“Tidurlah di ranjang, aku akan tidur di sofa.”
Suara berat Aiden begitu menusuk ke indra pendengaran Amora. Pasangan yang baru saja menikah itu, masuk ke dalam kamar pengantin mereka. Tampak jelas kegugupan dan ketakutan di wajah Amora, sedangkan Aiden menunjukkan aura arogan dan amarah tertahan.
Amora menatap Aiden dengan tatapan bingung. “Kita tidur terpisah?”
“Kau pikir aku mau tidur denganmu?” seru Aiden dengan nada dingin dan sorot mata tajam.
Amora menggigit bibir bawahnya. “T-tapi b-bukankah kita sudah menjadi suami istri?”
Rangkaian resepsi mewah telah selesai. Amora dan Aiden berada di kamar pengantin mereka. Tentu malam pertama adalah hal yang ditakutkan oleh Amora. Namun, Aiden tiba-tiba mengatakan mereka tidur secara terpisah. Hal tersebut membuat Amora senang bercampur dengan kebingungan.
Aiden melangkah mendekat ke arah Amora. Refleks, wanita itu melangkah mundur hingga punggungnya terbentur ke dinding. Aiden mengungkung tubuh Amora, membuat wanita itu gelagapan dan tak bisa berkutik. Aiden memiliki tubuh tinggi, tegap, dan gagah, sedangkan Amora memiliki tubuh yang langsing dan tidak terlalu tinggi. Tubuh mungil Amora bisa tertutup penuh dengan tubuh Aiden.
“A-Aiden, a-apa yang mau kau lakukan?” tanya Amora gelagapan, dan gugup.
Aiden menatap dingin Amora. “Kau pikir aku akan mau menyentuhmu?” Pria tampan itu berdecih sambil berkata tajam, “Jangan mimpi! Pernikahan kita hanya status!”
Amora menelan salivanya susah payah. “J-jadi b-benar m-malam ini kita tidur terpisah?” tanyanya tak percaya. Dalam benak Amora, malam ini dia harus merelakan keperawanannya pada pria yang tidak pernah dia cintai. Namun jika tidur terpisah, maka Amora akan selamat dari ketakutannya.
“Kau tidak tuli, kan?! Aku bilang kau tidur di ranjang! Aku akan tidur di sofa!” seru Aiden menegaskan. “Jika di luar tidak ada keluarga kita, aku sudah memesan satu kamar hotel lagi untukku!”
Amora hanya bisa mengangguk. “B-baik, A-Aiden.”
Aiden mengembuskan napas kasar, mengatur emosinya. “Gantilah gaunmu! Kau mau tidur dengan gaun pengantin?!”
Amora menundukkan kepalanya, menatap tubuhnya masih memakai gaun pengantin. Benar apa yang dikatakan Aiden. Tidak mungkin dia tidur mengenakan gaun pengantin seperti ini. Detik selanjutnya, Amora melangkah pelan menuju kamar mandi, sedangkan Aiden memilih keluar sebentar membiarkan Amora mengganti pakaiannya.
Tak selang lama, setelah Amora membersihkan tubuhnya, dia memakai bathrobe dan membuka koper yang dibawakan pelayan. Namun seketika betapa terkejutnya Amora melihat isi koper itu adalah gaun tidur tipis dan seksi, bahkan bisa dikatakan jika ada wanita yang memakainya sama saja dengan telanjang.
“Ya Tuhan, pakaian macam apa ini?” seru Amora terkejut seraya menyentuh lingerie berwarna merah terang transparan.
Ceklek!
Pintu masuk terbuka. Aiden yang di luar mendengar suara jeritan Amora.
“Ada apa?” tanya Aiden sambil melangkah mendekat ke arah Amora.
Amora malu di kala Aiden ada di hadapannya. “Hem, i-ini—” Lidahnya kelu tidak bisa menjawab.
Menunggu jawaban Amora terlalu lama, Aiden melihat sendiri koper yang dibawakan pelayan untuk Amora, ternyata berisikan lingerie seksi. Tampak Aiden berdecak. Pria tampan itu tahu siapa ulah semua ini. Pasti orang tuanya yang sudah menyiapkan.
Tanpa banyak bicara, Aideen mengambil piyamanya yang ada di dalam koper, dan melemparkan pada Amora. “Pakailah piyamaku.”
Amora terkesiap menangkap piyama Aiden. “A-aku memakai piyamamu?”
“Kau ingin memakai baju kekurangan bahan itu?!”
“Eh, t-tidak, Aiden. A-aku tidak mau.”
“Cepat kau ganti pakaianmu, lalu istirahat! Ini sudah malam.”
Amora mengangguk cepat, dan langsung menuju ke kamar mandi. Akan tetapi, sialnya kepala Amora menubruk dada bidang Aiden, hingga membuatnya mengaduh kesakitan.
