"Tidak! Tolong aku!"
"Bunuh mereka!"
Teriakan demi teriakan terdengar di tengah kekacauan yang menyelimuti Sekte Naga Suci. Bunyi ayunan pedang yang diiringi suara daging terkoyak dan lenguhan rendah sejumlah korban mengiris pendengaran. Bau anyir yang menyeruak dalam pekatnya malam begitu menusuk hidung.
"Jangan biarkan mereka kabur!" komando seorang laki-laki membuat para pendekar dari sekte aliran hitam menjadi lebih brutal melakukan penyerangan. Mereka mengejar para penduduk yang berusaha menyelamatkan diri.
"Hahaha, mau ke mana kalian?" Gelak tawa menggelegar atas terpojoknya seorang laki-laki beserta istri dan anaknya.
"Tolong, jangan bunuh kami. Kami akan memberikan semua harta kami pada kalian," pinta seorang lelaki memelas dengan bersujud di kaki salah seorang pendekar sekte aliran hitam. Lelaki itu tampak kacau dengan luka lebam dan luka sayat hampir di sekujur tubuhnya.
"Tenang saja, aku akan mengambil sendiri semua hartamu. Jadi kau tidak perlu susah payah memberikannya. Sekarang, matilah dengan tenang!" pekik lelaki itu sembari menghujamkan pedang ke punggung lelaki yang bersujud di kakinya.
"Suamiku!" jerit seorang perempuan meratapi kematian suaminya yang kini ambruk dengan pedang yang menancap dari punggung hingga tembus ke perut. Lekas diikuti jerit tangis dari gadis kecil yang ada dalam dekapannya.
"Habisi mereka! Aku akan kembali ke Ketua Huang," ucap lelaki itu setelah menarik pedangnya dari mayat lelaki di hadapannya.
Lelaki dengan ikat kepala hitam bergambar dua garis lengkung ke bawah berwarna kuning itu berlari cepat menuju kerumunan para pendekar pedang yang mengeroyok seorang pendekar dari Sekte Naga Suci. "Ketua Huang, apa pestanya sudah selesai?" tanya lelaki itu pada seorang pria yang berdiri satu meter dari kerumunan.
Pria dengan perawakan kekar dan tegap itu adalah Huang Fu, ketua dari Sekte Iblis Merah, yang juga terpilih sebagai ketua aliansi sekte aliran hitam Gongliao. Senyumnya terus terkembang, menikmati tebasan demi tebasan pedang yang menghujani seorang pendekar dari Sekte Naga Suci.
"Hampir. Segeralah bergabung sebelum Xiu Jian mati!" jawab Huang Fu tanpa menoleh. Ia tidak mau melewatkan detik-detik terakhir Xiu Jian—ketua Sekte Naga Suci itu.
"Dengan senang hati, Ketua Huang." Lelaki itu pun langsung bergabung dengan para pendekar pedang dari sekte aliran hitam, menghajar Xiu Jian tanpa ampun.
"Argh ..." lenguh Xiu Jian terdengar berulang-ulang di antara suara tebasan pedang yang menghujani tubuhnya. Noda merah mencuat dari bekas sayatan itu. Bahkan juga menempel pada pedang-pedang yang mengoyaknya.
"Tebas perutnya! Aku ingin melihat seberapa kuat keparat itu," seru Huang Fu belum puas dengan permainan pedang yang disuguhkan para ketua dari sekte aliran hitam.
"Argh ...!" teriak Xiu Jian lebih keras. Ia pun jatuh berlutut dengan tangan kanan bertumpu pada pedang yang menancap di tanah dan tangan kiri memegangi perutnya yang terkena tebasan pedang. Bau anyir semakin tercium atas tumpahnya darah segar dari perut Xiu Jian yang robek.
Huang Fu menarik sudut kanan bibirnya melihat apa yang ia inginkan telah terwujud. Huang Fu kemudian bertepuk tangan sambil berjalan mendekati Xiu Jian. "Bahkan setelah perutmu koyak, kau tampak masih ingin hidup."
