Share

Bab 6. Hukuman dari Mertua

"Kenapa diam saja? Kamu nggak denger mami bicara?" Ibu mertua kembali membuka suara yang kali ini sangat melengking. 

"Nggak gitu, Mam. Mas Abryal cuma salah paham, gak ada yang aku sembunyikan."

"Bohong!" Ibu mertua langsung melayangkan tamparan di pipi kanan ini, lalu menyeretku ke belakang rumah dekat kebun.

Entah sejak kapan ibu mertua merencanakan semua ini karena sudah tersedia tali tambang yang cukup panjang. Aku diikat pada batang pohon mangga yang tidak terlalu tinggi, tetapi seperti angker. Memberontak pun tidak bisa, aku hanya mengandalkan suara untuk berteriak.

Namun, semua percuma seolah penghuni rumah ini tidak memiliki telinga. Gadis tadi pun mungkin enggan memunculkan batang hidungnya. Aku pasrah, menitikkan air mata memikirkan hal-hal yang mungkin saja terjadi esok atau lusa.

"Mami nggak bakal ngelepasin kamu kalau nggak jujur!"

"Please, Mami. Aku bersumpah sebelum kami menikah, aku masih perawan."

"Tadi malam kamu ngapain aja? Abryal kan ke rumah sakit."

"Itu ...." Aku menarik napas panjang, lalu membuangnya kasar. Memutar otak mencari alasan. Apa yang harus aku katakan? Tidak mungkin jujur sekalipun ibu mertua adalah orang tua Mas Daran sendiri.

Dilema. Aku menundukkan kepala karena takut pikiran terbaca olehnya. Semoga saja waktu cepat berlalu, aku harap segera mati saja daripada harus menderita seperti ini. Menyusul orang tua berharap kelak bersatu di tempat paling baik. Pada kehidupan selanjutnya, akankah takdir berpihak padaku?

Sampai pukul dua siang, aku semakin lemas karena rasa lapar mendera. Apalagi matahari begitu menyengat kulit. Apakah tidak ada yang mau menolong aku dari kematian? Tangan dan kaki kian gemetar, bibir pun mulai mengering.

Pernikahan yang kusangka adalah lembaran baru menuju kebahagiaan ternyata seperti lembah kematian. Mas Abryal tidak sepenuhnya salah karena dia adalah bawahan terutama dalam keadaan darurat. Lalu apa?

Aku bingung. Apa tidak ada jalan keluar?

"Kamu masih belum mau jujur?" Ibu mertua kembali setelah meninggalkan aku di sini selama berjam-jam.

"Jujur apa, Mam? Kenapa Mami nggak percaya sama aku?"

"Itu karena ...." Ibu mertua mendengkus kesal seperti ada yang berusaha dia sembunyikan.

Aku menunggu jawaban, tetapi wanita paruh baya itu memilih diam. Tatapan kami saling beradu, aku menemukan gurat kebencian di sana. Ada apa? Selain karena menjadi korban, apa aku memiliki kesalahan?

"Mas Abryal ke mana, Mam?"

"Bukan urusan kamu!" Ibu mertua kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Aku kembali sendirian.

Beruntung karena pohon mangga ini sedikit rindang atau wajahku akan terbakar, lalu menghitam. Namun, satu yang membuat aku penasaran adalah apa sikap ibu mertua akan seperti ini andai saja ada noda di malam pertamaku dengan Mas Abryal atau akan tetap sama?

Teringat suara di dalam kamar beliau saat aku sedang menuju kamar Mas Abryal. Apa jangan-jangan itu suaranya? Kalau Mas Abryal tidak cinta, kenapa harus melamar? Apa ada dendam di balik hubungan kami?

Seribu pertanyaan di dalam benak tidak berhasil menemukan jawaban. Satu jam lalu aku berkhayal, menganggap diriku ini memiliki sihir untuk kemudian pergi dari sini. Ah, entahlah. Aku semakin bimbang dan hidup seperti orang gila.

"Megy!"

Aku menoleh ke sumber suara, Mas Daran berdiri di sana dengan kedua tangan terkepal kuat. Matanya menyalak tajam. Apa dia ikut menyimpan dendam dan ingin menghajarku sampai kehilangan nyawa?