“Gunakan matamu kalau jalan!” seru Aiden mengingatkan tegas.
Amora menggigit bibir bawahnya. “M-maafkan aku, Aiden. A-aku tidak sengaja.”
Aiden tak merespon, dia memilih untuk duduk di sofa, sedangkan Amora berjalan cepat menuju kamar mandi. Beruntung Aiden meminjamkan piyama padanya. Jika tidak pasti Amora tidur menggunakan bathrobe.
Setelan piyama tampak besar di tubuh Amora. Wanita itu sedikit menunduk di kala Aiden menatapnya. Tinggi tubuh Amora hanya sedada Aiden. Jadi wajar jika piyama pria itu berukuran tampak besar di tubuh Amora.
“Matikan lampu. Aku tidak bisa tidur dalam keadaan lampu nyala,” ucap Aiden dengan nada dingin.
Jemari Amora saling menaut gelisah. “A-Aiden, boleh tidak lampu dinyalakan saja. A-aku takut kalau tidur dalam keadaan lampu gelap.”
Amora menunjukkan jelas kegelisahan di wajahnya. Wanita itu takut tidur dalam keadaan gelap. Tampak sorot mata Aiden melihat jelas kecemasan di wajah Amora, tapi pria itu sama sekali tak peduli.
Aiden menatap tajam Amora. “Jika kau takut, kau tidur saja di lorong hotel. Di sana lampu terang!”
Amora menelan salivanya susah payah mendengar jawaban Aiden. Mau tak mau, wanita itu mengikuti keinginan Aiden untuk mematikan lampu. Dia menahan kuat rasa takutnya untuk berbaring di ranjang.
***
Amora terbangun ketika sinar matahari mengintip masuk ke sela-sela jendela kamarnya. Perlahan-lahan matanya berusaha mengendarkan pandangan ke penjuru ruangan. Dalam hitungan detik, Amora mengingat pernikahan kilatnya yang dipaksa oleh ayahnya. Dia menghela napas gelisah. Tatapannya teralih ke sofa—di mana Aiden tidur. Namun di sana Aiden sudah tidak ada. Ke mana Aiden? Benak Amora bertanya-tanya.
Amora menyibak selimut, turun dari ranjang, dan berbalik menuju kamar mandi. Akan tetapi sialnya dia tersandung selimut. Aiden yang baru saja keluar dari kamar mandi dan masih memakai handuk yang melilit di pinggangnya—tak sengaja menangkap tubuh Amora.
Keseimbangan Aiden tidak terjaga. Mereka jatuh bersamaan dalam keadaan Amora berada di atas tubuh Aiden. Sontak Amora terkejut ditambah Aiden bertelanjang dada hanya memakai handuk saja.
“Aiden, k-kenapa kau tidak pakai baju?” Amora langsung menutup mata menggunakan kedua tangannya.
Aiden berdecak kesal mendapatkan pertanyaan bodoh Amora. Dia menyingirkan kasar tubuh Amora ke samping, lalu bangkit berdiri. “Aku baru selesai mandi!” Aiden menatap Amora dengan tatapan tak bisa diartikan, “Apa kau berpikir aku mandi mengenakan pakaian?!”
Amora meringis malu dan perlahan-lahan mulai berdiri sambil menunduk. “M-maaf, Aiden. A-aku tadi tersandung.”
Aiden mengembuskan napas kasar. “Ada dress di dalam paper bag di sofa, kau ambil dan segera pakai itu setelah kau membersihkan tubuhmu. Kita harus pulang. Aku tidak betah lama-lama di hotel.”
“Kita pulang ke mana, Aiden?” tanya Amora polos masih menunduk.
“Kau masih tanya setelah kemarin kau sudah resmi menjadi istriku?!” seru Aiden kesal.
Amora memasang wajah bingung. “Barang-barangku ada di rumah ayahku. Aku harus pulang dulu untuk mengambil barang-barangku.”
“Kau bisa mengambil barangmu besok. Di rumahku ada pakaian yang bisa kau pakai.”
“T-tapi pakaiannya tidak seksi, kan?”
Mata Aiden mendelik tajam. “Kau pikir aku nafsu padamu?! Sekalipun kau telanjang di depanku, aku tidak tertarik padamu! Cepat sana kau mandi dan ganti pakaianmu! Kau tidak mungkin kan terus menerus memakai piyama tidur?!”
Amora mengangguk cepat takut dimarahi Aiden lagi. Dia tetap menunduk, buru-buru mengambil paper bag, dan berlari kecil menuju kamar mandi. Tampak Aiden mengembuskan napas kasar.
“Wanita ini membuatku gila.”