Huang Fu membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke musuh bebuyutannya yang tertunduk, hingga hanya menyisakan jarak sejengkal saja. Ia bisa mendengar napas Xiu Jian yang memburu.
Huang Fu melihat dengan jelas, Xiu Jian meringis menahan sakit. Cairan merah yang keluar dari pelipisnya, perlahan merembes jatuh menuju mata. Lantas, dengan cepat Huang Fu mengulurkan tangannya ke sisi kiri pinggang Xiu Jian untuk meraih pedang pusaka dengan ukiran naga keemasan pada selongsongnya. Akan tetapi, belum sampai tangan Huang Fu menyentuh pedang itu, tangan kiri Xiu Jian telah menepisnya hingga menimbulkan suara tertentu.
"Kurang ajar!" umpat Huang Fu dengan kedua bola mata nyaris keluar. Kemudian ia bangkit dan menghantamkan sikunya ke tengkuk Xiu Jian. Sontak saja membuat Xiu Jian jatuh tersungkur.
Melihat Xiu Jian tengkurap tidak berdaya, Huang Fu lantas menginjak kepala Xiu Jian yang menghadap ke kiri. Mata Xiu Jian masih berkedip pelan, membuat Huang Fu semakin bernafsu ingin menjadi malaikat mautnya.
Huang Fu menggeretakkan gigi-giginya hingga membuat tulang rahangnya mengeras. Lalu ia menarik pedangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Pantulan sinar temaram dari obor membuat pedang itu berkilau dalam gelapnya malam.
"Hia ...!" teriak Huang Fu seraya mengayunkan pedang dan mendaratnya tepat di leher Xiu Jian. Maka, pedang Huang Fu yang semula bersih, kini telah dihinggapi bercak darah.
Para anggota Aliansi Gongliao yang menyaksikan kekejaman sang ketua dalam menghabisi nyawa lawan menjadi diam terpaku. Mereka bergeming menantikan tindakan Huang Fu berikutnya.
Huang Fu kemudian mengambil pedang pusaka yang tadi hendak ia rebut dari Xiu Jian. Lantas berjongkok dengan lutut kiri yang menempel di permukaan tanah, tepat di hadapan potongan kepala Xiu Jian.
Lelaki yang terkenal dengan pukulan Tapak Maut itu memandangi wajah Xiu Jian lekat-lekat. Kedua mata Xiu Jian masih sedikit terbuka dengan kornea yang bersemu merah. Ada darah yang mencuat dari pelipisnya yang bocor. Sudut bibir Xiu Jian juga berdarah dengan tanah yang melekat padanya. "Kau dan seluruh anggota Sekte Naga Suci telah hancur. Dengan Pedang Naga Suci di tanganku, wilayah Quzhou akan segera menjadi milik Aliansi Gongliao!" ucap Huang Fu lirih.
Huang Fu mencengkeram rambut Xiu Jian dengan tangan kiri. Lalu mengangkat potongan kepala itu tinggi-tinggi bersama dengan Pedang Naga Suci di tangan kanannya.
"Hidup Ketua Huang!" seru seorang anggota yang kemudian ditirukan oleh anggota lainnya. Mereka bersorak-sorai merayakan kehancuran Sekte Naga Suci.
Huang Fu menyeringai. "Cukup! Sekarang, ambil semua harta mereka dan bakar desa ini sampai hangus. Aku mau, semua hal yang berhubungan dengan Sekte Naga Suci lenyap dari muka bumi!"
***
Dalam rimbunnya pepohonan yang menutupi sinar rembulan untuk masuk, seorang bocah tampak berlari riang. Di genggamannya terdapat seekor kelinci yang mati tertusuk panah. Bocah dengan senyum yang terus tersungging itu kadang berhenti dan kembali untuk menarik tangan seorang pemuda yang tertinggal di belakangnya. "Ayolah Kak, tidak bisakah kakimu berjalan lebih cepat lagi?! Aku ingin segera menunjukkan hasil buruanku pada ayahku," ucapnya menahan kesal sebab si pemuda justru terlihat sengaja memperlambat langkahnya.