Langkahnya semakin panjang mengikis jarak di antara kami. Aku menunduk menghindari tatapan mata Mas Daran. Napasnya yang hangat menyapu wajah, aku semakin gamang. Apalagi dalam keadaan terikat seperti ini, sulit mengelak jika tangannya melayang di udara.

"Tatap mataku!" Mas Daran memegang daguku, kemudian mengangkat wajah ini sehingga pandangan mata kami bertemu dalam satu titik yang sama.

"Mas, ada apa? Aku punya salah?"

"Ya!" pungkasnya cepat.

Aku semakin ketakutan, kedua kaki gemetaran di bawah sana. Kesalahan apa lagi yang aku lakukan? Apa mungkin ibu mertua mengarang cerita sehingga amarah Mas Daran terpancing sebelum tahu kebenarannya? Aku khawatir Kania ikut campur dan menghasut Mas Daran agar melenyapkan aku dari dunia ini.

"Mas, tolong jangan hukum aku. Lepas, Mas. Mungkin sebaiknya aku pergi saja dari sini," lirihku memberi tatapan memohon pada Mas Daran.

Lelaki berkulit sawo itu membuang pandangan, kemudian melepas cengkraman tangannya. Sekarang apa yang dia pikirkan tentang aku? Mungkinkah merencanakan pembunuhan atau justru ingin mengungkap kebenaran?

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sini, Megy."

"Tapi, Mas–"

"Bodoh!" bentak Mas Daran tepat di depan wajahku. Air mata mungkin telah mengering sehingga tidak ada yang menetes di pipi. "Kamu bodoh karena diam diperlakukan seperti ini. Kenapa tidak melawan? Jangan melakukan sesuatu yang tidak kamu sukai, Megy!"

"Mas Daran ...?"

Bagaimana aku bisa melawan, sedangkan orang yang membuat aku terlihat menyedihkan seperti ini adalah ibu mereka? Jika melawan, mungkin siksaannya akan semakin berat dan aku tidak punya tempat berteduh selain di sini.

Detik selanjutnya, Mas Daran melepas tali yang melilit ini. Kaki terlalu lemah untuk menopang berat badan sehingga aku jatuh dalam pelukannya. Cukup lama dan aku merasa sedikit tenang. Bukan cinta, mungkin karena di rumah ini seperti bergerak melawan aku.

"Tenang, jangan menangis lagi. Sekarang balik ke kamar, kamu harus istirahat. Lupakan kejadian tadi." Mas Daran mengangkat aku ala bridal style. Beberapa pelayan yang melihat hanya bisa diam.

Aku menutup mata karena merasa malu. Itu berlangsung lama sampai aku merasakan Mas Daran membaringkan aku dengan sangat pelan di tempat tidur. Setelahnya, dia menutupi tubuh ini dengan selimut.

Mas Daran keluar sebentar, lalu kembali ke kamar. Aku jadi salah tingkah karena kami adalah saudara ipar. Kejadian malam itu tiba-tiba mengusik perhatian. Bagaimana jika Mas Daran menyimpan dendam atau memanfaatkan aku suatu hari nanti dengan ancaman membeberkan aib kami?

Lima menit kemudian, seorang asisten rumah tangga masuk membawa nampan berisi nasi dengan banyak lauk dan juga segelas air putih. Dia meletakkannya di nakas tanpa berani membuka suara. Mas Daran sendiri acuh tak acuh, dia mengambil piring itu lantas menyuapi dengan telaten.

Aku merasa tinggal dengan sosok ayah. Mas Daran ternyata baik dan mungkin malam itu dia memang tidak menyadarinya. Mungkin setelah ini kami bisa menjadi teman. Bagaimana tidak, jika suami sendiri pun lebih mementingkan orang lain daripada aku. Terlebih ada masalah dalam rumah tangga kami.

"Gak usah senyum-senyum. Makan sampai habis, setelah itu istirahat. Kalau ada apa-apa kabarin aku. Ibu atau Kania nggak berhak buat nyiksa kamu, Meg. Jangan mau dipandang remeh sama mereka." Mas Daran meletakan piring itu dan memintaku melanjutkan sendiri. Matanya bergerak cepat ke segala arah dan menemukan ponsel di laci nakas.

"Kenapa, Mas?"

"Save nomor aku. Kalau ada apa-apa tinggal nelfon. Bagaimana pun, masalah ada karena aku. Jadi, aku harus tanggungjawab, Adik Ipar!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status