Share

Bab 7 : Ikut ke Rumahnya

Sesampainya di halaman rumah kontrakan Kak Mirna, aku dan Bang Aldin ikut keluar dari mobil. Mas Andri menurunkan tas dan koper bawaan mereka.

"Eh, Mila. Ngapain kamu turunkan tas kamu juga?" tanya Kak Mirna heran.

"Emmm ...." Ya Allah, aku lupa. Bukankah seharusnya aku ikut dengan pria yang kini berstatus sebagai suamiku.

Walaupun Bang Aldin mengenakan kaca mata hitam, aku tahu ia tengah menatapku lekat. Membuatku jengah. Kemudian ia meraih gawainya dan memainkan benda pipih itu.

"Malah bengong!" seru Kak Mirna lagi.

Kakakku lalu meraih dan meletakkan kembali tasku ke dalam bagasi mobil. Mas Andri terlihat terkekeh di sana. Wajah ini terasa panas!

"Makasih, Al!" ucap Mas Andri setelah barang-barang mereka turun.

Bang Aldin berhenti memainkan ponselnya dan menjawab, "Ok, Mas. Sama-sama." Lelaki itu kemudian masuk ke mobilnya setelah memberi isyarat kepadaku untuk ikut.

Dengan ragu aku mengulurkan tangan kepada Kak Mirna. "A–aku pamit, Kak." Rasanya tak rela pergi dari sini.

Kakak menyambut tanganku dan mencium pipi serta memelukku. "Jaga diri baik-baik ya, Dek." Kemudian ia merenggangkan pelukan lalu menatapku.

Aku tersenyum getir. "Doain aku, Kak," ucapku. Pandangan mata ini terasa kabur karena kaca-kaca yang melapisinya.

"In syaa Allah. Kamu sms-kan aja alamat rumah kamu. Nanti sesekali kakak datang," katanya.

Aku mengangguk pelan, kemudian perlahan melangkah dan memasuki mobil pria yang berstatus suamiku itu. Kuhapus bulir bening yang hendak lolos begitu saja sebelum ia jatuh.

Bang Aldin menurunkan kaca rayben mobil itu lalu pamit. Aku pun melambaikan tangan kepada Kak Mirna juga Mas Andri dan mencoba menarik bibir ke atas.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam melihat-lihat pemandangan di luar jendela. Keadaan lalulintas tampak ramai lancar. Mengapa suasana menjadi canggung begini?

"Umurmu berapa, Mila?" tanya Bang Aldin memecah keheningan.

Aku meliriknya sebentar, lalu menjawab, "Sembilan belas. Bulan depan." Huuft ... apa dia tidak melihat isi di kertas surat-menyurat dan buku nikah yang sudah ditandatangani ketika kami melangsungkan pernikahan?

Ia tersenyum simpul. "Pantas saja."

"Ha?" Aku menoleh ke arahnya. Pantas kenapa?

"Wajah dan tubuhmu itu malah seperti anak baru lulus SMP."

Aku mengernyitkan dahi. Apa? Enak aja! Aku mendengkus dan membuang muka ke arah jendela samping. Terdengar ia terkekeh.

"Nggak nyangka Dion naksir sama gadis seperti kamu."

Aku menajamkan telinga, menyimak. Apa maksudnya berkata demikian?

"Dion memang jarang menjalin hubungan khusus dengan perempuan. Tapi seleranya bukan seperti kamu."

"Maksud Abang apa?" Aku menatapnya sengit. Memang aku gadis seperti apa maksudnya?

"Eit! Sabar, Neng ... jangan marah dulu. Wajah kamu memang cantik. Ya, kakakmu juga cantik tu si Mirna. Abang mengakui itu." Ia terkekeh.

Wajahku terasa menghangat. Dia ... dia memuji wajahku.

"Hanya saja Dion itu, seleranya gadis modern. Wajar aja Om Herlan heran."

Aku mengeraskan rahang mengingat cercaan dan hinaan dari ayah Bang Dion waktu itu.

"Dion memang tidak pernah membawa teman perempuannya ke rumahnya. Dia itu dikenal sebagai anak baik-baik di keluarganya."

"Maksud Abang, Bang Dion sebenarnya anak gak baik, gitu?" sambarku.

"Bukan begitu. Ah ... sudahlah!" Kembali lelaki itu terkekeh. Mengapa dia kembali menyebalkan!

Aku pun diam tidak lagi mau mengorek-ngorek pendapatnya tentang Bang Dion. Setahuku lelakiku itu saat ini adalah pria yang baik. Ia berusaha menjadi baik. Itu cukup bagiku.

Hmmm ... aku bingung ya Allah. Bagaimana aku ke depan? Apa aku harus tetap menanti Bang Dion? Atau harus mulai membuka diri terhadap Bang Aldin? Atau bagaimana?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status