Pemuda itu hanya tersenyum miring menanggapi rengekan anak kecil berusia lima tahun itu. Hal tersebut membuat si bocah menghentakkan kaki sebelum akhirnya membanting kasar tangan pemuda yang ia tarik. Dengan gesit bocah itu kemudian berlari hingga ke atas bukit.
Mendadak, kelinci di tangan bocah itu terjatuh ke tanah. Hal tersebut membuat sang pemuda mengerutkan kening dan dengan cepat mengejar bocah kecil itu.
"Ada apa, Zhangjian? Apa yang--" Ucapan sang pemuda berhenti ketika sepasang maniknya menatap pemandangan di hadapan.
Cahaya jingga terpantul dari bola mata kedua orang itu, hasil dari kobaran api besar yang melalap desa mereka.
"Ah ...." Bocah itu mengeluarkan suara kebingungan. "Ah!" Ia mulai berteriak seiring kakinya berlari.
Sebelum bocah tersebut bisa berlari jauh, sang pemuda langsung menghentikannya. Ia bisa mendengar teriakan dan dentingan pedang, kemampuannya sebagai seorang ahli bela diri memungkinkannya untuk melakukan hal tersebut.
"Kak Li Min, lepaskan aku! Aku harus melihat Ayah dan Ibu! Juga saudara-saudara lainnya!" teriak Zhangjian dengan mata bulat yang terlihat basah menahan tangis.
"Tidak ... kita tidak bisa kembali ...," bisik Li Min.
Hati Li Min terasa sakit, tetapi ia tahu bahwa serangan dalam skala ini jelas bertujuan untuk meluluhlantahkan Sekte Naga Suci--sekte tempatnya bernaung. Kekejaman ini ... hanya ada satu kelompok di dunia ini yang tega melakukan hal tersebut. Li Min mengepalkan tangannya. "Aliansi Gongliao ...."
Pada akhirnya, bocah lelaki itu hanya bisa terduduk lesu dengan pundak turun naik. Sang pemuda yang semula mencengkeram erat tangannya, kini memegang pundak bocah itu. "Zhangjian ...," lirihnya.
"Kak Li Min, Ayah ... Ibu ....," rintih bocah itu dengan kedua tangan bertumpu di atas tanah. Tulang-tulangnya terasa lemas tak mampu menopang tubuhnya untuk tetap tegak.
Li Min pun memeluk erat Xiu Zhangjian. Ia menggertakkan gigi-giginya seraya menatap lekat kobaran api di tanah Boushan. Li Min membatin, "Kalian melakukan kesalahan besar karena telah membiarkan pewaris sesungguhnya dari Pedang Naga Suci tetap hidup. Lihat saja, kalian tidak akan lolos, karena kami akan datang untuk menuntut balas!"
"Apa kau sudah mendengar kabar kehancuran Sekte Naga Suci?" tanya seorang warga mengabaikan makanan di hadapannya."Ya, aku sudah dengar. Mengerikan! Malah kabarnya mereka juga menyerang kerajaan. Kaisar Xiang Ming dibunuh beserta seluruh anggota keluarganya." Seorang lainnya menimpali setelah meneguk teh.Usai membakar habis Boushan, Aliansi Gongliao memang melanjutkan penyerangan ke istana. Tanpa berpikir panjang, semua orang jelas tahu tujuan Aliansi Gongliao sebenarnya ....Menguasai dunia."Lalu siapa yang akan menggantikan Kaisar Xiang Ming?""Kemungkinan besar adalah pemimpin dari aliansi sekte aliran hitam itu."Obrolan dua lelaki berwajah masam itu berhasil menarik perhatian pemuda yang duduk satu meja dengan seorang bocah. Selagi sang bocah sedang lahap menyantap makanan, pemuda itu terus mencuri dengar pembicaraan di meja lain hingga kedua alisnya hampir menyatu.Tiba-tiba suara keributan terdengar dari luar kedai. Orang-or