Langkah kaki Amora begitu pelan, melangkah masuk ke dalam mansion milik Aiden. Desain elegan dan tertata sangat rapi dan sempurna. Bahkan debu pun tak terlihat. Bisa dikatakan Aiden adalah sosok pria yang perfectionist.“Kamarmu ada di ujung kanan,” ucap Aiden di kala sudah tiba di lantai tiga.Amora menatap Aiden dengan tatapan bingung. “Kamarku? Maksudmu, kita tidur terpisah?” tanyanya memastikan sambil mengerjapkan mata.Aiden membalas tatapan Amora dengan tatapan tajam. “Kau berharap kita tidur bersama?!”Amora tersentak karena nada bicara Aiden satu oktaf lebih tinggi. “A-aku hanya memastikan saja, Aiden.”Aiden melangkah mendekat. Refleks, Amora mundur dengan wajah panik.Amora menelan salivanya susah payah, dan mengangguk di balik wajah ketakutan. Detik selanjutnya Aiden melangkah pergi meninggalkan Amora yang bergeming di tempatnya, dengan raut wajah ketakutan.“Nyonya,” sapa sang pelayan sontak membuat Amora terkejut.“M-maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud membuat Anda terkeju
“S-sakit …” Amora mengerang kesakitan ketika Aiden mencoba mengobati pergelangan kakinya yang terluka.“Ini tidak akan selesai jika kau tidak bisa diam.” Aiden menghela napas berat, karena kaki Amora yang tidak bisa diam ketika ia sedang mengoleskan salep.“A-aku bisa sendiri,” Amora menatap mata Aiden dengan takut, kemudian ia mengulurkan tangannya untuk mengambil obat oles yang berada di tangan Aiden.Tetapi Aiden tidak mengindahkan perkataan Amora, dan justru tetap mengobati lukanya. Ketika Aiden sudah selesai mengobati pergelangan kaki Amora, Aiden beranjak untuk pergi dari kamar Amora.“A-aiden … terima kasih—” ucap Amora tergugu, seraya menurunkan kakinya ke lantai.“Jangan berterima kasih kepadaku.” Aiden menanggapi dengan tenang, lalu melenggang pergi meninggalkan Amora.***Aiden menggosok rambutnya dengan handuk, guna mengeringkan rambutnya yang basah akibat menyelamatkan Amora. Tampak pria tampan itu masih dilingkupi perasaan yang masih kesal.Suara ketukan pintu berbunyi.
Menemani Aiden ke pesta ulang tahun Richard adalah hal yang Amora tak sangka. Wanita cantik itu berpikir, Aiden akan pergi sendiri, tapi ternyata malah mengajaknya. Jujur, Amora sangat malu untuk menghadiri pesta ulang tahun sepupu Aiden, tapi wanita itu tidak mungkin menolak apa yang sudah diinginkan Aiden.Amora menatap cermin, melihat tubuhnya terbalut sempurna oleh gaun sederhana, tapi tetap terlihat sangat cantik di tubuh Amora. Beberapa kali Amora menghela napas dalam, berusaha untuk menenangkan dirinya. Hadir di pesta pasti membuatnya sangat canggung.“Amora, apa kau sudah siap?” tanya Aiden seraya melangkah masuk ke dalam kamar Amora. Beberapa detik, pria itu terdiam melihat penampilan Amora. Gaun yang dipakai wanita itu memang sederhana, tapi sangat cantik dan anggun di tubuh Amora.Amora mengalihkan pandangannya, menatap Aiden yang kini berdiri di hadapannya. “Sudah, Aiden. Aku sudah siap.”Aiden berdehem seraya melirik sekilas sebuah kotak yang ada di samping Amora. “Itu ap
“Kita duduk di sana!” Aiden menarik tangan Amora, mengajak secara paksa wanita itu duduk di kursi yang tersisa. Richard yang melihat Aiden menarik tangan Amora—membuatnya menyapa para tamu undangan.Amora terkejut di kala tangannya ditarik paksa Aiden. Wanita cantik itu bingung Aiden mengajaknya duduk. Pun dia tidak enak karena meninggalkan Richard begitu saja. Sungguh! Amora bingung dengan tindakan Aiden.“Oh, hai, Aiden. Long time no see.” Seorang wanita cantik berambut pirang, duduk di kursi kosong—yang mana kebetulan ada di samping Aiden.Aiden menatap wanita cantik berambut pirang. “Nalani Carter?”Wanita cantik bernama Nalani itu tersenyum. “Senang sekali kau masih mengingatku. Apa kabar, Aiden? Sudah lama tidak bertemu denganmu, kau terlihat semakin gagah dan tampan.”Aiden tak merespon mendapatkan pujian dari Nalani. “Seperti yang kau lihat, aku baik.”“Aku senang mendengar kabar kau baik. Aiden, bagaimana perusahaanmu? Aku dengar kau semakin hebat dalam memimpin perusahaan ke
