Share

Bab 2 : Ide Gila

"Dia bakal ke sini nanti. Dia bilang, dia akan tetap mengusahakan pernikahan."

Aku berusaha tersenyum mendengar itu ... walau terasa getir.

***

Air mataku kembali mengalir ketika mendengar Bang Dion menyatakan harus menunda pernikahan kami. Apa yang harus aku katakan pada ayah?

"Ber*ngsek lu!" sembur Kak Mirna sambil bangkit berdiri.

"Kak, aku juga bingung harus bagaimana." Wajah Bang Dion tampak kalut. Ia juga ikut bangkit dari duduknya.

"Gue udah tahu bakalan begini jadinya! Elu hanya maenin perasaan adek gue, 'kan?! Mana lu bilang adek gue hamil lagi!" Kak Mirna mulai tersulut emosi, makanya ia ber-gue-elu dengan Bang Dion sekarang.

"Gak gitu, Kak! Aku serius dengan Mila. Tapi mama dan papaku belum bisa menerima semua ini! Dan soal Mila yang hamil, maksudku cuma biar papa mengizinkan. Ternyata ...." Bang Dion tertunduk.

"Ayah gue udah cetak undangan dan udah ngabarin tetangga juga kerabat! Hari pernikahan tinggal dua pekan lagi. Mau ditaroh mana muka kami, hah?!" Kak Mirna semakin sengit.

Bang Dion menatap nanar ke arahku. Ia meremas rambut kepalanya.

Air mataku mengalir semakin deras. "I–iya, Bang ... ayah pasti malu kalau pernikahan gak jadi. Dan ... dan ini alasan ayah menolak Mas Sugeng," ucapku sembari menahan isak.

Kami terdiam beberapa saat.

Tiba-tiba Bang Dion berkata, "Ada jalan keluar ... ada jalan keluar ...."

"Apa?" tanya Kak Mirna menyambar.

"Tunggu ... tunggu sebentar. Aku nanti balik lagi." Bang Dion langsung melenggang pergi dengan langkah lebar.

"Apalagi yang mau dilakukan cecunguk itu?" Kak Mirna tampak sangat kesal.

Aku menggeleng lemah, lalu bangkit dan masuk ke kamar. Tenggelam dalam renungan panjang dan berlinang air mata. Benarkah ini cinta sejatiku, ya Rabb?

Aku hanya ingin membahagiakan ayah. Semenjak ibu meninggal, ayah terlihat sedih dan lebih pendiam. Bisakah aku membahagiakan orang tua yang tinggal satu-satunya ini, ya Allah?

***

Kubuka pintu. Tampaklah Bang Dion dengan seorang pria cukup tampan. Wajahnya diselimuti bulu tajam yang baru tumbuh di sekitar pipi dan dagunya. Postur tubuhnya lebih tinggi dan lebih atletis daripada Bang Dion. Otot lengan atas dan dadanya tercetak jelas dari balik kemeja biru muda itu.

"Ini cewekmu?" Matanya yang bersorot tajam memindaiku dari atas ke bawah. Membuatku risih. Untung hanya sebentar saja.

Aku mengernyitkan dahi melihat pria yang dibawa Bang Dion di hadapan. Kemudian mereka kupersilakan masuk ke ruang tamu.

"Iya, Bang," jawab Bang Dion sembari mengarahkan pria asing itu ke sofa tua di rumah kontrakan Kak Mirna ini.

"Siapa ini, Bang?" tanyaku kepada Bang Dion.

Pria yang dipanggil abang oleh Bang Dion lalu duduk tanpa diminta. Dia mengeluarkan sebuah kotak rokok dan mengambil sebatang dari dalamnya. Aaah, aku benci dengan benda itu!

Tampak lelaki itu sejenak menghidu batang rokok tersebut, lalu menyelipkan di antara kedua bibirnya. Akan tetapi, yang membuatku heran ... dia tidak menyalakan rokok tersebut.

"Duduk dulu, Mila," ucap Bang Dion.

"Aku ambilkan minum dulu, Bang," ujarku.

Bang Dion pun mengangguk.

Aku lalu melenggang pergi ke arah dapur kecil Kakakku.

"Hanya beberapa waktu, Bang." Terdengar suara Bang Dion berbicara dengan temannya.

"Kamu gak jelas banget. Beberapa waktu itu berapa lama?" Suara lelaki itu terdengar berat.

"Skripsiku dua bulan lagi rampung. Setelah wisuda aku bakalan menyelesaikan semua, Bang," jawab Bang Dion.

"Kalo dua bulan lagi kamu selesai ujian skripsi, maka kamu wisuda tiga bulan kemudian. Idemu ini gak masuk akal. Abang ke sini pengen tahu aja, penasaran sama cewek yang kamu taksir." Pria itu tertawa kecil. Entah apa yang mereka bicarakan?

Es teh sudah jadi, kutaruh gelas-gelas itu ke atas nampan. Aku lalu melangkah menuju ruang tamu yang tidak jauh dari ruang makan kami.

Makanya aku mendengar percakapan mereka, karena rumah kontrakan kakakku ini memang tidak seberapa besar. Bahkan ruang makan sekaligus difungsikan sebagai dapur.

"Minumnya, Bang," tawarku sambil meletakkan dua gelas es teh di atas meja, "Kak Mirna lagi keluar sebentar," lanjutku. Aku kemudian mendudukkan bokong di sofa tua di situ.

"Mila ... ini Bang Aldin. Bang, ini Kamila." Bang Dion memperkenalkan kami.

"Hemm ...." Pria yang bernama Aldin itu hanya berdeham menjawab Bang Dion. Ia lalu meraih gelas dan menenggak air es teh tersebut dengan tegukan besar. Setelah itu, batang rokok yang sebentar tadi ia lepas, kembali diselipkan lagi di kedua bibirnya. Aneh.

Aku pun mengangguk pelan dan mengulas senyum kecil tanda menegurnya.

"Bang Aldin ini yang akan membantu kita," ujar Bang Dion.

Aku mengernyitkan dahi. "Bagaimana caranya, Bang?" tanyaku penasaran.

"Bang Aldin akan menikahi kamu. Menggantikanku," jawab Bang Dion agak lirih, aku tidak yakin mendengar perkataannya dengan jelas. Hal itu membuatku menautkan alis.

"Mak–maksud Abang gimana?" tekanku.

"Abang yang nikahin kamu. Biar bapakmu gak malu," sambar Bang Aldin.

"Ap–apa?!" Aku sangat terkejut, sontak aku bangkit dari duduk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status