Keadaan pria dengan penutup wajah itu semakin terdesak. Pedangnya yang melintang menahan pedang lawan, kini telah mengenai lehernya. Bercak merah pun mulai mencuat. Darah segar perlahan menuruni leher itu. "Aku tidak kuat lagi," batinnya dengan napas tertahan. Tangannya sudah tidak sanggup lagi menahan dorongan pedang lelaki botak.Akhirnya, sebuah erangan panjang terdengar menyusul suara daging yang terkoyak. "Argh ... !"*Beberapa saat sebelumnyaSosok yang berdiri di atas atap bukannya melarikan diri, justru melompat ke bawah. Ia berjalan perlahan menghampiri lelaki yang meneriakinya sebagai penyusup. Tatapan matanya yang merah saga begitu tajam setengah memelotot, memancarkan amarah yang mencapai puncaknya. Aura membunuh yang kuat melingkupi pria itu.Rahang lelaki botak mengeras. Jari-jarinya mencengkeram kuat pegangan pedang yang masih berada di dalam selongsongnya. Dengan sangat lantang ia mengumpat, "Kurang ajar!" Suara pedang yang ditarik dengan
Dalam pekatnya malam, seorang anak laki-laki berdiri, terpaku dengan tubuh yang bergetar hebat. Pandangannya masih belum beranjak dari tubuh tak bernyawa yang punggungnya mengeluarkan banyak darah akibat tusukan pedang. "A-aku ... telah membunuhnya," ucapnya lirih selagi ambruk berlutut.Keterkejutan juga menyerbu pemuda yang tertimpa oleh mayat tersebut. Kedua matanya terbelalak mendapati pedang miliknya yang sempat diambil lawan, tertancap di punggung lelaki botak. "Zhangjian ... kau--"Belum sampai kalimat itu terselesaikan, bocah itu memotongnya dengan suara yang sedikit parau, "A-ku membunuhnya, Kakak." Xiu Zhangjian menatap lekat-lekat kedua tangannya yang menengadah. Ada bercak darah yang terciprat di sana saat pedang Li Min mengoyak tubuh lelaki botak.Li Min mendorong mayat lelaki botak yang menimpanya. Seketika pedang yang menancap di punggung itu langsung mencuat menembus perut lelaki botak saat pegangan pedang menabrak permukaan tanah. Ia berjalan ce
Teriakan dari Li Min sudah barang tentu mengejutkan Xiu Zhangjian. Bocah itu pun langsung berdiri dan turut memutar badannya. Mata coklat tuanya menangkap sesosok lelaki yang seluruh rambutnya ditumbuhi uban. "Paman Feng!" Tanpa pikir panjang Xiu Zhangjian berlari menghampiri dan memeluk lelaki paruh baya yang hanya berdiri terpaku.Lelaki itu adalah Feng Yin, ketua dari Sekte Harimau Putih, yang tidak lain adalah sahabat karib dari Xiu Jian. Setiap pagi pascamalam berdarah di Boushan, Feng Yin selalu datang ke desa itu untuk mengenang sahabatnya. Siapa mengira jika hari ini ia melihat putra dan murid kesayangan Xiu Jian masih hidup?Feng Yin yang semula berdiri, kini berlutut agar bisa sejajar dengan Xiu Zhangjian. Ia mendekap tubuh kecil itu erat seolah tidak akan melepaskannya lagi. "Ka-kau masih hidup," lirihnya sembari mengusap rambut Xiu Zhangjian dengan tangan bergetar.Melihat hal itu, Li Min mengembuskan napas panjang hingga pundaknya sedikit turun. Ia
"Ayah ... tidak!" Suara seorang pemuda memecah keheningan.Terdapat empat pemuda dalam kamar itu, tetapi hanya satu orang saja yang terduduk dari pembaringannya. Napasnya memburu dengan bulir keringat membasahi kening. Pemuda itu memegang dadanya, seolah memastikan jantungnya masih berdetak atau tidak. Ia mengembuskan napas dan berkata dengan frustrasi, "Mimpi itu lagi!"Pemuda itu membanting tubuhnya ke kasur, lalu berusaha keras untuk menutup kembali matanya. Belum sampai sepuluh detik, kelopaknya kembali terbuka, mempertontonkan mata jernihnya yang beriris coklat tua.Pemuda itu menatap langit-langit kamar yang dihiasi beberapa jaring laba-laba. Ia menggeser pandangan ke teman sekamarnya yang tampak pulas. Ia mendecakkan lidah dan menggerutu, "Hah, mereka semua tidur seperti orang mati. Tapi aku tidak bisa tidur karena melihat orang mati. Mimpi sialan itu!"Dengan wajah malas pemuda itu pun beranjak dari tempat tidur. Ia melangkah keluar kamar sambil m
