megumi, buka pintunya. Ini aku, Kania."Aku membuka mata, ternyata setelah mandi pagi tadi, aku justru terlelap dan melewatkan sarapan. Melirik ke dinding, sudah hampir pukul sembilan. Kenapa Kania mengetuk pintu, apa dia sengaja membawa makanan untukku?Entahlah, jawaban itu akan aku dapatkan begitu kami bertemu. Mata masih sedikit perih karena menangis selama berjam-jam tadi malam. Kalimat yang dilontarkan Mas Abryal sangat menyakiti hati apalagi dalam keadaan hamil begini, rasanya mudah tersinggung."Kania, Mas Daran?" Aku terkejut melihat mereka datang bersama. Setelah menengok ke kanan dan kiri, sepi."Aman, Mami sama Papi ada acara di luar dan pulang malam nanti. Abryal juga ada operasi besar di rumah sakit." Kania menjelaskan seperti tahu apa yang terlintas di dalam benak.Aku meminta mereka masuk, lalu mengunci pintu kamar rapat berharap benar-benar tidak ada yang melihat kami atau sengaja menguping untuk mengadu pada Mas Abryal. Jantungku berdegup tidak normal. Mereka berdua