Amora berlari meninggalkan kerumunan pesta dengan air mata yang tak henti bercucuran. Dia menangis, mengingat kata-kata pedas yang terlontar dari bibir Nalani. Sungguh, dia tak menyangka Nalani akan mengeluarkan kata-kata seperti itu padanya. Jika dirinya dihina, maka dia akan diam saja. Hal yang membuat Amora sakit hati adalah ibunya dihina.Amora menjadi pusat perhatian para tamu undangan, berlari meninggalkan pesta dalam keadaan menangis. Wanita cantik itu mengabaikan tatapan yang tertuju padanya. Dia terus berlari, sampai tak sengaja kakinya tersangkut di karpet merah.BrakkkAmora tersungkur jatuh ke bawah, dan tangisnya kini semakin keras. Semua orang tak sama sekali membantu Amora. Para tamu undangan terus menatap Amora dengan tatapan bingung.Aiden melangkahkan kakinya tegas, menerobos kerumunan dan menatap Amora yang tersungkur di bawah sambil menangis. Detik itu juga yang dilakukan Aiden adalah menggendong tubuh Amora dengan gaya bridal—dan melangkah pergi meninggalkan kerum
Amora bangun lebih pagi dan sudah rapi dengan midi dress berwarna maroon. Rambut panjang indahnya dikuncir kuda, memperlihatkan leher jenjang dan indah milik wanita itu. Riasan tipis menyempurnakan penampilan Amora. Meski ditubuhnya tidak memakai barang-barang mahal, tapi Amora tetap sangat cantik dan anggun. Tas selempang kecil yang isinya hanya dompet dan ponsel tak lupa selalu dia bawa. Bisa dikatakan penampilan Amora memang sangat sederhana.“Selesai,” ucap Amora dengan senyuman manis di wajahnya di kala sudah memoles lip gloss ke bibirnya. Dia berbalik meninggalkan kamar, tetapi langkah kaki Amora terhenti di kala berpapasan dengan Aiden.“Kau ingin ke mana?” tanya Aiden dingin dengan sorot mata lekat pada Amora.Amora gelagapan panik mendapatkan tatapan dingin Aiden. “A-aku ingin ke toko bungaku. Sudah lama aku tidak ke sana.” “Siang ini orang tuaku akan datang ke sini. Kau jangan pergi ke mana-mana,” ucap Aiden dingin dan tegas.Amora terkejut. “Aiden, orang tuamu akan datang
Pelupuk mata Amora bergerak di kala sinar matahari menembus sela-sela gorden, dan menyentuh wajah mulusnya. Wanita itu bermaksud ingin menggerakkan tubuhnya, tetapi dia merasa ada tangan berat yang melingkar di pergelangan tangannya. Detik itu juga, ketika kesadaran Amora sudah pulih—dia menatap terkejut Aiden yang memeluk pinggangnya erat.Amora terkejut. “Aaaaaaaa…”Suara teriakan Amora berhasil membuat Aiden membuka mata. Pria tampan itu mengumpat seraya menyentuh telinganya di kala mendengar suara teriakan. Tampak tatapan Aiden terhunus tajam dan dingin pada Amora.“Apa kau sudah gila?! Kenapa kau berteriak di pagi hari?” seru Aiden, dengan penuh rasa kesal. Tidurnya menjadi terganggu akibat jeritan Amora.Amora menelan salivanya susah payah. Tatapannya teralih pada bantal pembatasnya sudah terjatuh di lantai. Entah siapa yang memindahkan bantal itu. Yang pasti sekarang Amora menjadi panik. Benaknya memikirkan sepanjang malam Aiden tidur sambil memeluk pinggangnya.“A-Aiden, b-ban
Amora merasa kesialan datang menghampirinya. Dia yang berniat ingin mengunjungi toko bunga miliknya, malah dipaksa harus ikut dengan Aiden ke kantor pria itu. Sungguh, Amora ingin sekali menolak, tapi ada kedua mertuanya yang membuat Amora benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali.Saat ini Amora sedang berada di mobil Aiden. Wanita cantik itu menoleh ke luar jendela, menatap cuaca di kota Manhattan yang sangat cerah. Sejak tadi Aiden mengemudikan mobil, tanpa sedikit pun meliriknya. Keheningan di dalam mobil membentang membuat suasana tercipta menjadi canggung dan tak nyaman.“A-Aiden, apa tidak apa-apa kau membawaku ke kantormu? Aku takut menyusahkanmu,” ucap Amora pelan seraya memberanikan diri menatap Aiden yang sedang mengemudikan mobil.Aiden menatap lurus ke depan, fokus melajukan mobil tanpa mau menoleh ke arah Amora. “Kau tidak dengar apa yang dikatakan orang tuaku?”Amora menggigit bibir bawahnya pelan. “I-iya, aku ingat, tapi aku hanya takut menyusahkanmu. Kau bilang hari