Dalam ruangan itu, keheningan terpecah oleh suara ketukan kuku pada meja. Tampak seorang lelaki dengan mahkota di kepalanya tengah menatap tajam ke arah meja. Di sana tergeletak sebilah pedang yang dihiasi ukiran naga keemasan pada pegangan dan selongsongnya."Yang Mu-"Belum sampai ucapan itu selesai, lelaki dengan tatapan membunuh dan aura mencekam itu mengangkat tangan kirinya. "Kasim Bao," panggilnya membuat pria yang dipotong ucapannya menelan ludah."Sa-saya, Kaisar Huang ...." Kasim Bao semakin menunduk, menyadari bahwa suasana hati sang kaisar sedang buruk."Menurutmu, apa yang harus aku lakukan dengan pedang ini? Apa aku perlu membakarnya?" tanya Huang Fu sambil meraih pedang di hadapannya."Jawab Yang Mulia, setahu saya, Kaisar sangat menginginkan pedang itu. Selain itu, Yang Mulia Kaisar juga mendapatkannya dengan susah payah. Jadi ...." Kasim Bao tidak berani menyelesaikan kalimatnya. Ia tidak mengerti apa yang diinginkan sang kai
Li Min meletakkan gulungan kertas usang dari balik bajunya ke atas meja, tepat di hadapan Xiu Zhangjian. Dengan lirih ia berkata, "Bacalah, itu pesan ayahmu."Xiu Zhangjian mengambil gulungan itu dengan tergesa-gesa. Ia merentangkan kertas itu dengan napas tertahan.Semua orang hanya diam menyaksikan manik coklat tua Xiu Zhangjian bergerak dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah, menggerayangi setiap karakter yang tertulis. Namun, dalam keheningan itu wajah mereka menegang ketika menyaksikan getaran hebat pada kertas tersebut akibat tangan Xiu Zhangjian yang bergerak-gerak sendiri."Ada apa?" tanya Feng Yin cemas."A-aku ... sang pewaris pedang?" kata Xiu Zhangjian seraya meletakkan gulungan kertas itu masih dengan tangan bergetar. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, seolah tidak ada tenaga yang tersisa untuk tetap tegak.Feng Yin yang sedari awal sudah dilingkupi penasaran, kini tidak mampu lagi membendung rasa ingin tahunya. Ia meraih dan
"Ada apa, Tetua Feng?" "Aku telah menyinggung utusan Aliansi Gongliao. Ketua Li, berikan daftar itu pada Zhangjian!" "Baik, Tetua!" Li Min pun menyerahkan gulungan kertas dari lengan bajunya kepada Xiu Zhangjian. "Cepat kumpulkan mereka di sini!" Xiu Zhangjian membuka gulungan kertas dari Li Min. Di dalamnya tertulis 10 nama anggota muda Sekte Harimau Putih. Ia pun berlari keluar dengan jantung berdebar kuat. Sebenarnya Xiu Zhangjian masih belum mengerti apa yang terjadi. Namun, keadaan bahkan tidak memberi waktu padanya untuk sekadar bertanya. Beberapa saat kemudian, Xiu Zhangjian telah kembali ke dalam ruang pertemuan bersama 10 orang yang ada di dalam daftar. Kebingungan tampak jelas di wajah mereka semua. Akan tetapi, sama seperti Xiu Zhangjian, mereka juga tidak menanyakan apa pun dan hanya saling menatap. Melihat ekspresi wajah Li Min dan Feng Yin yang penuh kerut di dahi, cukup menunjukkan bahwa situasinya tidak sedang baik-baik s